Cari Blog Ini

Sabtu, 21 Juni 2014

HUKUMAN UNTUK JARIMAH ZINA

Assalamu'alaikum Warahmatulahi Wabarakatu.

Bismillahirrahmanirrahim
Allahummashalli 'alaa Muhammad wa'alaa aalihi wa ashabihi wadlurriyatihi
washallim.
 




“Alhamdulillahi nasta’iinuhu wanastagh firuhu wana’uudzubillaahi min syuruuri anfusinaa waminsayyi ati a’ maalinaa man yahdihillahu falaa mudhilla lahu waman yudhlil falaa haadiya lahu, asyhadu anlaa ilaha illallaahu wah dahulaa syariikalahu wa asyhadu anna muhammadan ‘abduhuu warasuuluhu la nabiya ba’da.”


KONSEP HUKUM PIDANA ISLAM : HUKUMAN UNTUK JARIMAH ZINA

PERKEMBANGAN HUKUMAN ZINA
-
Pada permulaan Islam, hukuman untuk tindak pidana zina adalah dipenjarakan di dalam rumah dan disakiti, baik dengan pukulan di badanya maupun dengan dipermalukan. Dasar hukumnya adalah firman ALLAH surat An Nisaa’ ayat 15-16;

“Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji , hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah memberi persaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai ALLAH memberi jalan lain kepadanya. Dan terhadap dua orang yang melakukan perbuatan keji di antara kamu, maka berilah hukuman kepada keduanya, kemudian jika keduanya bertaubat dan memperbaiki diri, maka biarkanlah mereka. Sesungguhnya ALLAH Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” {Terjemahan Al Qur’an Surat An Nisaa’ [4]:15-16}
-
Kemudian terjadi perkembangan dan perubahan dalam hukuman zina, yaitu turunya Surat An-Nuur ayat 2;

“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama ALLAH, jika kamu beriman kepada ALLAH, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.” {Terjemahan Al Qur’an Surat An-Nuur [24]:2}
-
Kemudian lebih diperjelas oleh Nabi Muhammad dengan Sunah Qowliyah dan Fi’liah. Adapun Sunah Qowliyah yang menjelaskan hukuman zina antara lain adalah sebagai berikut;
Nabi Muhammad bersabda;

“ambilah dari diriku, ambilah dari diriku, sesungguhnya ALLAH telah memberikan jalan keluar (hukuman) bagi mereka (pezina). Jejaka dan gadis hukumanya dera seratus kali dan pengasingan selama satu tahun sedangkan duda dan janda hukumanya dera seratus kali dan rajam.”

Dengan turunya Surat An-Nuur ayal 2 dan penjelasan aosulullah ini maka hukuman yang tercantum dalam surat An Nisaa’ ayat 15-16 telah dihapus (mansukh). Dengan demikian hukuman untuk pezina berdasarkan ayat dan hadits diatas dirinci menjadi dua bagian sebagai berikut:

[a] dera seratus kali dan pengasingan selama satu tahun bagi pezina yang belum berkeluarga (ghoyr muhshon).

[b] rajam bagi yang sudah berkeluarga (muhshon) disamping dera seratus kali.

Akan tetapi bagi ulama yang tidak menerima nasikh mansukh, surat An Nisaa’ 15-16 tersebut masih berlaku dan tidak di nasakh oleh Surat An-Nuur ayat 2. Hanya saja penerapanya berbeda. Surat An Nisaa’ berlaku bagi wanita yang melakukan hubungan intim dengan wanita (lesbi), sedangkan surat An Nisaa’ ayat 16 bagi pelaku homosexual (liwath), sedangkan Surat An-Nuur ayat 2 berlaku bagi laki-laki dan wanita yang berzina.

[2] macam macam hukuman zina

Dari ayat dan hadits yang dikemukakan diatas dapat diketahui bahwa hukuman zina itu ada dua macam, tergantung pada keadaan pelakunya apakah sudah berkeluarga (muhshon) atau belum berkeluarga (Ghoyr muhshon).

[a] hukuman untuk zina Ghoyr muhshon

Zina Ghoyr muhshon adalah zina yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan yang belum berkeluarga. Hukuman untuk zina Ghoyr muhshon ini ada dua macam, yaitu:

1) dera seratus kali; dan
2) pengasingan selama satu tahun

Hal ini didasarkan pada hadits Rasulullah s.a.w, beliau bersabda;

“ambilah dari diriku, ambilah dari diriku, sesungguhnya ALLAH telah memberikan jalan keluar (hukuman) bagi mereka (pezina). Jejaka dan gadis hukumanya dera seratus kali dan pengasingan selama satu tahun sedangkan duda dan janda hukumanya dera seratus kali dan rajam.”

1) hukuman dera

Apabila jejaka dan gadis melakukan perbuatan zina, mereka dikenai hukuman dera seratus kali. Hal ini didasarkan pada Qur’an Surat An-Nuur ayat 2 dan hadits Nabi Muhammad ;

“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama ALLAH, jika kamu beriman kepada ALLAH, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.” {Terjemahan Al Qur’an Surat An-Nuur [24]:2}

Adapun hadits Nabi Muhammad adalah sabda Nabi Muhammad ;

“ambilah dari diriku, ambilah dari diriku, sesungguhnya ALLAH telah memberikan jalan keluar (hukuman) bagi mereka (pezina). Jejaka dan gadis hukumanya dera seratus kali dan pengasingan selama satu tahun sedangkan duda dan janda hukumanya dera seratus kali dan rajam.”

Hukuman dera adalah hukuman had yaitu hukuman yang sudah ditentukan oleh syaro’. Oleh karena itu hakim tidak boleh mengurang, menambah, menunda pelaksanaanya atau menggantinya dengan hukuman yang lain. Disamping telah ditentukan oleh syaro’ hukuman hada adalah hak ALLAH sehingga pemerintah maupun individu tidak boleh memberikan pengampunan.

2) hukuman pengasingan

Hukuman yang kedua untuk zina Ghoyr muhshon adalah pengasingan selama satu tahun hukuman ini didasarkan pada hadits yang diriwayatkan Ubadah bin ash Shomit. Apakah hukuman ini harus dilaksanakan bersamaan dengan hukuman dera, para ulama berbeda pendapat. Menurut Imam Abu Hanifah dan kawan-kawanya, hukuman pengasingan tidak wajib dilaksanakan. Namun mereka membolehkan kholifah menggabungkan hukuman dera seratus kali dan pengasingan. Dengan demikian menurut mereka, hukuman pengasingan itu bukan hukuman had melainkan hukuman ta’zir. Pendapat ini juga merupakan pendapat Syi’ah Zaydiyah. Alasanya adalah hukuman pengasingan ini dihapuskan (di-mansukh) oleh Surat An-Nuur ayat 2

Jumhur ulama yang terdiri atas Imam Malik, Syafi’i dan Ahmad, berpendapat bahwa hukuman pengasingan harus dilaksanakan bersamaan dengan hukuman dera seratus kali. Dengan demikian menurut jumhur, hukuman pengasingan ini termasuk hukuman had, dan bukan hukuman ta’zir. Dasarnya adalah hadits Ubadah bin Shomit tersebut yang didalamnya tercantum:
“…dan gadis hukumanya dera seratus kali dan pengasingan selama satu tahun sedangkan duda dan janda hukumanya dera seratus kali dan rajam.”

Di samping hadits tersebut, jumhur ulama beralasan dengan tindakan sahabat antara lain sayidina Umar dan Ali yang melaksanakan hukuman dera dan pengasingan ini, dan sahabat sahabat yang lain tidak ada yang mengingkarinya. Dengan demikian hal ini bisa disebut ijma’.

Akan tetapi dalam hal pengasingan bagi wanita yang berzina, para ulaman berbeda pendapat. Menurut Imam Malik hukuman pengasingan hanya berlaku untuk laki-laki, sedangkan untuk wanita tidak diberlakukan. Sebabnya adalah wanita itu perlu pada penjagaan dan pengawalan. Di samping itu, apabila wanita diasingkan, ia mungkin tidak disertai muhrim dan mungkin pula disertai muhrim. Apabila tidak disertai muhrim maka hal itu tidak diperbolehkan.

Dasar hukumnya adalah ;

“tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada ALLAH dan hari akhir untuk bepergian dalam perjalanan sehari semalam kecuali bersama muhrimnya.”

Sebaliknya, apabila ia (wanita) diasingkan bersama-sama dengan seorang muhrim maka hal ini berarti mengasingkan orang yang tidak melakukan perbuatan zina. Oleh karena itu, Malikiyah men-takhsiskan hadits tentang hukuman pengasingan tersebut dan membatasinya hanya untuk laki-laki saja.

Menurut mazhab Syafi’i, Hanbali, dan Zhohiriyah, hukuman pengasingan berlaku bagi setiap orang yang melakukan zina Ghoyr muhshon, baik laki-laki maupun perempuan. Alasanya adalah dengan berpedoman kepada keumuman hadits yang menjelaskan tentang hukuman pengasinga sebagaiman yang telah disebutkan di atas.

Cara pelaksanaan hukuman pengasingan juga terdapat perbedaan pendapat para fuqoha. Menurut Imam Malik, Abu Hanifah, dan Syi’ah Zaydiyah, pengasingan itu pengertianya adalah penahanan atau di penjarakan. Oleh karena itu, pelaksanaan hukuman pengasingan itu adalah dengan cara menhan atau memenjarakan pezina itu di tempat lain di luar tempat terjadinya zina. Adapun menurut Imam Syafi’i dann Ahmad, pengasingan itu berarti membuang (mengasingkan) pelaku dari daerah terjadinya zina ke daerah lain, dengan pengawasan dan tanpa dipenjarakan. Tujuan pengawasan adalah agar pelaku tidak melarikan diri dan kembali ke daerah asalnya. Namun demikian, kelompok Syafi’iyah membolehkan penahanan orang yang terhukum di tempat pengasinganya apabila ia dikhawatirkan melarikan diri dan kembali ke daerah asalnya.

Apabila orang terhukum melarikan diri dan kembali ke daerah asalnya, ia harus dikembalikan ke tempat asalnya dan masa pengasinganya dihitung sejak pengembaliannya tanpa menghitung masa pengasingan yang sudah dilaksanakan sebelum ia melarikan diri. Akan tetapi kelompok Hanabilah dalam kasus ini tetap menghitung masa pengasingan yang telah dilaksanakan.

Apabila orang terhukum melakukan zina di tempat pengasinganya maka ia di dera seratus kali dan diasingkan lagi ke tempat lain, dengan masa pengasingan yang baru. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Malik, Syafi’i dan Ahmad, tetapi kelompok Zhohiriyah berpendapat bahwa orang terhukum harus menyelesaikan masa sisa pengasinganya yang sebelumnya, kemudian ditambah masa pengasingan yang berikutnya.

[b] hukuman untuk zina muhshon

Zina muhshan adalah zina yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan yang sudah berkeluarga (bersuami/beristri). Hukuman untuk pelaku zina muhshan ini ada dua macam;
1) dera seratus kali, dan
2) rajam

Hukuman dera seratus kali didasarkan kepada al Qur’an Surat An-Nuur ayat 2 dan hadis Nabi yang dikemukakan di atas, sedangkan hukuman rajam juga di dasarkan kepada hadits Nabi baik Qowliyah maupun Fi’liah.

Hukuman rajam adalah hukuman mati dengan jalan dilempari dengan batu atau sejenisnya. Hukuman rajam merupakan hukuman yang telah diakui dan diterima oleh hampir semua fuqoha, kecuali kelompok Azariqoh dari golongan Khowarij, karena mereka ini tidak mau menerima hadits, kecuali yang sampai pada tingkatan mutawatir. Menurut mereka, hukuman untuk pezina muhshon maupun Ghoyru muhshan adalah hukuman dera seratus kali berdasarkan firman ALLAH dalam Surat An-Nuur ayat 2.

Dasar hukum untukhukuman rajam yang berupa Sunah Qowliyah dan Fi’liah adalah sebagai berikut.
Hadits Ubadah bin ash Shomit bahwa Nabi Muhammad bersabda ;

“ambilah dari diriku, ambilah dari diriku, sesungguhnya ALLAH telah memberikan jalan keluar (hukuman) bagi mereka (pezina). Jejaka dan gadis hukumanya dera seratus kali dan pengasingan selama satu tahun sedangkan duda dan janda hukumanya dera seratus kali dan rajam.”

Hadits Jabir

Dari Jabir bin Abdillah bahwa seorang laki-laki telah berzina dengan seorang perempuan, kemudian Nabi memerintahkan membawanya ke hadapan Nabi s.a.w. lalu Nabi menjilidnya sesuai dengan ketentuan. Kemudian Nabi diberitahu bahwa dia sudah berkeluarga (beristri). Dan Nabi memerintahkan untuk membawanya kembali, dan kemudian ia dirajam.

(hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud)

Hadits Jabir bin Samuroh

Dari Jabir bin Samuroh bahwa Rosululloh s.a.w melaksanakan hukuman rajam terhadap Ma’iz bin Malik, dan tidak disebut-sebut tentang hukuma jilid (dera). (hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad)

Berdasarkan hadits-hadits tersebut dan hadits-hadits lain yang tidak dikemukakan di sini, dapat disimpulkan bahwa hukuman rajam telah disepakati oleh para fuqoha, sebagaimana diketakan oleh Imam Asy-Syawkani, sebagai hukuman untuk zina muhshon. Lalu bagaimana status hukuman jilid (dera) untuk zina muhshon apakah harus dilaksanakan bersama-sama dengan hukuman rajam? Dalam hal ini ada perbedaan pendapat.

Menurut Imam Al-Hasan, Ishak, ibnu Mundzir, golonngan Zhohiriyah, Syi’ah Zaydiyah, dan satu riwayat dari Imam Ahmad, hukuman jilid atau dera seratus kali tetap dilaksanakan terhadap zina muhshon disamping hukuman rajam. Alasanya adalah sebagai berikut.

a) al Qur’an menjadikan hukuman jilid sebagai hukuman yang asasi untuk jarimah zina sebagaimana yang disebutkan dalam Surat An-Nuur ayat 2. Lalu datang Sunah yang menjelaskan hukuman rajam bagi tsayyib (yang sudah berkeluarga) dan hukuman pengasingan bagi bikr (yang berkeluarga). Dengan demikian pelaksanaanya wajib digabungkan antara hukum-hukum tersebut, yaitu jilid yang bersumber dari al Qur’an dan rajam yang bersumber dari Sunah Rosululloh s.a.w.

b) sayidina Ali pernah melaksanakan penggabungan antara hukum jilid dan rajam ketika beliau menjilid syurohah pada hari kamis dan merajamnya pada hari jumat dan beliau berkata: “saya menjilidnya berdasarkan kitabullah dan merajamnya berdasarkan Sunah Rosululloh s.a.w

c) Sunah yang menggabungkan antara hukuman jilid dan rajam, antara lain hadits yang berbunyi;
“…dan janda dengan duda hukumanya dera seratus kali dan rajam.” (hadits diriwayatkan oleh jamaah kecuali Bukhari dan Nasa’i)

Menurut Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Abu Hanifah, dan satu riwayat dari Imam Ahmad, hukuman untuk zina muhshon cukup dengan rajam saja dan tidak digabung dengan jilid. Alasanya adalah sebagai berikut

1) hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Jabir bin Samuroh.
Dari Jabir bin Samuroh bahwa Rasulullah s.a.w melaksanakan hukuman rajam terhadap Ma’iz bin Malik, dan tidak disebut-sebut tentang hukuman jilid (dera).

(hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad)

2) Rosululloh melaksanakan hukuman rajam atas diri wanita ghomidiah dan dua orang yahudi, dan tidak ada riwayat yang menyatakan bahwa Rosululloh menjilid salah seorang dari mereka.

Disamping itu adalagi pendapat yang ketiga yang dikemukakan oleh Ubay bin Ka’ab dan Masruq, yaitu seorang tsayyib (yang sudah bersuami/beristri) yang berzina apabila sudah tua maka ia dihukum jilid dan di rajam. Hal ini didasarkan pada atsar sahabat yang diriwayatkan dari Abi Dzar bahwa ia berkata;

“dua orang yang sudah tua (apabila ia berzina) keduanya dijilid dan dirajam, dan duda/janda (yang masih muda) keduanya dirajam, sedangkan jejaka dan gadis keduanya dijilid dan diasingkan

Rupanya dasar dari atsar ini adalah bahwa zina yang dilakukan oleh orang tua adalah sangat tercela, sebagaimana yang disabdakan Nabi Muhammad ;

“tiga kelompok yang ALLAH tidak mau melihat dan membersihkanya, dan bagi mereka disediakan siksa yang pedih, yaitu orang tua yang berzina, raja yang banyak berdusta, dan pegawai yang sombong.”
(terjemahan hadits riwayat Muslim dan Nasa’i)

[c] ihshon dalam rajam

Dalam uraian yang lalu telah dijelaskan bahwa syari’at Islam membedakan hukuman untuk zina muhshon dan zina Ghoyr muhshon. Perbedaan ini menunjukan hukuman untuk zina muhshon lebih berat dari zina Ghoyr muhshon. Yang menyebabkan hukuman zina muhshon labih berat adalah sifat ihshon-nya ini. Dengan demikian, ihshsan dijadikan syarat untuk diterapkanya hukuman rajam, dan apabila tidak ada maka tidak dikenai hukuman rajam.

Ihshon sebagai syarat dalam hukum rajam merupakan kumpulan dan gabungan dari beberapa syarat yang apabila syarat-syarat itu ada maka ihshon dianggap ada. Di bawah ini dijelaskan beberapa hal yang berkaitan dengan ihshon.
-
1) Pengertian Ihshon

Ihshon menurut arti bahasa adalah ‘masuk ke dalam benteng’. Dalam al Qur’an, ihshon ini diartikan dengan beberapa arti sebagai berikut;

a) tazwij atau nikah, seperti dalam firman ALLAH surat An Nisaa’ ayat 24:

“dan (diharamkan bagi kamu) wanita-wanita ‘muhshon’ (yang telah bersuami) kecuali budak-budak yang kamu miliki…” {Terjemahan Al Qur’an Surat An Nisaa’ ayat 24}

b) hurriyah atau merdeka, seperti dalam firman ALLAH surat An Nisaa’ ayat 25:

“Dan barangsiapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita ‘muhshon’ (merdeka) lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki.” {Terjemahan Al Qur’an Surat An Nisaa’ ayat 25}

c) iffah atau bersih, suci, seperti dalam surat at tahrim ayat 12:

“dan (ingatlah) Maryam putri Imran yang ‘ahshon’ kehormatannya {Terjemahan Al Qur’an Surat at tahrim ayat 12}

d) zawaj (nikah), seperti dalam firman ALLAH surat An Nisaa’ ayat 25:

“dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka melakukan perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita muhshon (yang bersuami).” {Terjemahan Al Qur’an Surat An Nisaa’ ayat 25}

e) hurriyah (merdeka), baligh dan iffah (suci, bersih, terpelihara) seperti dalam Surat An-Nuur ayat 4;

“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita muhshon dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera”{Terjemahan Al Qur’an Surat An-Nuur ayat 4}

Dalam arti istilah, ihshon terbagi kepada dua bagian sebagai berikut;

1) ihshon dalam rajam
2) inshan dalam qodzaf

Pengertian ihshon dalam rajam adalah sebagai berikut;

“ihshon dalam rajam adalah ungkapan tentang berkumpulnya beberapa sifat yang oleh syaro’ dipandang sebagai sebab diterapkanya hukuman rajam. Atau sekumpulan syarat-syarat yang apabila terdapat pada pezina maka hukumanya adalah hukuman rajam.”

2) syarat – syarat ihshon

Untuk terwujudnya sifat ihshon dalam diri orang yang melakukan zina, harus dipenuhi beberapa syarat;

a) persetubuhan dalam naungan perkawinan yang sah

persetubuhan yang dilakukan dalam naungan perkawinan yang sah merupakan syarat adanya ihshon. Persetubuhan ini harus persetubuhan pada qubul (kemaluan). Akad nikah semata tanpa persetubuhan tidak menimbulkan status ihshon. Demikian pula persetubuhan yang dilakukan diluar pernikahan seperti pernah berzina, tidak menyebabkan timbulnya ihshon. Demikian pula perkawinan harus perkawinan yang sah.

Disamping itu, persetubuhan yang dilakuakan dalam perkawinan yang sah tersebut bukan persetubuhan yang diharamkan contohnya persetubuhan pada saat haid atau pada saat sedang puasa ramadhan.

b) balig dan berakal

baligh dan berakal merupakan syarat adanya kecakapan (ahliyah) bagi seseorang untuk dapat dikenakanya hukuman apabila ia melakukan jarimah. Hanya saja keduanya (baligh dan berakal) juga disyaratkan untuk timbulnya ihshon, karena adanya kedua syarat tersebut pada saat melakukan jarimah tidak cukup untuk timbulnya ihshon. Dengan demikian persetubuhan yang menimbulkan ihshon adalah persetubuhan yang dilakukan oleh orang baligh dan berakal. Apabila terjadi persetubuhan dari anak yang masih dibawah umur atau orang yang gila, kemudian ia baligh dan berakal ( sembuh dari gilanya) beberapa waktu kemudian maka ia tidak dianggap muhshon, karena persetubuhan yang lalu itu. Apabila ia berzina maka termasuk Ghoyr muhshon

akan tetapi ada sebagian dari pengikut mazhab Syafi’i yang berpendapat bahwa persetubuhan yang terjadi sebelum baligh dan pada waktu gila dapat menyebabkan ihshon. Akan tetapi, pendapat ini merupakan pendapat yang marjuh (lemah) dalam mazhab tersebut.

c) adanya kesempurnaan syarat untuk kedua belah pihak pada waktu persetubuhan

untuk terwujudnya ihshon, disyaratkan pada waktu terjadinya persetubuhan kedua belah pihak harus sudah dewasa dan berakal sehat. Apabila pezina sudah kawin dan ia sudah bersetubuh dengan istrinya tetapi istrinya sedang gila atau masih dibawah umur maka pezina tersebut tergolong Ghoyr muhshon. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad.

Akan tetapi, Imam Malik tidak mensyaratkan baligh dan berakal untuk kedua belah pihak, melainkan terdapat pada salah satu pihak saja. Dengan demikian menurut Imam Malik, seorang laki-laki termasuk muhshon apabila pada dirinya sudah terpenuhi syarat-syarat ihshon, dan wanita mampu melakukan persetubuhan walaupun ia masih dibawah umur atau gila. Demikian pula wanita bisa menjadi muhshon dengan terpenuhinya syarat-syarat ihshon dan dewasanya suami yang menyetubuhi walaupun ia gila.

Di kalangan mazhab Syafi’i dalam masalah ini ada dua pendapat. Pendapat pertama sama dengan pendapat Imam Abu Hanifah, yaitu kedua orang yang melakukan persetubuhan harus sama-sama balig dan berakal. Sedangkan pendapat yang kedua sama dengan pendapat imim Malik, yaitu tidak perlu keduanya balig dan berakal.

Dalam mazhab Syi’ah Zaydiyah, berkaitan dengan syarat ini ada tiga pendapat. Pendapat pertama dan kedua sama dengan pendapat Imam Abu Hanifah dan Imam Malik. Sedangkan menurut pendapat yang ketiga, gila tidak meng-ihshon-kan yang sudah balig

d) Islam

Imam Abu Hanifah dan Imam Malik menjadikan Islam sebagai salah satu syarat ihshon. Alasan beliau adalah hadits Rosululloh s.a.w. ketika beliau diminta pendapatnya oleh hudzaifah tentang perkawinan dengan wanita kitabiyah, Nabi Muhammad mengatakan ;

“tinggalkanlah ia, karena ia (wanita kitabiyah) tidak menyebabkan engkau jadi ihshon.”

Imam Syafi’i dan Imam Ahmad tidak menjadikan Islam sebagai salah satu syarat ihshon. Alasan beliau adalah bahwa Nabi Muhammad telah melakukan atas dua orang pezina yahudi. Pendapat ini didukung oleh abu yusuf murid Imam Abu Hanifah, kelompok Zhohiriyah, dan salah satu pendapat dari Syi’ah Zaydiyah. Dengan demikian apabila seorang laki-laki Muslim yang menikah dengan wanita kitabiyah melakukan zina, maka mehurut Imam Abu Hanifah ia tidak dirajam karena tidak dianggap muhshon. Sedangkan menurut Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad, Zhohiriyah, dan sebagian Syi’ah Zaydiyah ia dikenai hukuman rajam, karena perkawinan dan persetubuhan dengan wanita kitabiyah membuatnya menjadi muhshon.

3) zina yang dilakukan oleh muhshon dan Ghoyr muhshon

Dalam uraian yang lalu telah dijelaskan syarat-syarat ihsha, baik yang disepekati maupun yang diperselisihkan. Meskipun sebagian fuqoha mewajibkan terpenuhinya syarat-syarat ihshon pada kedua belah pihak, namun para fuqoha sepakat tidak mensyaratkan ihshon pada kedua pelaku zina untuk dikenakanya hukuman rajam kepada salah satunya. Dengan demikian apabila terjadi perbuatan zina antara pria muhshon dan perempuan Ghoyr muhshon, maka bagi laki-laki muhshon dikenakan hukuman rajam, sedangkan perempuan berlaku hukuman jilid. Demikian juga jika terjadi sebaliknya.

Wallahu'alam
Barakallahu Fikum 
Wasalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatu

 


 Bismillahirrahmanirrahim...
Allahumma shallii alaa Muhammad Nabiyyil ummi wa barik 'alaihi wasallim
Allahumma shallii 'alaa Muhammad Wa umma wabarik 'alaihi wasallim
Allahumma shallii 'alaa Muhammad Biadadi man shalla' alaihi wasallim
Allahumma shallii 'alaa Muhammad Biadadi man lam an yushalli 'alaihi wasallim
Allahumma shallii 'alaa Muhammad kama tuhibbu an yushalli 'alaihi wassallim
Allahumma shallii 'alaa Muhammad kama amarta an yushalli 'alaihi wasallim

Allahumma shallii 'alaa Muhammad kama yasbaqhis shalawatu 'alaihi wasallim.
Allahumma shalli 'alaa Muhammadin wa'ala ali Muhammadin kamasollaita'ala Ibrahim.
Wabarik'ala Muhammadin wa'ala ali Muhammadin kamabarakta'ala Ibrahima fil'alamin.
innaka hamidunmajid
amiin Ya Karim
amiin Ya Wahhab..amiin Ya "Alimun

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Risalah Alladuniyah-Imam Ghazaly

Risalah Alladuniyah-Imam Ghazaly   1 Assalamu'alaikum Warahmatulahi Wabarakatu. Bismillahirrahmanirrahim Allahummashalli 'al...