Cari Blog Ini

Rabu, 25 Juni 2014

Wudhu

Assalamu'alaikum Warahmatulahi Wabarakatu.

Bismillahirrahmanirrahim
Allahummashalli 'alaa Muhammad wa'alaa aalihi wa ashabihi wadlurriyatihi
washallim.

 


“Alhamdulillahi nasta’iinuhu wanastagh firuhu wana’uudzubillaahi min syuruuri anfusinaa waminsayyi ati a’ maalinaa man yahdihillahu falaa mudhilla lahu waman yudhlil falaa haadiya lahu, asyhadu anlaa ilaha illallaahu wah dahulaa syariikalahu wa asyhadu anna muhammadan ‘abduhuu warasuuluhu la nabiya ba’da.”

Risalah berikut akan menerangkan bagaimana tata cara wudhu sesuai petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Panduan berikut begitu mudah karena disertai dengan gambar. Semoga bemanfaat.
Pertama:
Jika seorang muslim hendak berwudhu, terlebih dahulu ia berniat dalam hatinya.
Kedua:
Mengucapkan ‘bismillah’ karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ وُضُوءَ لِمَنْ لَمْ يَذْكُرِ اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهِ
“Tidak ada wudhu bagi yang tidak menyebut nama Allah”
HR. Abu Daud no. 102, Tirmidzi no. 5, Ibnu Majah no. 397, dan Ahmad 3: 41.
. Namun jika lupa, maka tidak ada kewajiban apa-apa.
Ketiga:
Mencuci kedua tangan sebanyak tiga kali sebelum memulai wudhu.
Wudhu_1_Cuci_Tangan
Keempat:
Berkumur-kumur lalu mengeluarkannya dan dilanjutkan dengan memasukkan (menghirup air dalam hidung (istinsyaq). Lalu mengeluarkan air dari hidung (istintsar). Hendaklah sungguh-sungguh menghirup air ke dalam hidung kecuali jika dalam keadaan berpuasa.
Catatan: Berkumur-kumur dan memasukkan air dalam hidung dilakukan melalui satu cidukan, tidak mengambil air untuk mulut sendiri dan hidung sendiri. Demikianlah praktek Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Wudhu_2_Kumur2
Kelima:
Mencuci wajah. Batasan wajah adalah tempat tumbuhnya rambut kepala hingga dau dan dari telinga hingga telinga. Begitu pula rambut yang ada pada wajah, tetap dicuci meskipun tidak lebat, termasuk pula menyela-nyela jenggot.

Wudhu_3_Batasan_wajah

Wudhu_4_Menyela-nyela_jenggot
Keenam:
Mencuci kedua tangan hingga siku, karena Allah Ta’ala berfirman,
وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ
“Dan basuhlah tanganmu sampai dengan siku” (QS. Al Maidah: 6).

Wudhu_5_Mencuci_Tangan_Hingga_Siku
Ketujuh:
Mengusap kepala disertai telinga sekali. Mengusap kepala dimulai dari depan, kemudian diusap ke belakang sampai ke tengkuk, lalu dibalikkan ke depan. Kemudian dilanjutkan dengan mengusap kedua telinga dengan air yang tersisa dari mengusap kepala.
Wudhu_6_Mengusap_Kepala

Wudhu_7_Mencuci_Telinga
Kedelapan:
Mencuci kedua kaki disertai mata kaki. Allah Ta’ala berfirman,
وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ
“Dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.” (QS. Al Maidah: 6)
Wudhu_8_Mencuci_Kaki
Kesembilan:
Membaca do’a setelah berwudhu:
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ
اَللَّهُمَّ اجْعَلْنِيْ مِنَ التَّوَّابِيْنَ وَاجْعَلْنِيْ مِنَ الْمُتَطَهِّرِيْنَ
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ أَنْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ
Asyhadu alla ilaha illallah wahdahu laa syarika lah, wa asyhadu anna muhammadan ‘abduhu wa rosuluh.HR. Muslim no. 234
 Allahummaj’alni minat tawwaabiina, waj’alnii minal mutathohhiriin.HR. At-Tirmidzi no. 55. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.

 Subhanakallahumma wa bihamdika, asyhadu alla ilaha illa anta, astaghfiruka wa atuubu ilaik. HR. An-Nasai dalam ‘Amalul Yaumi wal Lailah, halaman 173 dan lihat Irwa’ul Ghalil, 1: 135 dan 2: 94



. Aku bersaksi, bahwa tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah, Yang Maha Esa dan tiada sekutu bagiNya. Aku bersaksi, bahwa Muhammad adalah hamba dan utusanNya. Ya Allah, jadikanlah aku termasuk orang-orang yang bertaubat dan jadikanlah aku termasuk orang-orang (yang senang) bersuci. Maha Suci Engkau, ya Allah, aku memuji kepadaMu. Aku bersaksi, bahwa tiada sesembahan yang berhak disembah selain Engkau, aku minta ampun dan bertaubat kepadaMu]
Sunnah-Sunnah Wudhu
  1. Bersiwak.
  2. Mencuci tangan tiga kali di awal wudhu.
  3. Berkumur-kumur tiga kali.
  4. Memasukkan air dalam hidung (istinsyaq) dan mengeluarkannya (istintsar) tiga kali.
  5. Memasukkan air dalam hidung dengan tangan kanan dan mengeluarkannya dengan tangan kiri.
  6. Menyela-nyela jenggot.
  7. Menyela-nyela jari jemari.
  8. Mencuci atau membasuh anggota wudhu sebanyak tiga kali-tiga kali, kecuali ketika mengusap kepala dilanjutkan telinga cukup sekali sebagaimana terdapat dalam banyak riwayat yang menerangkan hal ini.
  9. Memulai mencuci yang kanan kemudian yang kiri.
  10. Menggosok-gosok anggota wudhu.
  11. Mengusap setiap anggota wudhu secara muwalah, tidak ada selang waktu yang lama.
  12. Mengusap telinga dengan cara jari telunjuk mengusap bagian dalam dan jari jempol mengusap bagian luarnya.
  13. Hemat dan sederhana dalam menggunakan air.
  14. Berdo’a setelah wudhu. Dan perlu diingat bahwa tidak ada do’a khusus yang dibaca ketika membasuh setiap anggota wudhu.
  15. Melaksanakan shalat dua raka’at setelah wudhu.

Berwudhu Setiap Kali Shalat

(1) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berwudhu setiap kali mau shalat. Inilah kondisi beliau pada umumnya. Kadang juga beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu untuk beberapa shalat dengan sekali wudhu. (HR. Muslim)

Berwudhu dengan Tidak Boros Menggunakan Air

(2) Kadang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu dengan satu mud, kadang pula dengan sepertiganya, atau kadang lebih dari itu. [Satu mud = ukuran dua telapak tangan penuh]
(3) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang sangat hemat ketika menggunakan air saat berwudhu. Beliau pun mewanti-wanti umatnya –dalam hadits yang sifatnya umum- agar jangan sampai boros. Beliau pun mengabari bahwa di antara umatnya ada yang berlebih-lebihan dalam thoharoh (bersuci). (HR. Ahmad)

Jumlah Membasuh Setiap Anggota Wudhu

(4) Telah shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau ketika membasuh setiap anggota wudhu, kadang satu kali-satu kali, kadang dua kali-dua kali, dan kadang tiga kali-tiga kali. Kadang pula beliau membasuh sebagian anggota wudhu ada yang dua kali dan yang lainnya tiga kali.

Cara Beliau Berkumur-kumur dan Memasukkan air dalam Hidung

(5) Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkumur-kumur dan memasukkan air dalam hidung, kadang dengan satu cidukan, kadang dua cidukan, dan kadang tiga cidukan.
(6) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa menyambungkan antara berkumur-kumur dan memasukkan air dalam hidung (dengan satu cidukan, satu kali jalan). Beliau mengambil sebagian cidukan untuk mulut dan sebagiannya lagi untuk hidungnya. Adapun jika katakan tadi bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berkumur-kumur dan memasukkan air dalam hidung dengan dua atau tiga kali cidukan, maka itu ada kemungkinan kalau beliau memisah antara keduanya. Namun yang sesuai petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah menyambungkan antara keduanya.

Sebagaimana disebutkan dalam Shahihain (Bukhari-Muslim) dari hadits ‘Abdullah bin Zaid, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berkumur-kumur dan memasukkan air dalam hidung sekaligus dari satu telapak tangan dan beliau melakukan seperti ini sebanyak tiga kali.” Dalam lafazh lainnya, “Beliau berkumur-kumur dan mengeluarkan air dari hidung sebanyak tiga kali.” Inilah penjelasan yang tepat (shahih) tentang berkumur-kumur dan memasukkan air dalam hidung.
(7) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa menggunakan tangan kanan ketika memasukkan air dalam hidung dan mengeluarkannya dengan tangan kiri.

Mengusap Kepala

(8) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengusap seluruh kepala (bukan sebagiannya saja). Kadang beliau mengusapnya dengan menarik tangan yang telah dibasahi dari belakang ke depan dan beliau tarik lagi ke belakang.

Di antara petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika wudhu adalah sebagai berikut:

Tidak Pernah Meninggalkan Berkumur-kumur dan Memasukkan Air dalam Hidung

(9) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berwudhu selalu berkumur-kumur dan memasukkan air dalam hidung. Dan tidak diketahui sekali pun juga kalau beliau meninggalkan berkumur-kumur dan memasukkan air dalam hidung.

Tertib dan Berturut-turut dalam Berwudhu

(10) Demikian pula Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu mengusap anggota wudhunya sesuai urutan dan berturut-turut (tidak ada selang waktu antara anggota wudhu yang satu dan lainnya). Beliau tidak pernah meninggalkan hal ini sama sekali.

Cara Mengusap Kepala

(11) Cara Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap kepala yaitu kadang beliau mengusap ‘imamah (penutup kepala yang sulit dilepas), kadang pula mengusap ‘imamah dan ubannya sekaligus. [Jadi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mengusap kepala bukan hanya mengusap ubannya saja. Beliau mengusap ubannya saat beliau menggunakan ‘imamah dan turut mengusap ‘imamah]

Membasuh Kaki

(12) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam wudhunya selalu mencuci kedua kakinya secara langsung jika saat itu beliau tidak menggunakan khuf atau kaos kaki. Namun beliau mengusap khuf dan kaos kaki jika beliau memang dalam kondisi mengenakannya. [Khuf = sepatu yang menutup mata kaki]

Mengusap Telinga Sekaligus dengan Kepala

(13) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengusap telinga langsung dengan kepalanya. Saat mengusap telinga, beliau mengusap bagian luar dan bagian dalamnya.

Tidak Perlu Mengusap Leher

(14) Sedangkan mengenai mengusap leher tidak ada satu pun hadits yang shahih yang mengajarkannya.

Yang Dibaca Sebelum dan Sesudah Wudhu

(15) Sebelum berwudhu tidak ada yang beliau ucapkan kecuali ucapan tasmiyah (bismillah) dan ucapan setelah wudhu: “Asyhadu alla ilaha illallah wahdahu laa syarika lah wa asyhadu anna muhammadan ‘abduhu wa rosuluh” (HR. Muslim), ditambah ucapan: “Allahummaj’alnii minat tawwaabiin waj’alnii minal mutathohhiriin” (HR. Tirmidzi). [Artinya: Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya. Ya Allah jadikanlah aku di antara orang-orang yang bertaubat dan jadikanlah aku termasuk orang-orang yang suci]

Niat Sebelum Wudhu

(16) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mengucapkan di awal wudhu: “Nawaitu rof’al hadatsi … (Saya berniat menghilangkan hadats …)”. Beliau pun tidak menganjurkannya. Tidak ada seorang sahabat yang melakukannya sama sekali. Tidak pula diriwayatkan mengenai anjuran amalan ini dari satu hadits pun baik dengan sanad yang shahih atau pun dho’if sekali pun.

Tidak Berlebihan dalam Berwudhu

(17) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah membasuh anggota wudhunya lebih dari tiga kali.
(18) Begitu pula Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah membasuh tangan lebih dari siku dan membasuh kaki lebih dari mata kaki.

Menyela-nyela Jenggot dan Jari Jemari

(19) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa menyela-nyela jengotnya, namun itu bukan jadi rutinitas.
(20) Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bisa menyela-nyela jari jemarinya dan memerintahkan untuk demikian.
 Wallahu'alam
Wa-Baarakallaahu Fiikum jamii'an
Wasalamu'alaikum warahmatullahi wabarakat





 Bismillahirrahmanirrahim...
Allahumma shallii alaa Muhammad Nabiyyil ummi wa barik 'alaihi wasallim
Allahumma shallii 'alaa Muhammad Wa umma wabarik 'alaihi wasallim
Allahumma shallii 'alaa Muhammad Biadadi man shalla' alaihi wasallim
Allahumma shallii 'alaa Muhammad Biadadi man lam an yushalli 'alaihi wasallim
Allahumma shallii 'alaa Muhammad kama tuhibbu an yushalli 'alaihi wassallim
Allahumma shallii 'alaa Muhammad kama amarta an yushalli 'alaihi wasallim

Allahumma shallii 'alaa Muhammad kama yasbaqhis shalawatu 'alaihi wasallim.
Allahumma shalli 'alaa Muhammadin wa'ala ali Muhammadin kamasollaita'ala Ibrahim.
Wabarik'ala Muhammadin wa'ala ali Muhammadin kamabarakta'ala Ibrahima fil'alamin.
innaka hamidunmajid
amiin Ya Karim

amiin Ya Wahhab..amiin Ya "Alimun

Tayamum

Assalamu'alaikum Warahmatulahi Wabarakatu.

Bismillahirrahmanirrahim
Allahummashalli 'alaa Muhammad wa'alaa aalihi wa ashabihi wadlurriyatihi
washallim.

 





“Alhamdulillahi nasta’iinuhu wanastagh firuhu wana’uudzubillaahi min syuruuri anfusinaa waminsayyi ati a’ maalinaa man yahdihillahu falaa mudhilla lahu waman yudhlil falaa haadiya lahu, asyhadu anlaa ilaha illallaahu wah dahulaa syariikalahu wa asyhadu anna muhammadan ‘abduhuu warasuuluhu la nabiya ba’da.”

Tayamum

 adalah di antara bentuk thoharoh (bersuci) sebagai pengganti wudhu dan mandi. Dalam beberapa serial, insya Allah kami akan mengkaji tahap demi tahap perihal tayamum. Kesempatan kali ini kita akan mengangkat bahasan berbagai sebab yang membolehkan kita bertayamum. Namun sebelum itu kita akan melihat alasan dibolehkannya tayamum.


Definisi Tayamum
Tayamum secara bahasa berarti al qoshdu, yang artinya berniat atau bermaksud. Makna ini sebagaimana terdapat dalam ayat,
وَلَا تَيَمَّمُوا الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنْفِقُونَ
“Dan janganlah kamu (berniat) memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya” (QS. Al Baqarah: 267)
Sedangkan secara istilah, tayamum bermaksud menggunakan sho’id (debu atau tanah) untuk mengusap wajah dan kedua telapak tangan dengan niat untuk melaksanakan shalat dan ibadah lainnya. (Fiqh Sunnah, 1: 57)


Dalil Pensyariatan Tayamum

Tayamum dibolehkan ketika safar maupun ketika mukim. Dalil pensyariatannya adalah berdasarkan Al Qur’an, hadits dan ijma’ (kesepakatan para ulama). (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 14: 248 dan Fiqh Sunnah, 1: 57)

Dalil dari Al Qur’an, Allah Ta’ala berfirman,
وَإنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أو على سَفَرٍ أو جَاءَ أحَدٌ مِنْكُمْ من الغَائطِ أو لامَسْتُم النِّسَاءَ فلمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدَاً طَيِّبَاً فَامْسَحُوا بِوجُوهِكُمْ وَأيْديكمْ إنَّ اللَّهَ كَانَ عَفوَّاً غَفورَاً
“Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); usaplah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema’af lagi Maha Pengampun.” (QS. An Nisa’: 43)
Begitu pula firman Allah Ta’ala,
فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدَاً طَيِّبَاً فَامْسَحُوا بِوجُوهِكمْ وَأيديكمْ منه
“Lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu.” (QS. Al Maidah: 6)

Dalil dari hadits, yaitu sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
وَجُعِلَتْ لِىَ الأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُورًا
”Dianugerahkan untukku tanah sebagai masjid (tempat shalat) dan untuk bersuci.” (HR. Bukhari no. 438)
Para ulama pun sepakat bahwa tayamum disyari’atkan sebagai pengganti dari wudhu dan mandi dalam keadaan tertentu. (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 14: 248)


Kapan Dibolehkan untuk Tayamum?

Ada sebab utama yang membolehkan tayamum yaitu: (1) karena tidak mendapati air, (2) khawatir menggunakan air. (Ad Daroril Mudhiyyah, 103)
Secara lebih lengkap sebab yang dimaksud adalah sebagai berikut:
  1. Tidak ada air yaitu tidak ditemukan atau sumber air begitu jauh.
  2. Jika memiliki luka atau penyakit dan khawatir menggunakan air.
  3. Jika air sangat dingin dan sulit dipanaskan.
  4. Jika air diperlukan untuk minum dan khawatir kehausan. (Taisirul Fiqh, 140)

Dalil bolehnya tayamum karena tidak mendapati air sudah diisyaratkan dalam ayat,
فلمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدَاً طَيِّبَاً
“Kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci) … ” (QS. An Nisa’: 43)
Sedangkan dalil bahwa tayamum dibolehkan ketika khawatir menggunakan air akan menimbulkan dhoror atau bahaya dapat dilihat dalam hadits berikut.
عَنْ جَابِرٍ قَالَ خَرَجْنَا فِى سَفَرٍ فَأَصَابَ رَجُلاً مِنَّا حَجَرٌ فَشَجَّهُ فِى رَأْسِهِ ثُمَّ احْتَلَمَ فَسَأَلَ أَصْحَابَهُ فَقَالَ هَلْ تَجِدُونَ لِى رُخْصَةً فِى التَّيَمُّمِ فَقَالُوا مَا نَجِدُ لَكَ رُخْصَةً وَأَنْتَ تَقْدِرُ عَلَى الْمَاءِ فَاغْتَسَلَ فَمَاتَ فَلَمَّا قَدِمْنَا عَلَى النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- أُخْبِرَ بِذَلِكَ فَقَالَ « قَتَلُوهُ قَتَلَهُمُ اللَّهُ أَلاَّ سَأَلُوا إِذْ لَمْ يَعْلَمُوا فَإِنَّمَا شِفَاءُ الْعِىِّ السُّؤَالُ إِنَّمَا كَانَ يَكْفِيهِ أَنْ يَتَيَمَّمَ وَيَعْصِرَ »

Dari Jabir, ia berkata, “Kami pernah keluar pada saat safar, lalu seseorang di antara kami ada yang terkena batu dan kepalanya terluka. Kemudian ia mimpi basah dan bertanya pada temannya, “Apakah aku mendapati keringanan untuk bertayamum?” Mereka menjawab, “Kami tidak mendapati padamu adanya keringanan padahal engkau mampu menggunakan air.” Orang tersebut kemudian mandi (junub), lalu meninggal dunia. Ketika tiba dan menghadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kami menceritakan kejadian orang yang mati tadi. Beliau lantas bersabda, “Mereka telah membunuhnya. Semoga Allah membinasakan mereka. Hendaklah mereka bertanya jika tidak punya ilmu karena obat dari kebodohan adalah bertanya. Cukup baginya bertayamum dan mengusap lukanya.” (HR. Abu Daud no. 336, Ibnu Majah no. 572 dan Ahmad 1: 330. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan selain perkataan ‘cukup baginya bertayamum’)


Tayamum Pengganti Bersuci dengan Air

Perlu dipahami bahwa tayamum adalah pengganti bersuci dengan air ketika tidak mampu menggunakan air. Dengan tayamum seseorang boleh melakukan berbagai hal yang dibolehkan ketika bersuci dengan air seperti shalat, thowaf, membaca Al Qur’an dan selain itu. Karena Allah Ta’ala telah menjadikan debu (atau segala hal di permuakaan bumi) itu suci dan mensucikan sebagaimana air pun demikian. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَجُعِلَتْ تُرْبَتُهَا لَنَا طَهُورًا
“Dan dijadikan debunya untuk kami sebagai alat untuk bersuci ….” (HR. Muslim no. 522). (Al Mulakhoshul Fiqhiy, 1: 70)
Pembahasan di atas masih berlanjut pada debu yang digunakan untuk tayamum, tata cara tayamum dan bahasan tambahan lainnya. Nantikan serial berikutnya. Semoga Allah beri kemudahan.


Tayamum Harus dengan Sho’id

Perlu diketahui bahwa para ulama sepakat bahwa bolehnya tayamum adalah dengan menggunakan sho’id yang suci. Demikian dipersyaratkan oleh jumhur (mayoritas ulama), sedangkan ulama Malikiyah memasukannya dalam wajib tayamum. Dalil harus menggunakan sho’id adalah firman Allah Ta’ala,
فَتَيَمَّمُوا صَعِيدَاً طَيِّبَاً
“Lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan sho’id yang baik (suci).” (QS. Al Maidah: 6). (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 14: 260)


Apa itu Sho’id?

Jumhur ulama memaknakan sho’id pada ayat di atas dengan debu. Namun ulama lainnya mengatakan bahwa sho’id adalah setiap yang berada di permukaan bumi termasuk debu, pasir, batu, kapur dan selainnya. Dalil ulama yang menyatakan demikian adalah hadits,
وَجُعِلَتْ لِىَ الأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُورًا
”Dianugerahkan untukku tanah sebagai masjid (tempat shalat) dan untuk bersuci.” (HR. Bukhari no. 438).

 Hadits ini menunjukkan bahwa setiap yang berada di permukaan bumi bisa digunakan untuk bersuci. Yang termasuk sho’id adalah debu. Dan kita pun bisa menggunakan selain debu, asalkan masih menempel di atas permukaan bumi.
Pendapat yang menyatakan sho’id adalah setiap yang berada di permukaan bumi, itulah yang lebih kuat. (Lihat Syarh ‘Umdatul Fiqh, 1: 146-147)

Ibnu Taimiyah menerangkan, “Sho’id adalah sesuatu yang muncul pada permukaan bumi. Ini umum mencakup apa saja yang berada di permukaan. Hal ini berdasarkan dalil firman Allah Ta’ala,
وَإِنَّا لَجَاعِلُونَ مَا عَلَيْهَا صَعِيدًا جُرُزًا
“Dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menjadikan (pula) apa yang di atasnya menjadi sho’id yang rata lagi tandus.” (QS. Al Kahfi: 8)
فَتُصْبِحَ صَعِيدًا زَلَقًا
“Hingga (kebun itu) menjadi sho’id yang licin” (QS. Al Kahfi: 40).
Ulama yang menyatakan bahwa tayamum tidak khusus dengan debu berdalil pula dengan  sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
جُعِلَتْ لِي الْأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُورًا فَأَيُّمَا رَجُلٍ مِنْ أُمَّتِي أَدْرَكَتْهُ الصَّلَاةُ فَلْيُصَلِّ
“Dijadikan untukku permukaan bumi sebagai tempat shalat dan untuk bersuci. Maka siapa saja dari umatku yang mendapati waktu shalat, maka shalatlah.” Dalam riwayat lainj disebutkan,
فَعِنْدَهُ مَسْجِدُهُ وَطَهُورُهُ
“Tanah tersebut bisa jadi tempat shalat dan untuk dia bersuci.” Dalil di atas menunjukkan bahwa seorang muslim di mana pun ia berada, maka ia bisa memanfaatkan tanah yang ia temui sebagai tempat shalat dan alat untuk bersuci.

Sudah dimaklumi bahwa kebanyakan tanah yang ada tidak semuanya berupa debu. Jika kita tidak boleh tayamum dengan pasir (artinya: harus dengan debu saja), maka ini jelas menyelisihi kandungan hadits di atas. Dalil di atas jelas mendukung bolehnya tayamum dengan pasir saja atau dengan pasir ditambah batu kapur.” (Majmu’ Al Fatawa, 21: 365-366)
Ibnul Qoyyim berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa bertayamum dengan tanah tempat beliau shalat, baik itu debu, tanah berair (lembab) atau pasir.” (Mukhtashor Zaadil Ma’ad, 12)
Al Amir Ash Shon’ani berkata, “Ash sho’id menurut kebanyakan para ulama adalah turob (debu). Sedangkan sebagian pakar bahasa menyatakan bahwa sho’id adalah setiap permukaan bumi baik debu atau yang lainnya. Seandainya di suatu tempat hanya terdapat bebatuan dan tidak ada debu, maka itu masih disebut sho’id.” (Subulus Salaam, 1: 459)

Sayyid Sabiq berkata, “Para pakar bahasa sepakat bahwa sho’id adalah seluruh yang berada di atas permukaan bumi, baik debu atau lainnya.” (Fiqh Sunnah, 1: 60)
Syaikh Dr. Sholeh Al Fauzan pun menguatkan pendapat bahwa seluruh yang berada di atas permukaan bumi adalah sho’id. Beliau hafizhohullah berkata, “Sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri jika mendapati waktu shalat, mereka berwudhu dengan sesuatu yang ada di permukaan bumi, seperti debu dan lainnya. Dan tidak menjadi keharusan mereka harus membaca debu.” (Al Mulakhosul Fiqhiy, 1: 72)

Syaikh ‘Abdullah Al Jibrin berkata, “Boleh saja seseorang tayamum pada dinding semen dan batu ubin walaupun tidak terdapat debu karena keduanya tersusun dari batu, debu dan selainnya yang berasal dari permukaan bumi. Namun tidak boleh tayamum pada dinding yang bercat atau tayamum pada kasur karena keduanya bukan sesuatu yang asalnya berada di permukaan bumi. Akan tetapi, jika pada dinding yang bercat atau pada kasur tersebut terdapat debu, maka boleh bertayamum di tempat tersebut.” (Syarh ‘Umdatul Fiqh, 1: 148)

Sedangkan jika ada dalil yang menyatakan tayamum dengan debu, maka itu hanyalah penyebutan sebagian cara. Namun dalil tersebut tidaklah membatalkan dalil yang membolehkan tayamum dengan sho’id secara umum.



Tata cara tayamum yang shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah:
  1. Menetup telapak tangan ke sho’id (contoh: debu) sekali tepukan.
  2. Meniup kedua tangan tersebut.
  3. Mengusap wajah sekali.
  4. Mengusap punggung telapak tangan sekali.
Dalil pendukung dari tata cara di atas dapat dilihat dalam hadits ‘Ammar bin Yasir berikut ini.
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فَقَالَ إِنِّى أَجْنَبْتُ فَلَمْ أُصِبِ الْمَاءَ . فَقَالَ عَمَّارُ بْنُ يَاسِرٍ لِعُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ أَمَا تَذْكُرُ أَنَّا كُنَّا فِى سَفَرٍ أَنَا وَأَنْتَ فَأَمَّا أَنْتَ فَلَمْ تُصَلِّ ، وَأَمَّا أَنَا فَتَمَعَّكْتُ فَصَلَّيْتُ ، فَذَكَرْتُ لِلنَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « إِنَّمَا كَانَ يَكْفِيكَ هَكَذَا » . فَضَرَبَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – بِكَفَّيْهِ الأَرْضَ ، وَنَفَخَ فِيهِمَا ثُمَّ مَسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ وَكَفَّيْهِ

Ada seseorang mendatangi ‘Umar bin Al Khottob, ia berkata, “Aku junub dan tidak bisa menggunakan air.” ‘Ammar bin Yasir lalu berkata pada ‘Umar bin Khottob mengenai kejadian ia dahulu, “Aku dahulu berada dalam safar. Aku dan engkau sama-sama tidak boleh shalat. Adapun aku kala itu mengguling-gulingkan badanku ke tanah, lalu aku shalat. Aku pun menyebutkan tindakanku tadi pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lantas beliau bersabda, “Cukup bagimu melakukan seperti ini.” Lantas beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mencontohkan dengan menepuk kedua telapak tangannya ke tanah, lalu beliau tiup kedua telapak tersebut, kemudian beliau mengusap wajah dan kedua telapak tangannya. (HR. Bukhari no. 338 dan Muslim no. 368)

Dalam riwayat Muslim disebutkan,
ثُمَّ ضَرَبَ بِيَدَيْهِ الأَرْضَ ضَرْبَةً وَاحِدَةً ثُمَّ مَسَحَ الشِّمَالَ عَلَى الْيَمِينِ وَظَاهِرَ كَفَّيْهِ وَوَجْهَهُ
“Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menepuk kedua telapak tangannya ke tanah dengan sekali tepukan, kemudian beliau usap tangan kiri atas tangan kanan, lalu beliau usap punggung kedua telapak tangannya, dan mengusap wajahnya.”

Namun dalam riwayat Muslim ini didahulukan mengusap punggung telapak tangan, lalu wajah. Ini menunjukkan bahwa urutan antara wajah dan kedua telapak tangan tidak dipersyaratkan mesti berurutan.

Hadits ‘Ammar di atas menunjukkan tayamum cukup sekali tepukan untuk wajah dan telapak tangan. Jadi kurang tepat dilakukan dengan cara satu tepukan untuk wajah dan satu lagi untuk telapak tangan hingga siku. Mengapa dinyatakan kurang tepat?
  1. Hadits yang membicarakan dua kali tepukan dan mengusap tangan hingga siku berasal dari hadits yang dho’if, tidak ada hadits marfu’ sampai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
  2. Dalam ayat dan hadits hanya dimutlakkan telapak tangan, sehingga tidak mencakup bagian telapak hingga siku. Ibnu ‘Abbas berdalil bahwa bagian tangan yang dipotong bagi pencuri adalah hanya telapak tangan. Beliau berdalil dengan ayat tayamum. (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1: 203)

Pembatal Tayamum

Setiap hadats yang membatalkan wudhu, maka itu juga yang menjadi pembatal tayamum. Hal ini tidak ada khilaf (perselisihan) di antara para ulama. (Al Muhalla, 2: 122)


Mendapati Air Sebelum Shalat

Ibnu ‘Abdil Barr berkata, “Para ulama berijma’ (sepakat) bahwa siapa saja yang bertayamum setelah berusaha mencari air, namun tidak mendapatinya, kemudian ia mendapati air sebelum masuk waktu shalat, tayamumnya ketika itu menjadi batal. Ketika itu, tayamumnya tidak bisa mencukupi untuk shalat. Keadaannya menjadi kembali seperti keadaan sebelum tayamum. Dan para ulama berselisih pendapat jika ia mendapati air setelah masuk waktu shalat.” (Al Istidzkar, 1: 314)


Mengetahui Adanya Air di Tengah Shalat

Jika seseorang sudah bertayamum karena tidak mungkin menggunakan air, lalu ia shalat, kemudian ada info telah ada air sedangkan ketika itu ia berada dalam shalat, apakah shalatnya mesti diputus atau disempurnakan?
Dalam masalah ini ada perselisihan. Pendapat lebih tepat adalah ia tetap melanjutkan atau menyempurnakan shalatnya karena tidak adanya dalil yang mengharuskan shalatnya mesti diputus. Sebagaimana orang yang berpuasa dengan niatan menunaikan kafaroh, lalu ia temukan adanya budak di tengah ia berpuasa, puasanya tidak jadi sia-sia. (Shahih Fiqh Sunnah, 1: 204-205)


Menemukan Air di Waktu Shalat Setelah Sebelumnya Shalat dengan Tayamum

Dalam kondisi seperti ini, apakah perlu shalat pertama yang dilakukan dengan tayamum diulang?
Pendapat yang tepat dalam masalah ini, shalatnya tidak perlu diulang. Dalilnya adalah hadits Abu Sa’id Al Khudri berikut.
عَنْ أَبِى سَعِيدٍ الْخُدْرِىِّ قَالَ خَرَجَ رَجُلاَنِ فِى سَفَرٍ فَحَضَرَتِ الصَّلاَةُ وَلَيْسَ مَعَهُمَا مَاءٌ فَتَيَمَّمَا صَعِيدًا طَيِّبًا فَصَلَّيَا ثُمَّ وَجَدَا الْمَاءَ فِى الْوَقْتِ فَأَعَادَ أَحَدُهُمَا الصَّلاَةَ وَالْوُضُوءَ وَلَمْ يُعِدِ الآخَرُ ثُمَّ أَتَيَا رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَذَكَرَا ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ لِلَّذِى لَمْ يُعِدْ « أَصَبْتَ السُّنَّةَ وَأَجْزَأَتْكَ صَلاَتُكَ ». وَقَالَ لِلَّذِى تَوَضَّأَ وَأَعَادَ « لَكَ الأَجْرُ مَرَّتَيْنِ »
Dari Abu Sa’id Al Khudri, ia berkata, “Ada dua orang pria keluar melakukan safar, lalu datang waktu shalat. Ketika itu keduanya tidak mendapati air. Akhirnya mereka bertayamum dengan tanah yang suci, kemudian mereka shalat. Masih di waktu shalat, mereka pun mendapati air. Salah satu dari mereka mengulangi shalat dengan berwudhu. Yang lainnya tidak mengulangi shalatnya. Kemudian mereka mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menceritakan kejadian mereka pada beliau. Lantas beliau bersabda pada orang yang tidak mengulangi shalatnya, “Engkau telah menjalani sunnah dan shalatmu sah.” Lalu beliau bersabda pula pada orang yang mengulangi shalatnya, “Engkau mendapatkan dua pahala.” (HR. Abu Daud no. 338 dan An Nasai no. 433. Syaikh Al Albani menshahihkan hadits tersebut) (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1: 205-206)


Referensi
  1. Ad Daroril Mudhiyyah Syarh Ad Durorul Bahiyyah, Muhammad bin ‘Ali Asy Syaukani, terbitan Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama, 1432 H.
  2. Al Istidzkar, Ibnu ‘Abdil Barr An Numari, terbitan Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, cetakan pertama, 1421 H.
  3. Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, terbitan Kementrian Agama Kuwait.
  4. Al Muhalla, Ibnu Hazm, Mawqi’ Ya’sub.
  5. Al Mulakhoshul Fiqhiy, Dr. Sholeh bin Fauzan bin ‘Abdillah Al Fauzan, terbitan Darul Ifta’, cetakan kedua, 1430 H.
  6. Fiqhus Sunnah, Sayyid Sabiq, terbitan Muassasah Ar Risalah, cetakan ketiga, 1430 H.
  7. Mukhtashor Zaadil Ma’ad (Ibnul Qoyyim), Syaikh Muhammad bin ‘Abdil Wahhab, terbitan Maktabah Ar Rusyd, cetakan keempat, 1429 H.
  8. Shahih Fiqh Sunnah, Abu Malik Kamal bin As Sayid Salim, terbitan Al Maktabah At Taufiqiyah.
  9. Syarh ‘Umdatul Fiqh, Prof. Dr. ‘Abdullah bin ‘Abdul ‘Aziz Al Jibrin, terbitan Maktabah Ar Rusyd, cetakan keenam, 1431 H.
  10. Subulus Salam, Muhammad bin Isma’il Al Amir Ash Shon’ani, terbitan Dar Ibnil Jauzi, cetakan kedua, 1432 H.
  11. Taisirul Fiqh, Prof. Dr. Sholeh bin Ghonim As Sadlan, terbitan Dar Blancia, cetakan pertama 1424 H.
Wallahu'alam
Wa-Baarakallaahu Fiikum jamii'an
Wasalamu'alaikum warahmatullahi wabarakat





 Bismillahirrahmanirrahim...
Allahumma shallii alaa Muhammad Nabiyyil ummi wa barik 'alaihi wasallim
Allahumma shallii 'alaa Muhammad Wa umma wabarik 'alaihi wasallim
Allahumma shallii 'alaa Muhammad Biadadi man shalla' alaihi wasallim
Allahumma shallii 'alaa Muhammad Biadadi man lam an yushalli 'alaihi wasallim
Allahumma shallii 'alaa Muhammad kama tuhibbu an yushalli 'alaihi wassallim
Allahumma shallii 'alaa Muhammad kama amarta an yushalli 'alaihi wasallim

Allahumma shallii 'alaa Muhammad kama yasbaqhis shalawatu 'alaihi wasallim.
Allahumma shalli 'alaa Muhammadin wa'ala ali Muhammadin kamasollaita'ala Ibrahim.
Wabarik'ala Muhammadin wa'ala ali Muhammadin kamabarakta'ala Ibrahima fil'alamin.
innaka hamidunmajid
amiin Ya Karim

amiin Ya Wahhab..amiin Ya "Alimun

Adab Buang Hajat

Assalamu'alaikum Warahmatulahi Wabarakatu.

Bismillahirrahmanirrahim
Allahummashalli 'alaa Muhammad wa'alaa aalihi wa ashabihi wadlurriyatihi
washallim.

 



“Alhamdulillahi nasta’iinuhu wanastagh firuhu wana’uudzubillaahi min syuruuri anfusinaa waminsayyi ati a’ maalinaa man yahdihillahu falaa mudhilla lahu waman yudhlil falaa haadiya lahu, asyhadu anlaa ilaha illallaahu wah dahulaa syariikalahu wa asyhadu anna muhammadan ‘abduhuu warasuuluhu la nabiya ba’da.”


Dalil Permasalahan

Dari Abu Ayyub Al Anshori, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« إِذَا أَتَيْتُمُ الْغَائِطَ فَلاَ تَسْتَقْبِلُوا الْقِبْلَةَ وَلاَ تَسْتَدْبِرُوهَا ، وَلَكِنْ شَرِّقُوا أَوْ غَرِّبُوا » . قَالَ أَبُو أَيُّوبَ فَقَدِمْنَا الشَّأْمَ فَوَجَدْنَا مَرَاحِيضَ بُنِيَتْ قِبَلَ الْقِبْلَةِ ، فَنَنْحَرِفُ وَنَسْتَغْفِرُ اللَّهَ تَعَالَى
“Jika kalian mendatangi jamban, maka janganlah kalian menghadap kiblat dan membelakanginya. Akan tetapi, hadaplah ke arah timur atau barat.” Abu Ayyub mengatakan, “Dulu kami pernah tinggal di Syam. Kami mendapati jamban kami dibangun menghadap ke arah kiblat. Kami pun mengubah arah tempat tersebut dan kami memohon ampun pada Allah Ta’ala.” (HR. Bukhari no. 394 dan Muslim no. 264).

Yang dimaksud dengan “hadaplah arah barat dan timur” adalah ketika kondisinya di Madinah. Karena arah kiblat di Madinah adalah menghadap ke selatan. Kalau dikatakan tidak boleh menghadap kiblat atau pun membelakanginya, berarti yang dimaksud adalah larangan menghadap selatan dan utara. Jadinya, yang dibolehkan adalah menghadap barat atau timur. Ini bagi kota Madinah, sedangkan untuk daerah lainnya tinggal menyesuaikan maksud hadits.
Hadits kedua, hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma yang mengatakan,
ارْتَقَيْتُ فَوْقَ ظَهْرِ بَيْتِ حَفْصَةَ لِبَعْضِ حَاجَتِى ، فَرَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَقْضِى حَاجَتَهُ مُسْتَدْبِرَ الْقِبْلَةِ مُسْتَقْبِلَ الشَّأْمِ
“Aku pernah menaiki rumah Hafshoh karena ada sebagian keperluanku. Lantas aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam buang hajat dengan membelakangi kiblat dan menghadap Syam.” (HR. Bukhari no. 148, 3102 dan Muslim no. 266). Hadits ini menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membelakangi kiblat ketika buang hajat dan ketika itu berada di dalam bangunan, artinya terhalangi oleh dinding bangunan. Membelakangi kiblat berarti menghadap ke arah utara dan Syam berada di utara Madinah.
Ada dalil lainnya dalam kitab sunan,
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ نَهَى نَبِىُّ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ نَسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةَ بِبَوْلٍ فَرَأَيْتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْبَضَ بِعَامٍ يَسْتَقْبِلُهَ

Dari Jabir bin ‘Abdullah ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang menghadap kiblat ketika kencing, namun aku melihat setahun sebelum beliau wafat, beliau menghadapnya (HR. Abu Daud no. 13, Tirmidzi no. 9 dan Ibnu Majah no. 325. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa haditsnya hasan).

Delapan Pendapat

Dalam masalah menghadap atau membelakangi kiblat ketika buang hajat, para ulama berselih pendapat menjadi:
1- Tidak dibolehkan baik di dalam bangunan atau di luar bangunan. Inilah pendapat Abu Ayyub Al Anshori, Mujahid, An Nakho’i, Ats Tsauri, Abu Tsaur, Ahmad dalam salah satu pendapatnya.
2- Dibolehkan di dalam bangunan maupun di luar bangunan. Inilah pendapat Robi’ah, guru dari Imam Malik.
3- Diharamkan di luar bangunan, bukan di dalam bangunan. Inilah pendapat Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad dalam salah satu pendapatnya.
4- Tidak boleh menghadap di dalam atau di luar bangunan, namun boleh membelakanginya di dalam maupun di dalam maupun di luar bangunan. Ini salah satu pendapat dari Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad.
5- Hukumnya hanyalah makruh dan menjadi pendapat Hadawiyah.
6- Boleh membelakangi dalam bangunan saja dan inilah yang jadi pegangan Abu Yusuf.
7- Dilarang secara mutlak termasuk pula pada Baitul Maqdis, sebagaimana pendapat Ibnu Siirin.
8- Pengharaman hanya khusus penduduk Madinah dan yang searah dengan mereka, demikian pendapat Abu ‘Awanah, murid dari Al Muzani.


Pendapat yang Lebih Kuat

Pendapat yang lebih tepat dalam masalah ini sebagaimana yang dianut oleh madzhab Syafi’i, yaitu tidak boleh menghadap atau membelakangi kiblat ketika berada di luar bangunan, namun tidak terlarang di dalam bangunan yang ada penghalang (pembatas). Yang mendukung hal ini adalah tiga dalil yang telah disebutkan di atas dan hasil kompromi.
Kenapa bisa sampai pendapat ini yang dikuatkan?

Syaikh Dr. Sa’ad bin Nashir Asy Syatsri mengatakan bahwa tidak tepat jika mendahulukan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan larangan dengan perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan bolehnya atau keringanan. Dan tidak perlu sampai menguatkan perkataan dari perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. 

 Karena selama bisa dikompromikan antara perkataan dan perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, itulah yang didahulukan, tanpa menempuh jalan pentarjihan (penguatan pendapat). Sehingga yang dipilih adalah dengan mengkompromikan dalil, yaitu kita katakan bahwa hadits larangan berlaku untuk luar bangunan, sedangkan hadits rukhsoh (keringanan) dimaksudkan untuk dalam bangunan. Inilah jalan kompromi yang terbaik menurut beliau sebagaimana disebutkan dalam Syarh ‘Umdatil Ahkam, 1: 46-47.

Jika dipahami secara tekstual, maka yang dimaksud dengan larangan di sini adalah larangan haram.
Demikian disebutkan oleh Abu Bakr Al Hishni Al Husaini dalam Kifayatul Akhyar hal. 73.
Syaikh Prof. Dr. Musthofa Al Bugho dalam At Tadzhib (hal. 20) berkata, “Larangan menghadap atau membelakangi kiblat dibawa pada makna larangan ketika berada di luar bangunan yang tidak tertutup. Sedangkan perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan bolehnya dipahami bolehnya di dalam bangunan.”

Sebagaimana dinukil pula oleh penulis Kifayatul Akhyar, Imam Nawawi berkata bahwa jika di hadapan orang yang buang hajat terdapat penutup (penghalang) yang tingginya 2/3 hasta sampai 3 hasta, maka boleh saja menghadap kiblat baik ketika berada di dalam bangunan atau di luar bangunan.

Artinya, patokannya adalah adanya penghalang ataukah tidak di arah kiblat. Kalau ada penghalang berarti tidak menghadap langsung ke kiblat, maka tidaklah masalah. Demikian faedah dari Kifayatul Akhyar, hal. 73.

Menghadap Matahari atau Bulan 

Sebagian kalangan melarang menunaikan hajat sambil menghadap matahari dan rembulan. Hal ini dihukumi makruh, sehingga semestinya dihindari.

Sebagaimana hal ini disebutkan pula dalam matan Al Ghoyah wat Taqrib karya Al Qodhi Abu Syuja’, “Tidak boleh menghadap matahari dan rembulan, begitu pula tidak boleh membelakanginya.”

Namun yang tepat adalah menghadap atau membelakangi matahari dan bulan ketika buang hajat tidaklah terlarang.
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Kebanyakan ulama Syafi’iyah menganjurkan tidak menghadap matahari dan rembulan (saat buang hajat), namun sandaran mereka adalah hadits dho’if.

Larangan tersebut menyelisihi larangan menghadap kiblat (saat buang hajat) pada empat keadaan. Salah satunya, larangan menghadap kiblat saat buang hajat shahih dan masyhur. Sedangkan larangan menghadap dan membelakangi matahari atau rembulan adalah hadits dho’if, bahkan hadits batil. ….

Inilah pendapat yang jadi pilihan karena anjuran tersebut butuh dalil, sedangkan tidak ada dalil yang mendukungnya.” Lihat Al Majmu’ karya Imam Nawawi, 2: 111.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Adapun pendalilannya bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang buang hajat dengan menghadap dan membelakangi matahari dan rembulan, lalu berdalil dengan hadits, maka itu sebenarnya keliru. Karena tidak ada nukilan sama sekali dengan satu kalimat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam baik dengan sanad shahih, dho’if, mursal, atau sanad yang muttashil (bersambung).

 Dan tidak ada dalil sama sekali yang menunjukkan larangan dalam masalah ini. Ada sebagian fuqoha beralasan bahwa nama Allah itu tertera di matahari dan rembulan. Ada pula yang mengatakan bahwa cahaya matahari dan rembulan adalah cahaya Allah. Ada juga yang memberikan argumen bahwa tidak menghadap atau membelakangi matahari dan rembulan lebih membuat aurat tertutup.” Demikian secara ringkas yang disampaikan oleh Ibnul Qayyim dalam Miftahu Daaris Sa’adah, 2: 205.

Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin menuturkan bahwa anggapan cahaya matahari dan rembulan adalah cahaya Allah tidaklah benar karena cahaya tersebut bukanlah sifat untuk Allah, namun hanyalah cahaya makhluk. Lihat Syarhul Mumthi’, 1: 123.

Dalam hadits hanyalah disebutkan,
إِذَا أَتَى أَحَدُكُمُ الْغَائِطَ فَلاَ يَسْتَقْبِلِ الْقِبْلَةَ وَلاَ يُوَلِّهَا ظَهْرَهُ ، شَرِّقُوا أَوْ غَرِّبُوا
“Jika kalian hendak buang hajat, maka janganlah menghadap kiblat, jangan pula membelakanginya akan tetapi hadaplah timur dan barat.”  (HR. Bukhari no. 144 dan Muslim no. 264). Keadaan menghadap kiblat dan membelakangi di saat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan hadits ini adalah menghadap utara dan selatan. Berarti selain arah tersebut adalah timur dan barat. Padahal menghadap timur dan barat, itu berarti menghadap atau membelakangi arah matahari. Dan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah mengatakan, “Kecuali jika kalian menghadap matahari atau rembulan, maka jangan lakukan.” Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah mengucapkan semisal itu. Lihat Syarhul Mumthi’, 1: 123.

Kesimpulannya, sebagaiman kata Syaikh Muhammad Al ‘Utsaimin dalam Syarhul Mumthi’ (1: 123), yang tepat adalah tidak dihukumi makruh karena tidak ada dalil shahih yang memakruhkannya bahkan ada dalil shahih yang menyatakan bolehnya.

Wallahu'alam
Wa-Baarakallaahu Fiikum jamii'an
Wasalamu'alaikum warahmatullahi wabarakat



 Bismillahirrahmanirrahim...
Allahumma shallii alaa Muhammad Nabiyyil ummi wa barik 'alaihi wasallim
Allahumma shallii 'alaa Muhammad Wa umma wabarik 'alaihi wasallim
Allahumma shallii 'alaa Muhammad Biadadi man shalla' alaihi wasallim
Allahumma shallii 'alaa Muhammad Biadadi man lam an yushalli 'alaihi wasallim
Allahumma shallii 'alaa Muhammad kama tuhibbu an yushalli 'alaihi wassallim
Allahumma shallii 'alaa Muhammad kama amarta an yushalli 'alaihi wasallim

Allahumma shallii 'alaa Muhammad kama yasbaqhis shalawatu 'alaihi wasallim.
Allahumma shalli 'alaa Muhammadin wa'ala ali Muhammadin kamasollaita'ala Ibrahim.
Wabarik'ala Muhammadin wa'ala ali Muhammadin kamabarakta'ala Ibrahima fil'alamin.
innaka hamidunmajid
amiin Ya Karim

amiin Ya Wahhab..amiin Ya "Alimun

Hukum Berhubungan Intim Di siang hari Di Bulan Ramadhan

Assalamu'alaikum Warahmatulahi Wabarakatu.

Bismillahirrahmanirrahim
Allahummashalli 'alaa Muhammad wa'alaa aalihi wa ashabihi wadlurriyatihi
washallim.

 



“Alhamdulillahi nasta’iinuhu wanastagh firuhu wana’uudzubillaahi min syuruuri anfusinaa waminsayyi ati a’ maalinaa man yahdihillahu falaa mudhilla lahu waman yudhlil falaa haadiya lahu, asyhadu anlaa ilaha illallaahu wah dahulaa syariikalahu wa asyhadu anna muhammadan ‘abduhuu warasuuluhu la nabiya ba’da.”

Kita sudah mengetahui bahwa berhubungan intim di siang hari bulan Ramadhan dilarang keras. Di samping puasanya batal dan mesti mengqadha’ (mengganti puasanya di hari lain), si penanggung nafkah pun mesti menunaikan kafarah yang berat.

Mengenai kafarah orang yang melakukan hubungan intim di siang hari Ramadhan -tanpa ada uzur- telah diterangkan dalam hadits berikut.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوسٌ عِنْدَ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – إِذْ جَاءَهُ رَجُلٌ ، فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلَكْتُ . قَالَ « مَا لَكَ » . قَالَ وَقَعْتُ عَلَى امْرَأَتِى وَأَنَا صَائِمٌ . فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – « هَلْ تَجِدُ رَقَبَةً تُعْتِقُهَا » . قَالَ لاَ . قَالَ « فَهَلْ تَسْتَطِيعُ أَنْ تَصُومَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ » . قَالَ لاَ . فَقَالَ « فَهَلْ تَجِدُ إِطْعَامَ سِتِّينَ مِسْكِينًا » . قَالَ لاَ . قَالَ فَمَكَثَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – ، فَبَيْنَا نَحْنُ عَلَى ذَلِكَ أُتِىَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – بِعَرَقٍ فِيهَا تَمْرٌ – وَالْعَرَقُ الْمِكْتَلُ – قَالَ « أَيْنَ السَّائِلُ » . فَقَالَ أَنَا . قَالَ « خُذْهَا فَتَصَدَّقْ بِهِ » . فَقَالَ الرَّجُلُ أَعَلَى أَفْقَرَ مِنِّى يَا رَسُولَ اللَّهِ فَوَاللَّهِ مَا بَيْنَ لاَبَتَيْهَا – يُرِيدُ الْحَرَّتَيْنِ – أَهْلُ بَيْتٍ أَفْقَرُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِى ، فَضَحِكَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – حَتَّى بَدَتْ أَنْيَابُهُ ثُمَّ قَالَ « أَطْعِمْهُ أَهْلَكَ »
“Suatu hari kami duduk-duduk di dekat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian datanglah seorang pria menghadap beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu pria tersebut mengatakan, “Wahai Rasulullah, celaka aku.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Apa yang terjadi padamu?” Pria tadi lantas menjawab, “Aku telah menyetubuhi istri, padahal aku sedang puasa.” Kemudian
 
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Apakah engkau memiliki seorang budak yang dapat engkau merdekakan?” Pria tadi menjawab, “Tidak”. Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi, “Apakah engkau mampu berpuasa dua bulan berturut-turut?” Pria tadi menjawab, “Tidak”. Lantas beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi, “Apakah engkau dapat memberi makan kepada 60 orang miskin?” Pria tadi juga menjawab, “Tidak”. Abu Hurairah berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas diam.

Tatkala kami dalam kondisi demikian, ada yang memberi hadiah satu wadah kurma kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,“Di mana orang yang bertanya tadi?” Pria tersebut lantas menjawab, “Ya, aku.” Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Ambillah dan bersedakahlah dengannya.” Kemudian pria tadi mengatakan, “Apakah akan aku berikan kepada orang yang lebih miskin dariku, wahai Rasulullah? Demi Allah, tidak ada yang lebih miskin di ujung timur hingga ujung barat kota Madinah dari keluargaku. ” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu tertawa sampai terlihat gigi taringnya. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Berilah makanan tersebut pada keluargamu.” (HR. Bukhari no. 1936 dan Muslim no. 1111).
Dari hadits di atas berarti wajib bagi yang berhubungan intim di siang bulan Ramadhan untuk membayar kafarah seperti yang disebutkan dalam hadits: (1) membebaskan satu orang budak, (2) jika tidak diperoleh, berpuasa dua bulan berturut-turut, (3) jika tidak mampu, memberi makan kepada 60 orang miskin.

Bagaimana jika hubungan intim tersebut dilakukan berkali-kali di bulan Ramadhan?

Asy Syairozi berkata, “Jika hubungan intim dilakukan dalam dua atau beberapa hari di bulan Ramadhan, maka setiap harinya wajib dikenakan kafarah. Karena setiap hari puasa adalah ibadah tersendiri. … Sedangkan jika hubungan intim tersebut diulangi dalam sehari dua kali, maka untuk hubungan intim yang kedua tidak dikenai kafarah sebab hubungan intim yang kedua tidak dianggap sedang berpuasa.” (Al Majmu’, 6: 239).

Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Menurut madzhab Syafi’i, orang yang mengulangi hubungan intim dalam satu hari, maka kafarahnya cuma sekali yaitu untuk membayar kafarah jima’ (hubungan intim) yang pertama.” (Idem, 6: 240).
Beliau juga berkata, “Sedangkan jika jima’ dilakukan di hari yang berbeda, maka kafarah yang berlaku adalah untuk masing-masing hari.” (Idem).

Referensi:

Al Majmu’ Syarh Al Muhaddzab lisy Syairozi, Yahya bin Syarf An Nawawi, tahqiq: Muhammad Najib Al Muthi’i, terbitan Dar ‘Alamil Kutub, cetakan kedua, tahun 1427 H.

Wallahu'alam
Wa-Baarakallaahu Fiikum jamii'an
Wasalamu'alaikum warahmatullahi wabarakat





 Bismillahirrahmanirrahim...
Allahumma shallii alaa Muhammad Nabiyyil ummi wa barik 'alaihi wasallim
Allahumma shallii 'alaa Muhammad Wa umma wabarik 'alaihi wasallim
Allahumma shallii 'alaa Muhammad Biadadi man shalla' alaihi wasallim
Allahumma shallii 'alaa Muhammad Biadadi man lam an yushalli 'alaihi wasallim
Allahumma shallii 'alaa Muhammad kama tuhibbu an yushalli 'alaihi wassallim
Allahumma shallii 'alaa Muhammad kama amarta an yushalli 'alaihi wasallim

Allahumma shallii 'alaa Muhammad kama yasbaqhis shalawatu 'alaihi wasallim.
Allahumma shalli 'alaa Muhammadin wa'ala ali Muhammadin kamasollaita'ala Ibrahim.
Wabarik'ala Muhammadin wa'ala ali Muhammadin kamabarakta'ala Ibrahima fil'alamin.
innaka hamidunmajid
amiin Ya Karim

amiin Ya Wahhab..amiin Ya "Alimun

Hal-Hal Yang Membatalkan Wudhu

Assalamu'alaikum Warahmatulahi Wabarakatu.

Bismillahirrahmanirrahim
Allahummashalli 'alaa Muhammad wa'alaa aalihi wa ashabihi wadlurriyatihi
washallim.

 




“Alhamdulillahi nasta’iinuhu wanastagh firuhu wana’uudzubillaahi min syuruuri anfusinaa waminsayyi ati a’ maalinaa man yahdihillahu falaa mudhilla lahu waman yudhlil falaa haadiya lahu, asyhadu anlaa ilaha illallaahu wah dahulaa syariikalahu wa asyhadu anna muhammadan ‘abduhuu warasuuluhu la nabiya ba’da.”


Berikut adalah beberapa pembatal wudhu berdasarkan Al Qur’an dan As Sunnah. Semoga bermanfaat bagi pembaca sekalian.

Pembatal pertama: Kencing, buang air besar, dan kentut

Dalil bahwa kencing dan buang air besar merupakan pembatal wudhu dapat dilihat pada firman Allah Ta’ala,
أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ
“Atau kembali dari tempat buang air (kakus).” (1) Yang dimaksud dengan al ghoith dalam ayat ini secara bahasa bermakna tanah yang rendah yang luas.(2) Al ghoith juga adalah kata kiasan (majaz) untuk tempat buang air (kakus) dan lebih sering digunakan untuk makna majaz ini (3)
Para ulama sepakat bahwa wudhu menjadi batal jika keluar kencing dan buang air besar dari jalan depan atau pun belakang.(4)
Sedangkan dalil bahwa kentut (baik dengan bersuara atau pun tidak) membatalkan wudhu adalah hadits dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
سَمِعَ أَبَا هُرَيْرَةَ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – « لاَ تُقْبَلُ صَلاَةُ مَنْ أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ » . قَالَ رَجُلٌ مِنْ حَضْرَمَوْتَ مَا الْحَدَثُ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ قَالَ فُسَاءٌ أَوْ ضُرَاطٌ
“Shalat seseorang yang berhadats tidak akan diterima sampai ia berwudhu.” Lalu ada orang dari Hadhromaut mengatakan, “Apa yang dimaksud hadats, wahai Abu Hurairah?” Abu Hurairah pun menjawab,
فُسَاءٌ أَوْ ضُرَاطٌ
“Di antaranya adalah kentut tanpa suara atau kentut dengan suara.”(5) Para ulama pun sepakat bahwa kentut termasuk pembatal wudhu.(6)


Pembatal kedua: Keluarnya mani, wadi, dan madzi

Apa yang dimaksud mani, wadi dan madzi?
Wadi adalah sesuatu yang keluar sesudah kencing pada umumnya, berwarna putih, tebal mirip mani, namun berbeda kekeruhannya dengan mani. Wadi tidak memiliki bau yang khas.
Sedangkan madzi adalah cairan berwarna putih, tipis, lengket, keluar ketika bercumbu rayu atau ketika membayangkan jima’ (bersetubuh) atau ketika berkeinginan untuk jima’. Madzi tidak menyebabkan lemas dan terkadang keluar tanpa terasa yaitu keluar ketika muqoddimah syahwat. Laki-laki dan perempuan sama-sama bisa memiliki madzi.(7)

Madzi dan wadi najis. Sedangkan mani -menurut pendapat yang lebih kuat- termasuk zat yang suci. Cara mensucikan pakaian yang terkena madzi dan wadi adalah dengan cara diperciki. Sedangkan mani cukup dengan dikerik.

Jika keluar mani, maka seseorang diwajibkan untuk mandi. Mani bisa membatalkan wudhu berdasarkan kesepakatan para ulama dan segala sesuatu yang menyebabkan mandi termasuk pembatal wudhu(8)

Madzi bisa membatalkan wudhu berdasarkan hadits tentang cerita ‘Ali bin Abi Tholib. ‘Ali mengatakan,
كُنْتُ رَجُلاً مَذَّاءً وَكُنْتُ أَسْتَحْيِى أَنْ أَسْأَلَ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- لِمَكَانِ ابْنَتِهِ فَأَمَرْتُ الْمِقْدَادَ بْنَ الأَسْوَدِ فَسَأَلَهُ فَقَالَ « يَغْسِلُ ذَكَرَهُ وَيَتَوَضَّأُ ».
“Aku termausk orang yang sering keluar madzi. Namun aku malu menanyakan hal ini kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallm dikarenakan kedudukan anaknya (Fatimah) di sisiku. Lalu aku pun memerintahkan pada Al Miqdad bin Al Aswad untuk bertanya pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lantas beliau memberikan jawaban pada Al Miqdad, “Cucilah kemaluannya kemudian suruh ia berwudhu”.(9)

Sedangkan wadi semisal dengan madzi sehingga perlakuannya sama dengan madzi.
Ibnu ‘Abbas mengatakan,
الْمَنِىُّ وَالْمَذْىُ وَالْوَدْىُ ، أَمَّا الْمَنِىُّ فَهُوَ الَّذِى مِنْهُ الْغُسْلُ ، وَأَمَّا الْوَدْىُ وَالْمَذْىُ فَقَالَ : اغْسِلْ ذَكَرَكَ أَوْ مَذَاكِيرَكَ وَتَوَضَّأْ وُضُوءَكَ لِلصَّلاَةِ.
“Mengenai mani, madzi dan wadi; adapun mani, maka diharuskan untuk mandi. Sedangkan wadi dan madzi, Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Cucilah kemaluanmu, lantas berwudhulah sebagaimana wudhumu untuk shalat.”(10)

Pembatal ketiga: Tidur Lelap (Dalam Keadaan Tidak Sadar)

Tidur yang membatalkan wudhu adalah tidur lelap yang tidak lagi dalam keadaan sadar. Maksudnya, ia tidak lagi mendengar suara, atau tidak merasakan lagi sesuatu jatuh dari tangannya, atau tidak merasakan air liur yang menetes. Tidur seperti inilah yang membatalkan wudhu, baik tidurnya dalam keadaan berdiri, berbaring, ruku’ atau sujud. Karena tidur semacam ini yang dianggap mazhonnatu lil hadats, yaitu kemungkinan muncul hadats.
Sedangkan tidur yang hanya sesaat yang dalam keadaan kantuk, masih sadar dan masih merasakan merasakan apa-apa, maka tidur semacam ini tidak membatalkan wudhu. Inilah pendapat yang bisa menggabungkan dalil-dalil yang ada.

Di antara dalil hal ini adalah hadits dari Anas bin Malik,
أُقِيمَتِ الصَّلاَةُ وَالنَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- يُنَاجِى رَجُلاً فَلَمْ يَزَلْ يُنَاجِيهِ حَتَّى نَامَ أَصْحَابُهُ ثُمَّ جَاءَ فَصَلَّى بِهِمْ.
“Ketika shalat hendak ditegakkan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berbisik-bisik dengan seseorang. Beliau terus berbisik-bisik dengannya hingga para sahabat tertidur. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun datang dan shalat bersama mereka.”(11)
Qotadah mengatakan bahwa ia pernah mendengar Anas berkata,
كَانَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَنَامُونَ ثُمَّ يُصَلُّونَ وَلاَ يَتَوَضَّئُونَ قَالَ قُلْتُ سَمِعْتَهُ مِنْ أَنَسٍ قَالَ إِى وَاللَّهِ.
“Para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ketiduran kemudian mereka pun melakukan shalat, tanpa berwudhu lagi.” Ada yang mengatakan, “Benarkah engkau mendengar hal ini dari Anas?” Qotadah, “Iya betul. Demi Allah.”(12)

Pembatal keempat: Hilangnya akal karena mabuk, pingsan dan gila. Ini berdasarkan ijma’ (kesepakatan para ulama). Hilang kesadaran pada kondisi semacam ini tentu lebih parah dari tidur.(13)

Pembatal kelima: Memakan daging unta.

Dalilnya adalah hadist dari Jabir bin Samuroh,
أَنَّ رَجُلاً سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَأَتَوَضَّأُ مِنْ لُحُومِ الْغَنَمِ قَالَ « إِنْ شِئْتَ فَتَوَضَّأْ وَإِنْ شِئْتَ فَلاَ تَوَضَّأْ ». قَالَ أَتَوَضَّأُ مِنْ لُحُومِ الإِبِلِ قَالَ « نَعَمْ فَتَوَضَّأْ مِنْ لُحُومِ الإِبِلِ ».
“Ada seseorang yang bertanya pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Apakah aku mesti berwudhu setelah memakan  daging kambing?” Beliau bersabda, “Jika engkau mau, berwudhulah. Namun jika enggan, maka tidak mengapa engkau tidak berwudhu.” Orang tadi bertanya lagi, “ Apakah seseorang mesti berwudhu setelah memakan daging unta?” Beliau bersabda, “Iya, engkau harus berwudhu setelah memakan daging unta.”(14)

1.  QS. Al Maidah: 6
2.  Lihat Al Mu’jam Al Wasith, 2/244, Asy Syamilah
3.  Lihat Al Mugni, Ibnu Qudamah, Al Maqdisi, 1/195, Darul Fikri, Beirut.
4.  Lihat Shahih Fiqh Sunnah, Abu Malik Kamal bin As Sayid Salim, 1/127, Al Maktabah At Taufiqiyah.
5.  HR. Bukhari no. 135.
6. Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/128.
7.  Lihat Fatawa Al Lajnah Ad Da-imah lil Buhuts ‘Ilmiyyah wal Ifta’, 5/383, pertanyaan kedua dari fatwa no.4262, Mawqi’ Al Ifta’.
8.  Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/128.
9.  HR. Bukhari no. 269 dan Muslim no. 303.
10 HR. Al Baihaqi no. 771. Syaikh Abu Malik -penulis Shahih Fiqh Sunnah- mengatakan bahwa sanad riwayat ini shahih.
11.  HR. Muslim no. 376.
12 HR. Muslim no. 376.
13.  Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/133.
15.  HR. Muslim no. 360.
Wallahu'alam
Wa-Baarakallaahu Fiikum jamii'an
Wasalamu'alaikum warahmatullahi wabarakat




 Bismillahirrahmanirrahim...
Allahumma shallii alaa Muhammad Nabiyyil ummi wa barik 'alaihi wasallim
Allahumma shallii 'alaa Muhammad Wa umma wabarik 'alaihi wasallim
Allahumma shallii 'alaa Muhammad Biadadi man shalla' alaihi wasallim
Allahumma shallii 'alaa Muhammad Biadadi man lam an yushalli 'alaihi wasallim
Allahumma shallii 'alaa Muhammad kama tuhibbu an yushalli 'alaihi wassallim
Allahumma shallii 'alaa Muhammad kama amarta an yushalli 'alaihi wasallim

Allahumma shallii 'alaa Muhammad kama yasbaqhis shalawatu 'alaihi wasallim.
Allahumma shalli 'alaa Muhammadin wa'ala ali Muhammadin kamasollaita'ala Ibrahim.
Wabarik'ala Muhammadin wa'ala ali Muhammadin kamabarakta'ala Ibrahima fil'alamin.
innaka hamidunmajid
amiin Ya Karim

amiin Ya Wahhab..amiin Ya "Alimun

Niat, Bacaan dan Tata Cara Mandi Junub

Assalamu'alaikum Warahmatulahi Wabarakatu.

Bismillahirrahmanirrahim
Allahummashalli 'alaa Muhammad wa'alaa aalihi wa ashabihi wadlurriyatihi
washallim.

 




“Alhamdulillahi nasta’iinuhu wanastagh firuhu wana’uudzubillaahi min syuruuri anfusinaa waminsayyi ati a’ maalinaa man yahdihillahu falaa mudhilla lahu waman yudhlil falaa haadiya lahu, asyhadu anlaa ilaha illallaahu wah dahulaa syariikalahu wa asyhadu anna muhammadan ‘abduhuu warasuuluhu la nabiya ba’da.”


Niat, Syarat Sahnya Mandi

Para ulama mengatakan bahwa di antara fungsi niat adalah untuk membedakan manakah yang menjadi kebiasaan dan manakah ibadah. Dalam hal mandi tentu saja mesti dibedakan dengan mandi biasa. Pembedanya adalah niat. Dalam hadits dari ‘Umar bin Al Khattab, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
“Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya.” (HR. Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907)

Rukun Mandi

Hakikat mandi adalah mengguyur seluruh badan dengan air, yaitu mengenai rambut dan kulit.
Inilah yang diterangkan dalam banyak hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antaranya adalah hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha yang menceritakan tata cara mandi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
ثُمَّ يُفِيضُ الْمَاءَ عَلَى جَسَدِهِ كُلِّهِ
“Kemudian beliau mengguyur air pada seluruh badannya.” (HR. An Nasa-i no. 247. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Ibnu Hajar Al Asqolani mengatakan,
هَذَا التَّأْكِيد يَدُلُّ عَلَى أَنَّهُ عَمَّمَ جَمِيع جَسَدِهِ بِالْغُسْلِ
“Penguatan makna dalam hadits ini menunjukkan bahwa ketika mandi beliau mengguyur air ke seluruh tubuh.”1

Dari Jubair bin Muth’im berkata, “Kami saling memperbincangkan tentang mandi janabah di sisi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau bersabda,
أَمَّا أَنَا فَآخُذُ مِلْءَ كَفِّى ثَلاَثاً فَأَصُبُّ عَلَى رَأْسِى ثُمَّ أُفِيضُهُ بَعْدُ عَلَى سَائِرِ جَسَدِى
“Saya mengambil dua telapak tangan, tiga kali lalu saya siramkan pada kepalaku, kemudian saya tuangkan setelahnya pada semua tubuhku.” (HR. Ahmad 4/81. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat Bukhari Muslim)

Dalil yang menunjukkan bahwa hanya mengguyur seluruh badan dengan air itu merupakan rukun (fardhu) mandi dan bukan selainnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ummu Salamah. Ia mengatakan,
قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّى امْرَأَةٌ أَشُدُّ ضَفْرَ رَأْسِى فَأَنْقُضُهُ لِغُسْلِ الْجَنَابَةِ قَالَ « لاَ إِنَّمَا يَكْفِيكِ أَنْ تَحْثِى عَلَى رَأْسِكِ ثَلاَثَ حَثَيَاتٍ ثُمَّ تُفِيضِينَ عَلَيْكِ الْمَاءَ فَتَطْهُرِينَ ».
“Saya berkata, wahai Rasulullah, aku seorang wanita yang mengepang rambut kepalaku, apakah aku harus membuka kepangku ketika mandi junub?” Beliau bersabda, “Jangan (kamu buka). Cukuplah kamu mengguyur air pada kepalamu tiga kali, kemudian guyurlah yang lainnya dengan air, maka kamu telah suci.” (HR. Muslim no. 330)

Dengan seseorang memenuhi rukun mandi ini, maka mandinya dianggap sah, asalkan disertai niat untuk mandi wajib (al ghuslu). Jadi seseorang yang mandi di pancuran atau shower dan air mengenai seluruh tubuhnya, maka mandinya sudah dianggap sah.
Adapun berkumur-kumur (madhmadhoh), memasukkan air dalam hidung (istinsyaq) dan menggosok-gosok badan (ad dalk) adalah perkara yang disunnahkan menurut mayoritas ulama.2

Tata Cara Mandi yang Sempurna

Berikut kita akan melihat tata cara mandi yang disunnahkan. Apabila hal ini dilakukan, maka akan membuat mandi tadi lebih sempurna. Yang menjadi dalil dari bahasan ini adalah dua dalil yaitu hadits dari ‘Aisyah dan hadits dari Maimunah.
Hadits pertama:
عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ إِذَا اغْتَسَلَ مِنَ الْجَنَابَةِ بَدَأَ فَغَسَلَ يَدَيْهِ ، ثُمَّ يَتَوَضَّأُ كَمَا يَتَوَضَّأُ لِلصَّلاَةِ ، ثُمَّ يُدْخِلُ أَصَابِعَهُ فِى الْمَاءِ ، فَيُخَلِّلُ بِهَا أُصُولَ شَعَرِهِ ثُمَّ يَصُبُّ عَلَى رَأْسِهِ ثَلاَثَ غُرَفٍ بِيَدَيْهِ ، ثُمَّ يُفِيضُ الْمَاءَ عَلَى جِلْدِهِ كُلِّهِ

Dari ‘Aisyah, isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mandi junub, beliau memulainya dengan mencuci kedua telapak tangannya. Kemudian beliau berwudhu sebagaimana wudhu untuk shalat. Lalu beliau memasukkan jari-jarinya ke dalam air, lalu menggosokkannya ke kulit kepalanya, kemudian menyiramkan air ke atas kepalanya dengan cidukan kedua telapak tangannya sebanyak tiga kali, kemudian beliau mengalirkan air ke seluruh kulitnya.” (HR. Bukhari no. 248 dan Muslim no. 316)

Hadits kedua:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَتْ مَيْمُونَةُ وَضَعْتُ لِرَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – مَاءً يَغْتَسِلُ بِهِ ، فَأَفْرَغَ عَلَى يَدَيْهِ ، فَغَسَلَهُمَا مَرَّتَيْنِ مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلاَثًا ، ثُمَّ أَفْرَغَ بِيَمِينِهِ عَلَى شِمَالِهِ ، فَغَسَلَ مَذَاكِيرَهُ ، ثُمَّ دَلَكَ يَدَهُ بِالأَرْضِ ، ثُمَّ مَضْمَضَ وَاسْتَنْشَقَ ، ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ وَيَدَيْهِ ثُمَّ غَسَلَ رَأْسَهُ ثَلاَثًا ، ثُمَّ أَفْرَغَ عَلَى جَسَدِهِ ، ثُمَّ تَنَحَّى مِنْ مَقَامِهِ فَغَسَلَ قَدَمَيْهِ

Dari Ibnu ‘Abbas berkata bahwa Maimunah mengatakan, “Aku pernah menyediakan air mandi untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu beliau menuangkan air pada kedua tangannya dan mencuci keduanya dua kali-dua kali atau tiga kali. Lalu dengan tangan kanannya beliau menuangkan air pada telapak tangan kirinya, kemudian beliau mencuci kemaluannya. Setelah itu beliau menggosokkan tangannya ke tanah. Kemudian beliau berkumur-kumur dan memasukkan air ke dalam hidung. Lalu beliau membasuh muka dan kedua tangannya. Kemudian beliau membasuh kepalanya tiga kali dan mengguyur seluruh badannya. Setelah itu beliau bergeser dari posisi semula lalu mencuci kedua telapak kakinya (di tempat yang berbeda).” (HR. Bukhari no. 265 dan Muslim no. 317)

Dari dua hadits di atas, kita dapat merinci tata cara mandi yang disunnahkan sebagai berikut.

Pertama: Mencuci tangan terlebih dahulu sebanyak tiga kali sebelum tangan tersebut dimasukkan dalam bejana atau sebelum mandi.
Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah mengatakan, “Boleh jadi tujuan untuk mencuci tangan terlebih dahulu di sini adalah untuk membersihkan tangan dari kotoran … Juga boleh jadi tujuannya adalah karena mandi tersebut dilakukan setelah bangun tidur.”3

Kedua: Membersihkan kemaluan dan kotoran yang ada dengan tangan kiri.

Ketiga: Mencuci tangan setelah membersihkan kemaluan dengan menggosokkan ke tanah atau dengan menggunakan sabun.

An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Disunnahkan bagi orang yang beristinja’ (membersihkan kotoran) dengan air, ketika selesai, hendaklah ia mencuci tangannya dengan debu atau semacam sabun, atau hendaklah ia menggosokkan tangannya ke tanah atau tembok untuk menghilangkan kotoran yang ada.”4

Keempat: Berwudhu dengan wudhu yang sempurna seperti ketika hendak shalat.
Asy Syaukani rahimahullah mengatakan, “Adapun mendahulukan mencuci anggota wudhu ketika mandi itu tidaklah wajib. Cukup dengan seseorang mengguyur badan ke seluruh badan tanpa didahului dengan berwudhu, maka itu sudah disebut mandi (al ghuslu).”5

Untuk kaki ketika berwudhu, kapankah dicuci?
 Jika kita melihat dari hadits Maimunah di atas, dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau membasuh anggota wudhunya dulu sampai membasuh kepala, lalu mengguyur air ke seluruh tubuh, sedangkan kaki dicuci terakhir. Namun hadits ‘Aisyah menerangkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu secara sempurna (sampai mencuci kaki), setelah itu beliau mengguyur air ke seluruh tubuh.

Dari dua hadits tersebut, para ulama akhirnya berselisih pendapat kapankah kaki itu dicuci. Yang tepat tentang masalah ini, dua cara yang disebut dalam hadits ‘Aisyah dan Maimunah bisa sama-sama digunakan. Yaitu kita bisa saja mandi dengan berwudhu secara sempurna terlebih dahulu, setelah itu kita mengguyur air ke seluruh tubuh, sebagaimana disebutkan dalam riwayat ‘Aisyah. Atau boleh jadi kita gunakan cara mandi dengan mulai berkumur-kumur, memasukkan air dalam hidup, mencuci wajah, mencuci kedua tangan, mencuci kepala, lalu mengguyur air ke seluruh tubuh, kemudian kaki dicuci terakhir.

Syaikh Abu Malik hafizhohullah mengatakan, “Tata cara mandi (apakah dengan cara yang disebut dalam hadits ‘Aisyah dan Maimunah) itu sama-sama boleh digunakan, dalam masalah ini ada kelapangan.”6

Kelima: Mengguyur air pada kepala sebanyak tiga kali hingga sampai ke pangkal rambut.

Keenam: Memulai mencuci kepala bagian kanan, lalu kepala bagian kiri.


Ketujuh: Menyela-nyela rambut.

Dalam hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha disebutkan,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – إِذَا اغْتَسَلَ مِنَ الْجَنَابَةِ غَسَلَ يَدَيْهِ ، وَتَوَضَّأَ وُضُوءَهُ لِلصَّلاَةِ ثُمَّ اغْتَسَلَ ، ثُمَّ يُخَلِّلُ بِيَدِهِ شَعَرَهُ ، حَتَّى إِذَا ظَنَّ أَنْ قَدْ أَرْوَى بَشَرَتَهُ ، أَفَاضَ عَلَيْهِ الْمَاءَ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ ، ثُمَّ غَسَلَ سَائِرَ جَسَدِهِ
“Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mandi junub, beliau mencuci tangannya dan berwudhu sebagaimana wudhu untuk shalat. Kemudian beliau mandi dengan menggosok-gosokkan tangannya ke rambut kepalanya hingga bila telah yakin merata mengenai dasar kulit kepalanya, beliau mengguyurkan air ke atasnya tiga kali. Lalu beliau membasuh badan lainnya.” (HR. Bukhari no. 272)

Juga ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan,
كُنَّا إِذَا أَصَابَتْ إِحْدَانَا جَنَابَةٌ ، أَخَذَتْ بِيَدَيْهَا ثَلاَثًا فَوْقَ رَأْسِهَا ، ثُمَّ تَأْخُذُ بِيَدِهَا عَلَى شِقِّهَا الأَيْمَنِ ، وَبِيَدِهَا الأُخْرَى عَلَى شِقِّهَا الأَيْسَرِ
“Jika salah seorang dari kami mengalami junub, maka ia mengambil air dengan kedua tangannya dan disiramkan ke atas kepala, lalu mengambil air dengan tangannya dan disiramkan ke bagian tubuh sebelah kanan, lalu kembali mengambil air dengan tangannya yang lain dan menyiramkannya ke bagian tubuh sebelah kiri.” (HR. Bukhari no. 277)

Kedelapan: Mengguyur air pada seluruh badan dimulai dari sisi yang kanan setelah itu yang kiri.
Dalilnya adalah hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,
كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – يُعْجِبُهُ التَّيَمُّنُ فِى تَنَعُّلِهِ وَتَرَجُّلِهِ وَطُهُورِهِ وَفِى شَأْنِهِ كُلِّهِ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mendahulukan yang kanan ketika memakai sendal, ketika bersisir, ketika bersuci dan dalam setiap perkara (yang baik-baik).”  (HR. Bukhari no. 168 dan Muslim no. 268)

Mengguyur air ke seluruh tubuh di sini cukup sekali saja sebagaimana zhohir (tekstual) hadits yang membicarakan tentang mandi. Inilah salah satu pendapat dari madzhab Imam Ahmad dan dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.7

1.Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani, 1/361, Darul Ma’rifah, 1379.
2, Penjelasannya silakan lihat di Shahih Fiqh Sunnah, Syaikh Abu Malik, 1/173-174 dan 1/177-178, Al Maktabah At Taufiqiyah.
3. Fathul Bari, 1/360.
4 Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, Yahya bin Syarf An Nawawi, 3/231, Dar Ihya’ At Turots Al ‘Arobi, 1392.
5. Ad Daroril Mudhiyah Syarh Ad Duroril Bahiyyah, Muhammad bin ‘Ali Asy Syaukani, hal. 61, Darul ‘Aqidah, terbitan tahun 1425 H.
6 Shahih Fiqh Sunnah, 1/175-176.
7. Al Ikhtiyaarot Al Fiqhiyah li Syaikhil Islam Ibni Taimiyah, ‘Alauddin Abul Hasan ‘Ali bin Muhammad Al Ba’li Ad Dimasyqi Al Hambali, hal. 14, Mawqi’ Misykatul Islamiyah.

.
Bagaimanakah Tata Cara Mandi pada Wanita?

Tata cara mandi junub pada wanita sama dengan tata cara mandi yang diterangkan di atas sebagaimana telah diterangkan dalam hadits Ummu Salamah, “Saya berkata, wahai Rasulullah, aku seorang wanita yang mengepang rambut kepalaku, apakah aku harus membuka kepangku ketika mandi junub?” Beliau bersabda, “Jangan (kamu buka). Cukuplah kamu mengguyur air pada kepalamu tiga kali, kemudian guyurlah yang lainnya dengan air, maka kamu telah suci.” (HR. Muslim no. 330)

Untuk mandi karena haidh dan nifas, tata caranya sama dengan mandi junub namun ditambahkan dengan beberapa hal berikut ini:

Pertama: Menggunakan sabun dan pembersih lainnya beserta air.

Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,
أَنَّ أَسْمَاءَ سَأَلَتِ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ غُسْلِ الْمَحِيضِ فَقَالَ « تَأْخُذُ إِحْدَاكُنَّ مَاءَهَا وَسِدْرَتَهَا فَتَطَهَّرُ فَتُحْسِنُ الطُّهُورَ ثُمَّ تَصُبُّ عَلَى رَأْسِهَا فَتَدْلُكُهُ دَلْكًا شَدِيدًا حَتَّى تَبْلُغَ شُئُونَ رَأْسِهَا ثُمَّ تَصُبُّ عَلَيْهَا الْمَاءَ. ثُمَّ تَأْخُذُ فِرْصَةً مُمَسَّكَةً فَتَطَهَّرُ بِهَا ». فَقَالَتْ أَسْمَاءُ وَكَيْفَ تَطَهَّرُ بِهَا فَقَالَ « سُبْحَانَ اللَّهِ تَطَهَّرِينَ بِهَا ». فَقَالَتْ عَائِشَةُ كَأَنَّهَا تُخْفِى ذَلِكَ تَتَبَّعِينَ أَثَرَ الدَّمِ. وَسَأَلَتْهُ عَنْ غُسْلِ الْجَنَابَةِ فَقَالَ « تَأْخُذُ مَاءً فَتَطَهَّرُ فَتُحْسِنُ الطُّهُورَ – أَوْ تُبْلِغُ الطُّهُورَ – ثُمَّ تَصُبُّ عَلَى رَأْسِهَا فَتَدْلُكُهُ حَتَّى تَبْلُغَ شُئُونَ رَأْسِهَا ثُمَّ تُفِيضُ عَلَيْهَا الْمَاءَ »
“Asma’ bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang mandi wanita haidh. Maka beliau bersabda, “Salah seorang dari kalian hendaklah mengambil air dan daun bidara, lalu engkau bersuci, lalu membaguskan bersucinya. Kemudian hendaklah engkau menyiramkan air pada kepalanya, lalu menggosok-gosoknya dengan keras hingga mencapai akar rambut kepalanya. Kemudian hendaklah engkau menyiramkan air pada kepalanya tadi. Kemudian engkau mengambil kapas bermisik, lalu bersuci dengannya. Lalu Asma’ berkata, “Bagaimana dia dikatakan suci dengannya?” Beliau bersabda, “Subhanallah, bersucilah kamu dengannya.” Lalu Aisyah berkata -seakan-akan dia menutupi hal tersebut-, “Kamu sapu bekas-bekas darah haidh yang ada (dengan kapas tadi)”. Dan dia bertanya kepada beliau tentang mandi junub, maka beliau bersabda, ‘Hendaklah kamu mengambil air lalu bersuci dengan sebaik-baiknya bersuci, atau bersangat-sangat dalam bersuci kemudian kamu siramkan air pada kepala, lalu memijatnya hingga mencapai dasar kepalanya, kemudian mencurahkan air padanya’.” (HR. Bukhari no. 314 dan Muslim no. 332)

Kedua: Melepas kepangan sehingga air sampai ke pangkal rambut.

Dalil hal ini adalah hadits yang telah lewat,
ثُمَّ تَصُبُّ عَلَى رَأْسِهَا فَتَدْلُكُهُ دَلْكًا شَدِيدًا حَتَّى تَبْلُغَ شُئُونَ رَأْسِهَا
“Kemudian hendaklah kamu menyiramkan air pada kepalanya, lalu menggosok-gosoknya dengan keras hingga mencapai akar rambut kepalanya.” Dalil ini menunjukkan tidak cukup dengan hanya mengalirkan air seperti halnya mandi junub. Sedangkan mengenai mandi junub disebutkan,
ثُمَّ تَصُبُّ عَلَى رَأْسِهَا فَتَدْلُكُهُ حَتَّى تَبْلُغَ شُئُونَ رَأْسِهَا ثُمَّ تُفِيضُ عَلَيْهَا الْمَاءَ
“Kemudian kamu siramkan air pada kepala, lalu memijatnya hingga mencapai dasar kepalanya, kemudian mengguyurkan air padanya.”
Dalam mandi junub tidak disebutkan “menggosok-gosok dengan keras”. Hal ini menunjukkan bedanya mandi junub dan mandi karena haidh/nifas.
Ketiga: Ketika mandi sesuai masa haidh, seorang wanita disunnahkan membawa kapas atau potongan kain untuk mengusap tempat keluarnya darah guna menghilangkan sisa-sisanya. Selain itu, disunnahkan mengusap bekas darah pada kemaluan setelah mandi dengan minyak misk atau parfum lainnya. Hal ini dengan tujuan untuk menghilangkan bau yang tidak enak karena bekas darah haidh.

Perlukah Berwudhu Seusai Mandi?

Cukup kami bawakan dua riwayat tentang hal ini,
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ لاَ يَتَوَضَّأُ بَعْدَ الْغُسْلِ
Dari ‘Aisyah, ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berwudhu setelah selesai mandi.” (HR. Tirmidzi no. 107, An Nasai no. 252, Ibnu Majah no. 579, Ahmad 6/68. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Sebuah riwayat dari Ibnu ‘Umar,
سُئِلَ عَنِ الْوُضُوءِ بَعْدَ الْغُسْلِ؟ فَقَالَ:وَأَيُّ وُضُوءٍ أَعَمُّ مِنَ الْغُسْلِ؟
Beliau ditanya mengenai wudhu setelah mandi. Lalu beliau menjawab, “Lantas wudhu yang mana lagi yang lebih besar dari mandi?” (HR. Ibnu Abi Syaibah secara marfu’ dan mauquf
Lihat Ad Daroril Mudhiyah, hal. 61
. Abu Bakr Ibnul ‘Arobi  berkata, “Para ulama tidak berselisih pendapat bahwa wudhu telah masuk dalam mandi.” Ibnu Baththol juga telah menukil adanya ijma’ (kesepakatan ulama) dalam masalah ini 


Penjelasan ini adalah sebagai alasan yang kuat bahwa jika seseorang sudah berniat untuk mandi wajib, lalu ia mengguyur seluruh badannya dengan air, maka setelah mandi ia tidak perlu berwudhu lagi, apalagi jika sebelum mandi ia sudah berwudhu.

Apakah Boleh Mengeringkan Badan dengan Handuk Setelah Mandi?

Di dalam hadits Maimunah disebutkan mengenai tata cara mandi, lalu diakhir hadits disebutkan,
فَنَاوَلْتُهُ ثَوْبًا فَلَمْ يَأْخُذْهُ ، فَانْطَلَقَ وَهْوَ يَنْفُضُ يَدَيْهِ
“Lalu aku sodorkan kain (sebagai pengering) tetapi beliau tidak mengambilnya, lalu beliau pergi dengan mengeringkan air dari badannya dengan tangannya” (HR. Bukhari no. 276). Berdasarkan hadits ini, sebagian ulama memakruhkan mengeringkan badan setelah mandi. Namun yang tepat, hadits tersebut bukanlah pendukung pendapat tersebut dengan beberapa alasan:
  1. Perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika itu masih mengandung beberapa kemungkinan. Boleh jadi beliau tidak mengambil kain (handuk) tersebut karena alasan lainnya yang bukan maksud untuk memakruhkan mengeringkan badan ketika itu. Boleh jadi kain tersebut mungkin sobek atau beliau buru-buru saja karena ada urusan lainnya.
  2. Hadits  ini malah menunjukkan bahwa kebiasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah mengeringkan badan sehabis mandi. Seandainya bukan kebiasaan beliau, maka tentu saja beliau tidak dibawakan handuk ketika itu.
  3. Mengeringkan air dengan tangan menunjukkan bahwa mengeringkan air dengan kain bukanlah makruh karena keduanya sama-sama mengeringkan.
Kesimpulannya, mengeringkan air dengan kain (handuk) tidaklah mengapa.Shahih Fiqh Sunnah, 1/181.

Wallahu'alam
Wa-Baarakallaahu Fiikum jamii'an
Wasalamu'alaikum warahmatullahi wabarakat




 Bismillahirrahmanirrahim...
Allahumma shallii alaa Muhammad Nabiyyil ummi wa barik 'alaihi wasallim
Allahumma shallii 'alaa Muhammad Wa umma wabarik 'alaihi wasallim
Allahumma shallii 'alaa Muhammad Biadadi man shalla' alaihi wasallim
Allahumma shallii 'alaa Muhammad Biadadi man lam an yushalli 'alaihi wasallim
Allahumma shallii 'alaa Muhammad kama tuhibbu an yushalli 'alaihi wassallim
Allahumma shallii 'alaa Muhammad kama amarta an yushalli 'alaihi wasallim

Allahumma shallii 'alaa Muhammad kama yasbaqhis shalawatu 'alaihi wasallim.
Allahumma shalli 'alaa Muhammadin wa'ala ali Muhammadin kamasollaita'ala Ibrahim.
Wabarik'ala Muhammadin wa'ala ali Muhammadin kamabarakta'ala Ibrahima fil'alamin.
innaka hamidunmajid
amiin Ya Karim

amiin Ya Wahhab..amiin Ya "Alimun

Risalah Alladuniyah-Imam Ghazaly

Risalah Alladuniyah-Imam Ghazaly   1 Assalamu'alaikum Warahmatulahi Wabarakatu. Bismillahirrahmanirrahim Allahummashalli 'al...