Cari Blog Ini

Rabu, 25 Juni 2014

Adab Buang Hajat

Assalamu'alaikum Warahmatulahi Wabarakatu.

Bismillahirrahmanirrahim
Allahummashalli 'alaa Muhammad wa'alaa aalihi wa ashabihi wadlurriyatihi
washallim.

 



“Alhamdulillahi nasta’iinuhu wanastagh firuhu wana’uudzubillaahi min syuruuri anfusinaa waminsayyi ati a’ maalinaa man yahdihillahu falaa mudhilla lahu waman yudhlil falaa haadiya lahu, asyhadu anlaa ilaha illallaahu wah dahulaa syariikalahu wa asyhadu anna muhammadan ‘abduhuu warasuuluhu la nabiya ba’da.”


Dalil Permasalahan

Dari Abu Ayyub Al Anshori, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« إِذَا أَتَيْتُمُ الْغَائِطَ فَلاَ تَسْتَقْبِلُوا الْقِبْلَةَ وَلاَ تَسْتَدْبِرُوهَا ، وَلَكِنْ شَرِّقُوا أَوْ غَرِّبُوا » . قَالَ أَبُو أَيُّوبَ فَقَدِمْنَا الشَّأْمَ فَوَجَدْنَا مَرَاحِيضَ بُنِيَتْ قِبَلَ الْقِبْلَةِ ، فَنَنْحَرِفُ وَنَسْتَغْفِرُ اللَّهَ تَعَالَى
“Jika kalian mendatangi jamban, maka janganlah kalian menghadap kiblat dan membelakanginya. Akan tetapi, hadaplah ke arah timur atau barat.” Abu Ayyub mengatakan, “Dulu kami pernah tinggal di Syam. Kami mendapati jamban kami dibangun menghadap ke arah kiblat. Kami pun mengubah arah tempat tersebut dan kami memohon ampun pada Allah Ta’ala.” (HR. Bukhari no. 394 dan Muslim no. 264).

Yang dimaksud dengan “hadaplah arah barat dan timur” adalah ketika kondisinya di Madinah. Karena arah kiblat di Madinah adalah menghadap ke selatan. Kalau dikatakan tidak boleh menghadap kiblat atau pun membelakanginya, berarti yang dimaksud adalah larangan menghadap selatan dan utara. Jadinya, yang dibolehkan adalah menghadap barat atau timur. Ini bagi kota Madinah, sedangkan untuk daerah lainnya tinggal menyesuaikan maksud hadits.
Hadits kedua, hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma yang mengatakan,
ارْتَقَيْتُ فَوْقَ ظَهْرِ بَيْتِ حَفْصَةَ لِبَعْضِ حَاجَتِى ، فَرَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَقْضِى حَاجَتَهُ مُسْتَدْبِرَ الْقِبْلَةِ مُسْتَقْبِلَ الشَّأْمِ
“Aku pernah menaiki rumah Hafshoh karena ada sebagian keperluanku. Lantas aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam buang hajat dengan membelakangi kiblat dan menghadap Syam.” (HR. Bukhari no. 148, 3102 dan Muslim no. 266). Hadits ini menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membelakangi kiblat ketika buang hajat dan ketika itu berada di dalam bangunan, artinya terhalangi oleh dinding bangunan. Membelakangi kiblat berarti menghadap ke arah utara dan Syam berada di utara Madinah.
Ada dalil lainnya dalam kitab sunan,
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ نَهَى نَبِىُّ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ نَسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةَ بِبَوْلٍ فَرَأَيْتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْبَضَ بِعَامٍ يَسْتَقْبِلُهَ

Dari Jabir bin ‘Abdullah ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang menghadap kiblat ketika kencing, namun aku melihat setahun sebelum beliau wafat, beliau menghadapnya (HR. Abu Daud no. 13, Tirmidzi no. 9 dan Ibnu Majah no. 325. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa haditsnya hasan).

Delapan Pendapat

Dalam masalah menghadap atau membelakangi kiblat ketika buang hajat, para ulama berselih pendapat menjadi:
1- Tidak dibolehkan baik di dalam bangunan atau di luar bangunan. Inilah pendapat Abu Ayyub Al Anshori, Mujahid, An Nakho’i, Ats Tsauri, Abu Tsaur, Ahmad dalam salah satu pendapatnya.
2- Dibolehkan di dalam bangunan maupun di luar bangunan. Inilah pendapat Robi’ah, guru dari Imam Malik.
3- Diharamkan di luar bangunan, bukan di dalam bangunan. Inilah pendapat Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad dalam salah satu pendapatnya.
4- Tidak boleh menghadap di dalam atau di luar bangunan, namun boleh membelakanginya di dalam maupun di dalam maupun di luar bangunan. Ini salah satu pendapat dari Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad.
5- Hukumnya hanyalah makruh dan menjadi pendapat Hadawiyah.
6- Boleh membelakangi dalam bangunan saja dan inilah yang jadi pegangan Abu Yusuf.
7- Dilarang secara mutlak termasuk pula pada Baitul Maqdis, sebagaimana pendapat Ibnu Siirin.
8- Pengharaman hanya khusus penduduk Madinah dan yang searah dengan mereka, demikian pendapat Abu ‘Awanah, murid dari Al Muzani.


Pendapat yang Lebih Kuat

Pendapat yang lebih tepat dalam masalah ini sebagaimana yang dianut oleh madzhab Syafi’i, yaitu tidak boleh menghadap atau membelakangi kiblat ketika berada di luar bangunan, namun tidak terlarang di dalam bangunan yang ada penghalang (pembatas). Yang mendukung hal ini adalah tiga dalil yang telah disebutkan di atas dan hasil kompromi.
Kenapa bisa sampai pendapat ini yang dikuatkan?

Syaikh Dr. Sa’ad bin Nashir Asy Syatsri mengatakan bahwa tidak tepat jika mendahulukan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan larangan dengan perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan bolehnya atau keringanan. Dan tidak perlu sampai menguatkan perkataan dari perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. 

 Karena selama bisa dikompromikan antara perkataan dan perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, itulah yang didahulukan, tanpa menempuh jalan pentarjihan (penguatan pendapat). Sehingga yang dipilih adalah dengan mengkompromikan dalil, yaitu kita katakan bahwa hadits larangan berlaku untuk luar bangunan, sedangkan hadits rukhsoh (keringanan) dimaksudkan untuk dalam bangunan. Inilah jalan kompromi yang terbaik menurut beliau sebagaimana disebutkan dalam Syarh ‘Umdatil Ahkam, 1: 46-47.

Jika dipahami secara tekstual, maka yang dimaksud dengan larangan di sini adalah larangan haram.
Demikian disebutkan oleh Abu Bakr Al Hishni Al Husaini dalam Kifayatul Akhyar hal. 73.
Syaikh Prof. Dr. Musthofa Al Bugho dalam At Tadzhib (hal. 20) berkata, “Larangan menghadap atau membelakangi kiblat dibawa pada makna larangan ketika berada di luar bangunan yang tidak tertutup. Sedangkan perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan bolehnya dipahami bolehnya di dalam bangunan.”

Sebagaimana dinukil pula oleh penulis Kifayatul Akhyar, Imam Nawawi berkata bahwa jika di hadapan orang yang buang hajat terdapat penutup (penghalang) yang tingginya 2/3 hasta sampai 3 hasta, maka boleh saja menghadap kiblat baik ketika berada di dalam bangunan atau di luar bangunan.

Artinya, patokannya adalah adanya penghalang ataukah tidak di arah kiblat. Kalau ada penghalang berarti tidak menghadap langsung ke kiblat, maka tidaklah masalah. Demikian faedah dari Kifayatul Akhyar, hal. 73.

Menghadap Matahari atau Bulan 

Sebagian kalangan melarang menunaikan hajat sambil menghadap matahari dan rembulan. Hal ini dihukumi makruh, sehingga semestinya dihindari.

Sebagaimana hal ini disebutkan pula dalam matan Al Ghoyah wat Taqrib karya Al Qodhi Abu Syuja’, “Tidak boleh menghadap matahari dan rembulan, begitu pula tidak boleh membelakanginya.”

Namun yang tepat adalah menghadap atau membelakangi matahari dan bulan ketika buang hajat tidaklah terlarang.
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Kebanyakan ulama Syafi’iyah menganjurkan tidak menghadap matahari dan rembulan (saat buang hajat), namun sandaran mereka adalah hadits dho’if.

Larangan tersebut menyelisihi larangan menghadap kiblat (saat buang hajat) pada empat keadaan. Salah satunya, larangan menghadap kiblat saat buang hajat shahih dan masyhur. Sedangkan larangan menghadap dan membelakangi matahari atau rembulan adalah hadits dho’if, bahkan hadits batil. ….

Inilah pendapat yang jadi pilihan karena anjuran tersebut butuh dalil, sedangkan tidak ada dalil yang mendukungnya.” Lihat Al Majmu’ karya Imam Nawawi, 2: 111.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Adapun pendalilannya bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang buang hajat dengan menghadap dan membelakangi matahari dan rembulan, lalu berdalil dengan hadits, maka itu sebenarnya keliru. Karena tidak ada nukilan sama sekali dengan satu kalimat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam baik dengan sanad shahih, dho’if, mursal, atau sanad yang muttashil (bersambung).

 Dan tidak ada dalil sama sekali yang menunjukkan larangan dalam masalah ini. Ada sebagian fuqoha beralasan bahwa nama Allah itu tertera di matahari dan rembulan. Ada pula yang mengatakan bahwa cahaya matahari dan rembulan adalah cahaya Allah. Ada juga yang memberikan argumen bahwa tidak menghadap atau membelakangi matahari dan rembulan lebih membuat aurat tertutup.” Demikian secara ringkas yang disampaikan oleh Ibnul Qayyim dalam Miftahu Daaris Sa’adah, 2: 205.

Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin menuturkan bahwa anggapan cahaya matahari dan rembulan adalah cahaya Allah tidaklah benar karena cahaya tersebut bukanlah sifat untuk Allah, namun hanyalah cahaya makhluk. Lihat Syarhul Mumthi’, 1: 123.

Dalam hadits hanyalah disebutkan,
إِذَا أَتَى أَحَدُكُمُ الْغَائِطَ فَلاَ يَسْتَقْبِلِ الْقِبْلَةَ وَلاَ يُوَلِّهَا ظَهْرَهُ ، شَرِّقُوا أَوْ غَرِّبُوا
“Jika kalian hendak buang hajat, maka janganlah menghadap kiblat, jangan pula membelakanginya akan tetapi hadaplah timur dan barat.”  (HR. Bukhari no. 144 dan Muslim no. 264). Keadaan menghadap kiblat dan membelakangi di saat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan hadits ini adalah menghadap utara dan selatan. Berarti selain arah tersebut adalah timur dan barat. Padahal menghadap timur dan barat, itu berarti menghadap atau membelakangi arah matahari. Dan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah mengatakan, “Kecuali jika kalian menghadap matahari atau rembulan, maka jangan lakukan.” Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah mengucapkan semisal itu. Lihat Syarhul Mumthi’, 1: 123.

Kesimpulannya, sebagaiman kata Syaikh Muhammad Al ‘Utsaimin dalam Syarhul Mumthi’ (1: 123), yang tepat adalah tidak dihukumi makruh karena tidak ada dalil shahih yang memakruhkannya bahkan ada dalil shahih yang menyatakan bolehnya.

Wallahu'alam
Wa-Baarakallaahu Fiikum jamii'an
Wasalamu'alaikum warahmatullahi wabarakat



 Bismillahirrahmanirrahim...
Allahumma shallii alaa Muhammad Nabiyyil ummi wa barik 'alaihi wasallim
Allahumma shallii 'alaa Muhammad Wa umma wabarik 'alaihi wasallim
Allahumma shallii 'alaa Muhammad Biadadi man shalla' alaihi wasallim
Allahumma shallii 'alaa Muhammad Biadadi man lam an yushalli 'alaihi wasallim
Allahumma shallii 'alaa Muhammad kama tuhibbu an yushalli 'alaihi wassallim
Allahumma shallii 'alaa Muhammad kama amarta an yushalli 'alaihi wasallim

Allahumma shallii 'alaa Muhammad kama yasbaqhis shalawatu 'alaihi wasallim.
Allahumma shalli 'alaa Muhammadin wa'ala ali Muhammadin kamasollaita'ala Ibrahim.
Wabarik'ala Muhammadin wa'ala ali Muhammadin kamabarakta'ala Ibrahima fil'alamin.
innaka hamidunmajid
amiin Ya Karim

amiin Ya Wahhab..amiin Ya "Alimun

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Risalah Alladuniyah-Imam Ghazaly

Risalah Alladuniyah-Imam Ghazaly   1 Assalamu'alaikum Warahmatulahi Wabarakatu. Bismillahirrahmanirrahim Allahummashalli 'al...