Assalamu'alaikum Warahmatulahi Wabarakatu.
Bismillahirrahmanirrahim
Allahummashalli 'alaa Muhammad wa'alaa aalihi wa ashabihi wadlurriyatihi
washallim.
Bismillahirrahmanirrahim
Allahummashalli 'alaa Muhammad wa'alaa aalihi wa ashabihi wadlurriyatihi
washallim.
Orangtua dikatakan menyengsarakan hidup anak apabila ia membiasakan
hidup mudah. Segala sesuatu yang mereka perlukan telah tersedia dengan
mudah, nyaris tanpa usaha berarti. Padahal pengalaman berusaha dan
menyelesaikan masalah akan meningkatkan kapasitas pribadi seseorang.
Sehingga semakin banyak masalah yang mampu ia selesaikan, semakin tinggi
nilai hidupnya.
Allah Ta’ala membentangkan di hadapan manusia kesempatan
untuk berjuang. Agar terwujud kehidupan yang baik, kita harus memiliki
kesediaan untuk memperjuangkannya dengan sungguh-sungguh dengan keringat
dan do’a. Kesungguhan dalam berjuang itulah letak nilai seseorang.
Bukan apa yang ia capai. Sungguh, adakalanya barakah perjuangan
seseorang tampak nyata di muka bumi setelah kehidupan orang tersebut
berlalu beberapa masa. Dan merupakan tugas orangtua untuk memberi
kesempatan kepada anak latihan berjuang, dari yang kecil hingga
mimpi-mimpi besar untuk sebuah visi di masa depan.
Sesungguhnya orangtua yang kejam adalah mereka yang tidak memberi
kesempatan kepada anak untuk melakukan apa yang seharusnya dilakukan di
usia itu. Kejamlah para ibu yang masih selalu menyuapi anaknya, setiap
saat, padahal anak seharusnya sudah bisa makan sendiri. Kejamlah seorang
bapak yang selalu melayani keinginan anak dan memenuhi permintaan
mereka, padahal anak-anak itu kelak harus memiliki kecakapan mentasharrufkan
hartanya. Kejamlah orangtua yang hanya memberi uang dan fasilitas
berlimpah kepada anaknya tanpa memberi tanggung-jawab, kewajiban dan
tantangan kepada mereka.
Mari kita belajar dari pohon apel. Sesungguhnya apel tidak berbuah
kecuali setelah daunnya rontok. Jika ia ditanam di negeri yang tidak
mengenal musim gugur, maka kitalah yang harus membantu agar apel
tersebut berbuah. Kita membantu mengurangi daun-daunnya.
Pelajaran apa yang bisa kita petik? Perlu tantangan sebelum berbuah.
Ada tantangan yang secara alamiah dihadapi karena kondisi yang tidak
terelakkan. Tetapi jika kondisi yang diperlukan tidak tersedia, maka
kitalah yang harus merancang agar ada tantangan yang ”menggairahkan”.
Jika kita menilik sejarah, orang-orang besar adalah mereka yang
memiliki catatan panjang tentang keteguhan, ketegaran, kegigihan,
kejujuran, integritas yang tinggi, keberanian dan tekad yang kuat untuk
menyelesaikan setiap masalah dengan cara sebaik-baiknya sesuai dengan
rambu-rambu yang telah diberikan oleh Allah Ta’ala dan rasul-Nya shallaLlahu ‘alaihi wa sallam.
Mereka ditempa oleh tantangan yang datang berjenjang-jenjang. Awalnya
ringan, lalu datang lagi tantangan berikutnya yang lebih berat. Bahkan
tidak sedikit orang besar yang sejak lahir sudah dipenuhi kesulitan dan
tantangan. Ia lahir dalam kesulitan, besar dalam kesulitan dan kemudian
tumbuh menjadi manusia yang sanggup mengatasi berbagai kesulitan yang
orang lain takut membayangkannya. Mereka banyak menghadapi kesulitan,
tetapi pada saat yang sama ada kekuatan jiwa untuk menghadapinya.
Terkadang kekuatan itu mengalir dari hadirnya seorang ibu yang
senantiasa memberi dukungan ketika ia merasa tak sanggup lagi.
Di antara orang-orang sukses, banyak yang mengawali hidupnya dengan
berbagai kesulitan. Sebagian mereka bahkan pernah merasa tak sanggup
menghadapinya, lalu berikrar agar anaknya tak pernah menjumpai kepahitan
hidup yang serupa. Tetapi ia lupa membedakan bahwa kepahitan hidup
berbeda dengan tantangan. Alih-alih tidak ingin anaknya sengsara, justru
menghindarkan anak dari tantangan. Diam-diam menjadikan anaknya tak
berdaya dengan melimpahi mereka fasilitas dan kemudahan. Padahal
berlimpahnya fasilitas tanpa tantangan, menjadikan anak lemah secara
mental, rendah daya juangnya, mudah frustrasi karena tak terbiasa
menghadapi kesulitan, dan tidak memiliki keterampilan memadai dalam
menyelesaikan persoalan hidup sehari-hari. Mereka inilah yang rawan
terkena afflueanza.
Apakah affluenza itu? O, banyak sekali definisi yang bisa
kita temukan pada kata ini. Tetapi ada beberapa hal yang mempersamakan
dari berbagai definisi itu, yakni bahwa affluenza merupakan
kondisi ketika orang menakar keberhasilan dan kebahagiaan dari berapa
banyak uang yang dimiliki, berapa mewah barang yang dikonsumsi, dan
berapa lengkap perangkat yang dipunyai beserta segala kemudahan yang
bisa dibeli. Mereka dimanjakan oleh uang karena orangtua sudah merdeka
secara finansial, tetapi hati mereka hampa dan kebahagiaan sangat jauh
dari kehidupan. Semakin mereka menganggap bisa membeli kebahagiaan
dengan uang, semakin kering hidup mereka, semakin jauh pula kebahagiaan
itu menghindar dari mereka. Di saat itulah mereka semakin sibuk
mengejar.... dengan uang yang mereka punya!!! Padahal ini justru
membuatnya semakin tidak bahagia. Tetapi tak pilihan lain buat mereka,
sebab yang mereka ketahui, uang bisa membeli apa pun. Sejak kecil mereka
dibesarkan dengan kemudahan dan fasilitas, sehingga mereka justru
menemukan banyak kesulitan dalam hidup. Apa yang sederhana buat orang
lain, bisa menjadi kesulitan besar bagi dirinya.
Jadi apa yang membuat anak-anak itu lemah di masa dewasanya? Mereka
tak berdaya karena otot mereka, otak mereka dan mental mereka tak pernah
ditempa. Mereka lemah karena terlalu banyak dimanja oleh fasilitas
berlimpah. Mereka menemui banyak kesulitan karena terbiasa hidup serba
mudah. Sesungguhnya apa yang berat bisa terasa ringan apabila kita
memperoleh tempaan yang cukup untuk menghadapi tantangan. Semakin banyak
tantangan yang mampu kita hadapi, akan semakin kuatlah kita dengan izin
Allah Ta’ala.
Perlunya memberi kesempatan pada anak untuk menghadapi tantangan
bukan berarti orangtua harus membiasakan anak hidup sulit. Sangat
berbeda mempersulit keadaan dengan menempa anak menghadapi kesulitan.
Kita memberi kesempatan kepada anak untuk belajar dengan memberinya
tanggung-jawab, memberi mereka tugas untuk menyiapkan, mengatur dan
menjaga apa yang mereka perlukan dalam hidup sehari-hari, serta memberi
mereka kesempatan bagi mereka untuk belajar mengurusi diri mereka
sendiri. Jadi bukan merampas hak mereka untuk belajar mandiri.
Bayi usia 1,5 tahun misalnya, secara alamiah mereka akan terdorong
untuk belajar makan sendiri. Tentu saja karena belum memiliki cukup
keterampilan, hasilnya bisa belepotan dan mengotori lantai. Tetapi jika
atas nama kasih-sayang kita tidak memberinya kesempatan sehingga kita selalu menyuapinya, anak itu akan terhambat kemampuannya dan sulit tumbuh kemandiriannya.
Di usia-usia berikutnya ketika anak sudah saatnya untuk otonom, kita
perlu membimbing mereka untuk menyiapkan sendiri buku pelajaran yang
akan dipakai besok dan menyiapkan perlengkapannya. Secara perlahan kita
memperkenalkan kepada mereka konsekuensi jika mengabaikan kewajiban.
Pada saat yang sama kita mulai perlu memberi mereka tantangan-tantangan.
Bukan membebani.
Kita bisa menggugah mereka untuk memiliki tekad kuat bagi sebuah
mimpi di masa yang akan datang. Misalnya, kita gugah anak-anak itu untuk
berkeinginan kuat memberikan harta yang bermanfaat bagi yang
memerlukan. Katakanlah sepatu untuk orang miskin, atau sebuah
ensiklopedi yang perlu mereka beli atau keperluan mereka sendiri yang
berharga. Kita beri mereka dorongan. Pada saat yang sama kita pacu
mereka untuk bisa mewujudkan tekad itu dengan kemampuannya sendiri.
Melalui tantangan yang datang secara bertahap itu, anak-anak akan belajar memecahkan kesulitan. Sesungguhnya Allah Ta’ala letakkan kemudahan itu menyertai kesulitan. Bukankah Allah Ta’ala berfirman:
”Karena sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan-kemudahan,
sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan-kemudahan.” (QS. Alam Nasyrah, 94: 5-6).
Muhammad Sulaiman ’Abdullah al-Asyqar menerangkan dalam tafsirnya yang bertajuk Zubdatut Tafsiir Min Fathil Qadiir bahwa maksud ayat ini ialah, sesungguhnya bersama kesulitan terdapat kemudahan lain. Ibnu Mas’ud radhiyallahu ’anhu dengan status marfu’
menerangkan, ”Seandainya kesulitan itu berada di dalam batu, niscaya ia
akan diikuti oleh kemudahan sehingga ia masuk ke dalamnya kemudian
mengeluarkannya dari batu tersebut. Suatu kesulitan itu tidak akan
pernah mengalahkan dua kemudahan. Sesungguhnya Allah berfirman: ”Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.”
Pelajaran apa yang bisa kita petik? Banyak hal. Selain keharusan
untuk senantiasa optimis tatkala menghadapi kesulitan, kita juga perlu
merenungkan kembali apa yang telah kita berikan kepada anak-anak kita.
Apakah kita menyiapkan anak kita untuk menjadi pribadi yang kuat ataukah
kita justru sedang mempersulit hidupnya dengan membiasakan hidup mudah?
Sungguh, membiasakan anak hidup mudah dapat melemahkan mereka dalam
keterampilan hidup, berpikir, dan bersikap. Bahkan bukan tidak mungkin
dapat menyebabkan mereka lemah iman. Na’udzubillahi min dzaalik.
Wallahu'alam
Barakallahu Fikum Wasalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatu
Barakallahu Fikum Wasalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar