Cari Blog Ini

Jumat, 20 Juni 2014

Ihya' Ulum al-Din (Bab 1 Fadhila 'Ilmu)


Assalamu'alaikum Warahmatulahi Wabarakatu.

Bismillahirrahmanirrahim
Allahummashalli 'alaa Muhammad wa'alaa aalihi wa ashabihi wadlurriyatihi
washallim.
 



“Alhamdulillahi nasta’iinuhu wanastagh firuhu wana’uudzubillaahi min syuruuri anfusinaa waminsayyi ati a’ maalinaa man yahdihillahu falaa mudhilla lahu waman yudhlil falaa haadiya lahu, asyhadu anlaa ilaha illallaahu wah dahulaa syariikalahu wa asyhadu anna muhammadan ‘abduhuu warasuuluhu la nabiya ba’da.”


FADHILA ILMU 'IHYA ULUMIDDIN

Ihya' Ulum al-Din

أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُه



السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

بسم الله الرحمٰن الرحيم

Dari hal 40

TENTANG DALIL-DALIL AKAL

Ketahuilah, bahwa yang dicari dari bab ini, ialah mengenal al-fadhila keutamaan dan keindahan  ilmu. Selama belum dipahami kelebihan itu sendiri dan tidak diselidiki maksud daripadanya, maka tak mungkinlah diketahui adanya kelebihan itu menjadi sifat bagi ilmu atau bagi yang lain dari segala persoalan.

Maka sesungguhnya, telah sesat jalan orang yang ingin mengetahui bahwa si Zaid itu seorang filosuf atau bukan, sedang dia belum lagi mengetahui arti dan hakikat ilmu filsafat itu.

Al-fadliilah, berasal dari perkataan al-fadlli, yaitu lebih (az-ziadah). Apabila bersekutulah dua benda dalam sesuatu hal dan salah satu daripada keduanya, tertentu dengan suatu kelebihan, maka dikatakanlah : itu kelebihannya. Dan ia mempunyai kelebihan dari yang daripadanya, manakala kelebihannya itu mengenai yang menjadi kesempurnaan sesuatu itu sendiri. Umpamanya dikatakan : kuda itu lebih utama dari keledai, dengan arti : bahwa kuda bersekutu dengan keledai tentang sama-sama mempunyai kekuatan mengangkut. Tetapi ku da melebihi dari keledai, dengan kekuatan tampil ke depan, berlari dan ketangkasan melompat serta kebagusan bentuk.

Kalau diumpamakan : keledai itu mempunyai suatu kelebihan daging tumbuh, maka itu tidaklah dikatakan suatu kelebihan. Karena itu adalah suatu tambahan pada tubuh dan suatu kekurangan dalam arti yang sebenarnya. Jadi, tidaklah termasuk kesempurnaan sedikitpun. Dan hewan itu dicari untuk maksud dan sifatnya, tidak untuk tubuhnya.

Apabila ini telah anda pahami, maka tidaklah tersembunyi lagi bagi anda, bahwa ilmu itu suatu kelebihan, bila dibandingkan dengan sifat-sifat yang lain, sebagaimana kuda itu mempunyai suatu kelebihan, bila dibandingkan dengan hewan-hewan yang lain. Bahkan kecepatan melompat, adalah suatu kelebihan pada kuda dan tidaklah itu suatu kelebihan mutlak.

Ilmu itu adalah suatu kelebihan pada dirinya dan secara mutlak tanpa diperhubungkan kepada yang lain. Karena ilmu itu adalah sifat kesempurnaan bagi Allah swt. Dengan ilmulah, mulia para malaikat dan Nabi-Nabi. Bahkan kuda yang cerdik adalah lebih baik dari kuda yang bodoh.



Dari itu, ilmu itu suatu kelebihan mutlak, tanpa diperhubungkan dengan yang lain.Ketahuilah, bahwa sesuatu yang bernilai lagi digemari itu, terbagi kepada :
1.
Sesuatu dicari untuk lainnya.
2.
Sesuatu dicari karena dzatnya.
3.
Sesuatu di cari untuk yg lain dan karena dzatnya.

Maka yang dicari karena benda itu sendiri, adalah lebih mulia dan lebih utama daripada yang dicari untuk lainnya. Yang dicari untuk lainnya, ialah dirham dan dinar. Keduanya adalah ba- tu, tak ada gunanya. Kalau tidaklah Allah Ta'ala menjadikan keduanya untuk memudahkan memperoleh keperluan hidup,maka dirham dan dinar itu sama saja dengan batu yang terletak di tepi jalan.

Yang dicari untuk benda itu sendiri yaitu kebahagiaan di akhirat dan kesenangan memandang Wajah Allah swt. Dan yang dicari untuk benda itu sendiri dan untuk lainnya, seperti : keselamatan tubuh. Keselamatan seseorang itu umpamanya dicari, dari segi, bahwa keselamatan itu, adalah keselamatan bagi tubuh, dari kepedihan. Dan dengan keselamatan itu, dicari untuk berjalan dan mencapai maksud-maksud dan hajat keperluan.

Dengan pandangan tersebut, apabila anda perhatikan kepada ilmu, niscaya anda memperoleh pada ilmu itu sendiri suatu kesenangan. Jadi, ilmu itu termasuk dicari untuk ilmu itu sendiri. Dan anda peroleh bahwa ilmu itu jalan ke negeri akhirat, kebahagiaan akhirat dan jalan mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala. Dan tidak akan sampai kepadaNya, selain dengan ilmu.

Kedudukan yang tertinggi bagi seorang manusia, ialah kebahagiaan abadi. Dan suatu yang paling utama, ialah jalan kepadanya. Dan tidak akan sampai kepadanya selain dengan ilmu dan amal. Dan tidak akan sampai kepada amal, selain dengan mengetahui cara beramal.
Maka asal kebahagiaan di dunia dan di akhirat, adalah ilmu. Jadi, ilmulah yang terutama dari segala amal perbuatan. Betapa tidak! Kadang-kadang mengetahui keutamaan sesuatu juga dengan kemuliaan hasilnya. Dan anda mengetahui bahwa hasil ilmu itu, ialah mendekatkan diri kepada Tuhan semesta alam, menghubung- kan diri dengan ketinggian malaikat dan berhampiran dengan malaikat tinggi. Itu semuanya adalah di akhirat.



Adapun di dunia, maka adalah kemuliaan, kebesaran, pengaruh, pemerintahan bagi raja-raja dan penghormatan secara naluri. Sehingga orang Turki yang bodoh dan orang Arab yang kasar, secara naluri, mereka menghormati kepala-kepalanya. Karena kekhususan mereka dengan ketambahan ilmu, yang diperoleh dari pengalaman. Bahkan dengan tabiatnya,hewan menghormati manusia,karena perasaannya perbedaan manusia dg. kesempurnaan yang melebihi derajat hewan itu

Inilah keutamaan ilmu secara mutlak! Kemudian, ilmu itu berbeda-beda seperti akan diterangkan dan sudah pada tempatnya pula berlebih kurang keutamaannya, disebabkan kelebih-kurangnya itu, Dan keutamaan mengajar dan belajar, sudah jelas dari apa yang kami sebutkan dahulu.

Apabila ilmu itu, lebih utama dalam segala hal, maka mempelajarinya adalah mencari yang lebih utama itu. Maka mengajarkannya, adalah memberi faedah bagi keutamaan. Jelasnya, segala maksud manusia itu terkumpul dalam agama dan dunia. Dan agama tidak teratur, selain dengan teraturnya dunia. Dunia adalah tempat bercocok tanam bagi akhirat. Dunia adalah alat yang menyampai- kan kepada Allah Ta'ala, bagi orang yang mau mengambilnya menjadi alat dan tempat tinggal. Tidak bagi orang yang mengambilnya menjadi tempat tetap dan tanah air abadi.
Urusan duniawi tidak akan teratur, selain dengan amal perbuatan manusia. Amal perbuatan, pekerjaan dan perusahaan manusia itu, terbatas pada tiga bahagian :

1.Pertama pokok : Alam ini tidak dapat tegak bila pokok ini tidak ada, yaitu empat : pertanian untuk pangan,pertenunan untuk sandang, perumahan untuk tempat tinggal dan siasah (politik), yaitu untuk kerukunan, persatuan dan gotong-royong mencapai sebab-sebab yang membawa kepada kehidupan yang lebih baik dan mengendalikannya.

2.Kedua : ialah, yang mempersiapkan bagi tiap-tiap usaha tersebut dan yang melayaninya. Seperti pertukangan besi, adalah melayani pertanian dan sejumlah usaha dengan persiapan alat-alat- nya. Seperti membersihkan kapas dari bijinya dan membuat benang. Semuanya itu demi untuk bertenun kain dengan persiapan amal usahanya.


Ketiga : ialah, penyempurna bagi pokok dan penghias, seperti menumbuk tepung dan membuat roti bagi pertanian, menggunting kain dan menjahit bagi pertenunan.
Yang tersebut tadi, bila dihubungkan kepada tegak berdirinya alam kebumian, adalah seumpama bahagian-bahagian dari seseorang, bila dihubungkan kepada keseluruhannya. Yaitu ada tiga macam pula. Adakalanya pokok, seperti hati, jantung dan otak. Adakalanya pelayan bagi pokok itu seperti perut, urat, urat syaraf dan pembuluh darah. Dan adakalanya penyempurna dan penghias bagi pokok, seperti kuku, anak jari, dan bulu kening.
Yang termulia dari segala pekerjaan itu ialah pokoknya. Yang termulia dari pokoknya ialah siasah, dengan kerukunan dan perbaikannya. Dari itu, usaha tersebut meminta kesempurnaan dari orang yang bertanggung-jawab, melebihi dari usaha-usaha yang lain.
Dari itu tidak mustakhil, yang punya pekerjaan tersebut, menggunakan pengusaha-pengusaha yang lain. Dan siasah pada perbaikan orang banyak dan menunjukkannya ke jalan lurus, yang membawa kelepasan di dunia dan di akhirat, adalah atas empat tingkat :

1.Tingkat tertinggi, yaitu siasah dan hukum Nabi-Nabi as. terhadap golongan tertentu dan orang banyak, baik dhahir atau bathin.

2.Tingkat khalifah, raja-raja dan sultan-sultan. Dan hukum yang dijalankan mereka adalah terhadap golongan tertentu dan umum seluruhnya. Tetapi mengenai yang dhahir saja, tidak yang bathin.

3.Tingkat 'alim ulama, yang mengenal Allah dan agamaNya, yang menjadi pewaris dari Nabi-Nabi. Hukum mereka adalah terhadap bathin golongan tertentu saja. Golongan orang awwam, tak dapat memahami untuk memperoleh faedah dari mereka.

Kekuatan para ulama itu, tidak sampai kepada pengurusan amal perbuatan dhahiriyah golongan tadi, baik dengan menyuruh, melarang dan memerintahkan.

4.Tingkat para juru nasihat. Hukum mereka adalah mengenai bathin orang awwam saja.
Yang termulia dari usaha empat tingkat tadi, sesudah tingkat kenabian, ialah memfaedahkan ilmu dan mendidik jiwa manusia supaya terhindar dari pekerti tercela yang membinasakan dan menunjuk jalan, kepada budi pekerti terpuji yang mendatangkan kebahagiaan.


Itulah yang dimaksudkan dengan pengajaran. Kami sesungguhnya mengatakan, bahwa mengajar ini adalah yang lebih utama, dibandingkan dengan pekerjaan dan usaha lain. Karena keutamaan usaha itu, dapat di kenal dengan tiga perkara : adakalanya dengan menoleh kepada naluri, yang menyampaikan kepada mengenalinya, seperti keutamaan Ilmu Pasti dari Ilmu bahasa, karena Ilmu Pasti itu diketahui dengan akal, sedang Ilmu Bahasa dengan mendengar. Akal adalah lebih mulia dari pendengaran. Adakalanya dengan melihat kepada kepentingannya yang lebih lengkap, seumpama kelebihan pertanian dari pertukangan emas. Dan adakalanya dengan memperhatikan tempat pekerjaan itu, seumpama kelebihan pertukangan emas dari pada penyamakan kulit. Sebab yang pertama tempatnya emas dan yang kedua tempatnya kulit bangkai.

Dan tidaklah tersembunyi bahwa ilmu agama ialah memahami jalan akhirat, yang dapat diketahui dengan kesempurnaan akal dan kebersihan kecerdikan. Akal adalah yang termulia dari sifat-sifat insan sebagaimana akan diterangkan nanti. Karena dengan akal, manusia menerima amanah Allah.

Dan dengan akal akan sampai kesisi Allah swt. Adapun tentang umum kegunaannya, maka tak diragukan lagi, karena kegunaan dan kehasilannya ialah kebahagiaan akhirat. Adapun kemuliaan tempat, maka bagaimana tersembunyi? Guru itu berpengurusan dalam hati dan jiwa manusia. Yang termulia di atas bumi, ialah jenis manusia. Yang termulia dari bagian tubuh manusia ialah hatinya. Guru itu bekerja menyempurnakan, membersihkan, mensucikan dan membawakan hati itu mendekati Allah 'Azza wa Jalla. Mengajarkan ilmu itu dari satu segi adalah ibadah kepada Allah Ta'ala dan dari segi yang lain adalah menjadi khalifah Allah Ta'ala. Dan itu adalah yang termulia menjadi khalifah Allah. Bahwa Allah telah membuka pada hati orang berilmu, akan pengetahuan yang menjadi sifatNya yang teristimewa, maka dia adalah seperti penjaga gudang terhadap barang gudangan- nya yang termulia. Kemudian diizinkan berbelanja dengan barang itu untuk siapa saja yang memerlukannya.

Maka manakah pangkat yang lebih mulia dari menjadi perantara, antara Tuhan dan makhlukNya untuk mendekatkan kepadaNya dan membawa mereka ke sorga tempat kediaman? Kiranya Allah dengan kemurahanNya menjadikan kita diantara ahli sorga! Dan rakhmat Allah kepada semua hambaNya yang pilihan
Halaman. 45.

BAB KEDUA
Mengenai ilmu terpuji dan tercela, bahagian-bahagiannya dan hukum hukumnya. Padanya penjelasan, apakah yang fardlu 'ain dan apakah yang fardlu kifayah. Penjelasan, bahwa kedudukan ilmu kalam dan ilmu fiqih dalam ilmu agama,sampai mana batasnya dan keutamaan ilmu akhirat. Penjelasan ilmu yang menjadi fardiu 'ain.


قال رسول ال صلى ال عليه وسلم: (طلب العلم فريضة على كل مسلم) وقال أيضا صلى ال عليه وسلم اطلبواالعلم ولو بالصي
Bersabda Nabi saw. : "Menuntut ilmu wajib atas tiap-tiap muslim" . Dan bersabda pula
Nabi saw. : "Tuntutlah ilmu walau ke negeri Cina sekalipun ".

Berbeda pendapat manusia mengenai ilmu yang menjadi fardiu "ain atas tiap-tiap muslim, sampai berpecah-belah lebih dari dua puluh golongan. Kami di sini tidak akan menguraikannya secara terperinci. Akan tetapi hasilnya, ialah masing-masing golongan itu menempatkan wajib, pada ilmu yang dipilihnya.

Berkata ulama ilmu kalam, ialah ilmu kalam yang wajib karena dengan ilmu kalam diketahui keesaan Tuhan, zat dan sifatNya.

Berkata ulama fiqih ialah ilmu fiqih yang fardiu 'ain, karena dengan ilmu fiqih diketahui ibadah, halal dan haram, apa yang diharamkan dan yang dihalalkan dari hukum mu'amalah. Ulama fiqih berusaha dengan sungguh-sungguh membentangkan apa yang diperlukan masing-masing orang, tidak pada soal-soal yang jarang terjadi Ulamatafsir dan

Ulama hadits, berkata : yaitu ilmu Kitab dan Sunnah yang fardiu 'ain. Karena dengan perantaraan keduanya, akan sampai kepada ilmu-ilmu yang lain seluruhnya.

Berkata ulama tasawwuf, bahwa yang dimaksudkan, ialah ilmu tasawwuf. Setengah mereka mengatakan bahwa ilmu tasawwuf itu ialah pengetahuan hamba Allah dengan dirinya dan kedudukannya dari Allah 'Azza wa Jalla. Sebahagian mereka mengatakan, bahwa ilmu tasawwuf itu ialah, ilmu tentang keikhlasan dan penyakit-penyakit yang membahayakan bagi diri



dan untuk menlbedakan antara langkah malaikat dari langkah setan. Diantara mereka mengatakan, bahwa ilmu tasawwuf itu ilmu bathin. Dari itu diwajibkan mempelajarinya bagi golongan tertentu, di mana mereka ahli untuk itu. Dan dapat memalingkan kata-kata dari umumnya.

وقال أبو طالب المكي: هو العلم بما يتضمنه الحديث الذي فيه مباني الإسلام وهو قوله صلى الله عليه وسلم:بني الإسلام على خمس شهادة أن لا إله إلا الله إلى آخر الحديث

 
Berkata Abu Tholib Al-Makki bahwa ilmu yang diwajibkan ialah pengetahuan yang terkandung dalam hadits yang menerangkan sendi-sendi Islam, yaitu sabda Nabi saw. : "Didirikan Islam atas lima dasar mengakui bahwasanya tiada Tuhan selain Allah. .......... Muhammad itu tututanNya, mandirikan salat, mangerjakn puasa Ramadlan, memberik Zakat dan menunalkan haji apabila mampu.

Karena yang wajib adalah yang lima itulah, maka wajiblah mengetahui cara mengerjakannya dan betapa kewajibannya. Dan yang seyogianya diyakini oleh yang memperolehnya dan tidak di- ragukan lagi, ialah apa yang akan kami terangkan. Yaitu bahwa illmu seperti telah kami singgung pada kata pembukaan kitab ini terbagi kepada : ilmu mu 'amalah dan ilmu mukasyafah. Dan ilmu yang dimaksudkan di sini, tidak lain dari ilmu mu'amalah,
Ilmu Mu'amalah yang ditugaskan kepada hamba Allah, yang berakal dan dewasa, untuk mengamalkannya, ialah tiga : aqidah, berbuat dan tidak berbuat. Orang yang berakal sehat, apabila telah sampai umur (baligh), baik dengan bermimpi (ihtilam) atau dengan kiraan tahun, pada pagi hari umpamanya, maka yang pertama kali wajib atas dirinya, ialah mempelajari dua kalimah syahadah serta memahami artinya.

Yaitu : (لا إله إلا الله محمد رسول الله )
"Laa ilaaha illallaah, MuhammadurRasuulullaah Dan tidak diwajibkan kepadanya, untuk berhasil menyingkapkan bagi dirinya, dengan pemikiran, pembahasan dan penguraian dalil-dalil. Tetapi cukuplah sekedar ia membenarkan dan meyakini benar-benar, dengan tak bercampur keraguan dan kebimbangan hati.

Hal itu mungkin berhasil dengan semata-mata bertaklid dan mendengar, tanpa pembahasan dan dalil. من أجلاف العرب بالتصديق

والإقرار من غير تعلم دليل
" Karena Rasulullah saw. sendiri mencukupkan dari orang-orang Arab itu dengan membenarkan dan mengakui tanpa mempelajari dalil". (Dlrawlkan Muslim dari kissah Dlammam bin Tii'libah )

Apabila telah terlaksana demikian, maka telah tertunailah kewajiban waktu itu. Dan adalah ilmu yang menjadi fardiu 'ain baginya di waktu itu, ialah mempelajari dua kalimah syahadah dan memahami artinya- Dan tidak ada kewajibannya di balik itu, pada waktu tersebut, berdalilkan, jika aekiranya mati dia sesudah itu, maka adalah kematiannya dalam ta'at kepada Allah Azza wa Jalla, Tidak dalam ma'siat.

Kewajiban selain itu, akan datang dengan sebab-sebab yang mendatang. Dan tidaklah yang demikian, perlu (dlaruri), pada tiap-tiap orang, bahkan mungkin terlepas daripadanya.
Sebab-sebab mendatang itu, adakalanya dalam berbuat, atau tidak berbuat atau pada aqidah. Dalam berbuat umpamanya, dia hidup terus dari pagi hari itu sampai waktu Dhuhur. Maka dengan masuknya waktu Dhuhur, datanglah kewajiban baru baginya, yaitu mempelajari cara bersuci dan bershalat.

Kalau dia sehat dan terus bertahan sampai waktu tergelincir matahari, yang tidak mungkin ia menyempurnakan pelajaran dan mengerjakan Dhuhur dalam waktunya, tetapi waktu akan ha- bis jika dia terus belajar, maka tepatlah kalau dikatakan bahwa pada dhahirnya dia terus hidup. Dari itu, wajiblah ia mendahulukan belajar atas masuknya waktu. Dan boleh pula dikatakan bahwa wajib adanya ilmu itu menjadi syarat untuk amal, sesudah wajib amal itu. Maka belajar itu belum lagi wajib sebelum gelincir matahari.

Demikian pula pada sembahyang-sembahyang selain dari Dhuhur tadi. Bila dia terus hidup sampai bulan Ramadlan, maka bertambah pula kewajibannya mempelajari puasa. Yaitu mengetahui bahwa waktunya dari waktu Shubuh sampai terbenam matahari. Bahwa diwajibkan pada puasa, ialah : niat, menahan diri dari makan, minum dan bersetubuh. Keadaan demikian berjalan terus sampai tampak bulan, oleh dia sendiri atau oleh dua orang saksi.

Kalau hartanya bertambah atau memang dia orang berharta ketika dewasa, maka wajib pula mempelajari kewajiban zakat. Tetapi tidaklah diwajibkan itu ketika itu juga. Hanya baru wajib waktu telah sampai setahun (haul) dari masa Islamnya. Jika dia hanya mempunyai unta maka yang harus dipelajarinya ialah zakat unta Begitu pula dengan jenis-jenis yang lain.
Apabila datang bulan hajji, tidaklah wajib ia bersegera mempelajari pengetahuan hajji, karena mengerjakannya adalah dalam waktu yang lama. Dari itu tidak diwajibkan mempelajarinya cepat-cepat.

Tetapi seyogialah bagi ulama Islam memperingatkannya bahwa haji itu suatu kewajiban yang lama, atas tiap-tiap orang yang mempunyai perbekalan dan kendaraan. Apabila ia memiliki barang-barang tersebut, maka mungkin timbul hasrat dalam hatinya hendak menyegerakan menunaikan ibadah hajji itu. Maka ketika itu, bila hasrat telah timbul, maka haruslah ia mempelajari cara mengerjakan hajji. Dan tidak harus, selain mempelajari rukun dan wajibnya, tidak sunatnya. Sebab bila mengerjakannya sunat, maka mempelajarinya sunat pula. Dari itu tidaklah menjadi fardiu 'ain mempelajarinya.

Tentang haramnya berdiam diri, dari pada memberitahukan atas kewajiban pokok hajji itu, pada waktu sekarang, adalah menjadi suatu perhatian yang layak pada ilmu fiqih.
Demikianlah secara beransur-ansur, tentang ilmu amal perbuatan yang lain, yang menjadi fardiu 'ain.
halaman . 49

Adapun yang tidak berbuat (ditanggalkan mengerjakannya) maka wajiblah mempelajari ilmu itu menurut perkembangan keadaan. Dan yang demikian itu berbeda, menurut keadaan orang. Karena tidaklah wajib atas orang bisu, mempelajari kata-kata yang diharamkan. Tidaklah atas orang buta mempelajari apa-apa yang haram dari pemandangan. Dan tidaklah atas orang desa (badui) mempelajari tempat-tempat duduk yang diharamkan.

Maka yang demikian itu juga wajib menurut yang dikehendaki oleh keadaan. Apa yang diketahuinya bahwa dia terlepas daripadanya, maka tidaklah diwajibkan mempelajarinya. Dan apa yang tidak terlepas daripadanya, maka wajiblah diberitahukan kepadanya. Seumpama, ketika ia masuk Islam, adalah ia memakai kain sutera atau duduk pada perampokan atau suka melihat yang bukan mahramnya maka wajiblah diberitahukan kepadanya yang demikian itu.

Dan apa yang tidak melekat padanya, tetapi akan dihadapi, pada masa dekat seperti makan dan minum, maka wajiblah mengajarkannya. Sehingga apabila timbul dalam negeri, minuman khamar dan makanan daging babi, maka wajiblah diajarkan yang demikian dan diberitahukan.Dan tiap-tiap wajib diajarkan maka wajiblah dipelajari.

Adapun mengenai aqidah dan amal perbuatan hati, wajiblah mengetahuinya menurut bisikan hati. Kalau timbul keraguan mengenai pengertian yang terkandung dalam dua kalimah syahadah

maka wajiblah ia mempelajari apa yang menyampaikannya kepada hilangnya keraguan itu. Jikalau tiada terguris yang demikian itu dan ia mati sebelum beri' tikad bahwa kalam Allah itu qadim, Ia-Nya akan dilihat dan tiada padaNya segala sifat makhluk serta Iain-Iain sebagainya, yang tersebut dalam bahagian kei'tiqadan, maka sepakatlah ulama bahwa ia mati dalam Islam. Tetapi bisikan-bisikan hati ini yang menyangkut dengan kepercayaan, sebahagian timbul disebabkan kepribadian seseorang dan sebahagian lagi disebabkan pendengaran dari sesama penduduk. Jikalau dalam negeri, berkembang pembicaraan mengenai yang demikian dan manusia memperkatakan tentang perbuatan-perbuatan bid'ah, maka seyogialah dijaga dari permulaan masa dewasa, dengan mengajarkan yang benar. Kalau ke dalam hatinya telah dimasukkan yang batil, niscaya wajiblah dihilangkan dari hatinya itu. Mungkin yang demikian itu sukar. Seumpama, jikalau muslim itu saudagar dan telah berkembang ditempatnya perbuatan r i b a, maka wajiblah dipelajarinya, cara menjaga diri dari riba itu.
Demikianlah sebenarnya mengenai pengetahuan yang fardiu 'ain. Artinya, ilmu tentang cara amal perbuatan yang wajib. Maka orang yang mengetahui ilmu yang wajib dan waktu wajibnya, berartilah dia sudah mengetahui ilmu yang fardiu 'ain.

Apa yang diterangkan kaum sufi, tentang memahami bisikan-bisikan musuh dan langkah malaikat, adalah benar juga, tetapi terhadap orang yang ada hubunganya dengan itu.

Apabila menurut biasanya, bahwa manusia itu tidak terlepas dari panggilan kejahatan, ria dan dengki, maka haruslah ia mempelajari ilmu bahagian sifat-sifat yang membinasakan diri, apa yang dipandangnya perlu untuk dirinya. Bagaimana tidak wajib?
Rasulullah saw. pernah bersabda :
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ثلاث مهلكات شح مطاع وهوى متبع وإعجاب المرء بنفسه
(Tsalaatsun muhlikaatun : Syuhhun muthaa'un wahawan muttaba- wa i'jaabul mar-i binafsih).
Artinya:
"Tiga perkara, membinasakan manusia : kikir yang dipatuhi,hawa nasfu yang dituruti dan keta'juban manusia kepada dirinya".(Dirawikan Ath-Thabranl, Abu Na'im dan Al-Balhaqi dari Anas, dg
n Isnad dla'lf.)


Tidak terlepaslah manusia dari sifat-sifat tersebut dan lain-lain sifat yang akan kami terangkan, dari sifat-sifat hal-ikhwal hati yang tercela. Seperti takabur, 'ujub dan sebagainya yang mengikuti tiga sifat yang membinasakan itu.

Menghilangkan sifat-sifat tadi adalah fardu 'ain. Dan tidak mungkin menghilangkannya, kecuali dengan mengetahui batas-batasnya, sebab-sebabnya, tanda-tandanya dan cara mengobatinya. Orang yang tidak mengetahui sesuatu kejahatan, akan terperosok ke dalamnya. Obatnya ialah, menghadapi sebab itu, dengan lawan-nya. Maka bagaimana mungkin melawannya itu tanpa mengetahui sebab dan yang disebabkannya.
Kebanyakan dari yang kami terangkan dalam bahagian sifat-sifat yang membinasakan diri, termasuk dalam fardiu 'ain. Dan sudah ditinggalkan manusia karena sibuk dengan yang tak perlu.

Diantara yang seyogianya disegerakan mengajarkannya, apabila tidaklah orang itu telah berpindah dari satu agama ke agama yang lain, ialah keimanan dengan sorga, neraka, kebangkitan dari kubur dan pengumpulan di padang mahsyar. Sehingga dia beriman dan mempercayainya. Dan itu adalah sebagian dari kesempurnaan dan dua kalimah syahadah. Karena setelah membenarkan dengan kerasulan Nabi saw. itu, seyogialah memahami akan risalah (kerasulan) yang dibawanya. Yaitu, bahwa orang yang menta'ati Allah dan RasulNya, maka baginya sorga. Dan orang yang mendurhakai keduanya, maka baginya neraka.

Maka apabila anda telah memperoleh perhatian akan pelajaran tersebut secara beransur-ansur, maka tahulah anda bahwa inilah madzhab yang sebenarnya. Dan yakinlah anda bahwa tiap- tiap hamba Allah dalam perkembangan hal ikhwalnya, siangnya dan malamnya, adalah tidak terlepas dari kejadian-kejadian yang mengenai ibadahnya dan mu'amalahnya secara terus-menerus, akan akibat-akibatnya. Maka haruslah bertanya tentang kejadian-kejadian yang jarang terjadi dan haruslah bersegera mempelajari apa yang diharapkan biasanya terjadi dalam waktu dekat. Apabila telah jelas bahwa Nabi saw. bermaksud dengan perkataan "Al-ilmu" pakai alif dan lam pada sabdanya: "Menuntut al-ilmu itu wajib atas tiap-tiap muslim", ialah ilmu yang disertai dengan amal perbuatan, yang terkenal wajibnya atas pundak kaum muslimin, tidak lain, maka jelaslah cara beransur-ansurnya dan waktu yang diwajibkan mempelajarinya.

Wallaahu a'lam (ALLAH Maha Tahu).

hal 52.



Penjelasan tentang ilmu yang fardu kifayah

Ketahuilah bahwa fardu tidak berbeda dengan yang tidak fardu, kecuali dengan menyebutkan bahagian-bahagian ilmu.Dan ilmu-ilmu itu dengan disangkutkan kepada fardlu yang sedang kita bicarakan ini, terbagi kepada : ilmu syari'ah dan bukan ilmu syari'ah.
Yang dimaksudkan dengan ilmu syari'ah ialah yang diperoleh dari Nabi-Nabi as. Dan tidak ditunjukkan oleh akal manusia kepadanya, seumpama ilmu berhitung atau percobaan seumpama ilmu kedokteran atau pendengaran seumpama bahasa.

Maka ilmu-ilmu yang bukan syari'ah, terbagi kepada : ilmu yang terpuji, ilmu yang tercela dan ilmu yang dibolehkan. Ilmu yang terpuji, ialah yang ada hubungannya dengan kepentingan urusan duniawi, seperti ilmu kedokteran dan ilmu berhitung. Dan itu terbagi kepada fardlu kifayah dan kepada ilmu utama yang tidak fardlu.

Yang fardlu kifayah, ialah tiap-tiap ilmu yang tidak dapat dikesampingkan dalam menegakkan urusan duniawi, seumpama ilmu kedokteran. Karena pentingnya dalam pemeliharaan tubuh manusia. Dan seumpama ilmu berhitung, karena pentingnya dalam masyarakat jual beli, pembahagian harta wasiat, pusaka dan lain-lainnya. Inilah ilmu-ilmu, jikalau kosonglah negeri dari pada orang- orang yang menegakkannya, niscaya berdosalah penduduk negeri itu. Tetapi apabila ada seorang saja yang bangun menegakkan ilmu itu, maka mencukupilah dan terlepaslah yang lain dari kewajiban tersebut.

Dari itu, tak usah diherankan dari perkataan kami, bahwa ilmu kedokteran dan ilmu berhitung itu termasuk fardiu kifayah. Juga pokok-pokok perusahaan (industri) juga termasuk fardiu kifayah, seumpama pertanian, pertenunan dan siasat Bahkan juga pembekaman dan penjahitan, karena jikalau kosonglah negeri dari tukang bekam maka segeralah datang kebinasaan kepada mereka. Dan berdosalah mereka itu membawa dirinya kepada kebinasaan. Maka sesungguhnya Yang Menurunkan penyakit, Dia pulalah yang menurunkan obat dan memberi petunjuk cara memakainya serta menyediakan sebab-sebab untuk merawatinya. Maka tidak dibolehkan membawa diri kepada kebinasaan dengan menyia-nyiakan obat itu.


Adapun ilmu yang dihitung : utama, tidaklah fardu. Maka menda- lami hal-hal yang halus bagi ilmu berhitung, ilmu kedokteran dan lain-Iainnya, adalah termasuk yang tidak diperlukan begitu penting. Tetapi berfaedah menambahkan kekuatan pd kadar yang diperlukan.
Adapun ilmu yang tercela yaitu : ilmu sihir, mantera-mantera, ilmu tenung dan ilmu balik mata.
Adapun ilmu yang dibolehkan yaitu : ilmu tentang pantun-pantun yang tak cabul, berita-berita sejarah dan sebagainya.
Adapun ilmu syari'ah dan itulah yang dimaksud menjelaskannya, maka adalah terpuji semuanya. Tetapi kadang-kadang bercampur dengan apa yang disangkakan itu syari'ah. Pada hal adalah itu tercela. Dari itu, terbagi kepada : terpuji dan tercela.
Yang terpuji mempunyai pokok, cabang, mukaddimah dan pelengkap, sehingga berjumlah empat.
1. Yang pertama : pokok (ushul). Yaitu empat : Kitabullah 'Azza wa Jalla, Sunnah Rasul saw., ljma' ummat dan peninggalan-peninggalan shahabat (atsar).
Dan ljma' itu pokok, dari segi bahwa dia menunjukkan kepada Sunnah. Maka adalah dia pokok pada derajat ketiga. Begitu juga peninggalan shahabat, maka dia juga pokok menunjukkan kepada Sunnah. Karena para shahabat r.a. menyaksikan wahyu dan penurunan Al-Qur-an. Dan mengetahui dengan petunjuk-petunjuk keadaan, apa yang tidak diketahui oleh orang lain. Kadang-kadang tidak dijumpai kata-kata dalam apa yang diketahui dengan petunjuk keadaan. Maka dengan dasar ini, para alim ulama berpendapat untuk mengikuti dan berpegang teguh kepada peninggalan-peninggalan shahabat. Dan yang demikian itu adalah dengan syarat tertentu, dalam bentuk tertentu dan tidak wajar menerangkannya dalam kupasan ini.

2.
Yang kedua : Cabang (furu'). yaitu apa yang dipahamkan dari pokok-pokok (ushul) di atas. Tidak menurut yang dikehendaki oleh kata-katanya, tetapi menurut pengertian yang dapat dicapai oleh akal pikiran. Dengan sebab itu maka faham menjadi luas, Sehingga dari kata-kata yang diucapkan, dapat dipahami yang lain. Seperti apa yang dapat dipahami dari sabda Nabi saw. :
لا يقضي القاضي وهو غضبان
(Laa yaqdlil qaadlii wa huwa ghadl-baanu).
Artinya :
"Hakim (kadli) itu tidak mengadili perkara ketika dia sedang marah'
.
 Bahwa dia tidak mengadili juga ketika mau buang air, lapar atau merasa sakit .


Ilmu furu' itu terbagi dua :
Pertama menyangkut dengan kepentingan duniawi. Dan termuat dalam kitab-kitab fiqih. Yang bertanggung jawab terhadapnya ialah para ulama fiqih. Dan mereka itu adalah ulama dunia. Kedua menyangkut dengan kepentingan akhirat. Yaitu ilmu hal keadaan hati, budi pekerti terpuji dan tercela, hal-ikhwal yang direlai dan yang dibenci Allah. Pengetahuan ini termuat pada bagian penghabisan dari kitab ini. Yakni dalam jumlah kitab '."Ihya'Ulumiddin". Dan sebahagian daripadanya, ialah ilmu yang memancar dari hati kepada anggota badan, dalam ibadahnya dan 'adat kebiasaannya. Dan itu termuat pada bahagian pertama dari kitab ini.

3. Yang ketiga mukaddimah (ilmu pengantar), yaitu ilmu yang merupakan alat seperti ilmu bahasa dan tata-bahasa. Kedua- nya adalah merupakan alat untuk mengetahui isi Kitabullah dan Sunnah Rasul saw. Bahasa dan tata-bahasa itu tidaklah termasuk dalam ilmu syari'ah. Tetapi harus dipelajari disebabkan agama. Karena syari'ah (Agama Islam) ini datangnya dengan bahasa Arab. Dan semua agama tidak lahir selain dengan sesuatu bahasa. Maka jadilah mempelajari bahasa itu sebagai alat.
Dan setengah dari alat, ialah : ilmu menulis tulisan. Tetapi tidaklah itu penting.

رسول الله صلى الله عليه وسلم أميّاً"Karena Rasulullah saw. sendiripun tidak tahu tulis baca (ummi)". (Dirawikan Al-Bukftarl dan Muslim dari Abi Bikrah.)

Kalaulah tergambar dapat dihafal semua yang didengar, maka menulis itu tidak perlu lagi. Tetapi pada ghalibnya, lemah dari hapalan maka menulis itu menjadi penting.

4. Yang keempat : penyempurna, yaitu : mengenai ilmu Al-Qur-an. Dan terbagi kepada : yang berhubungan dengan kata-katanya seperti mempelajari qira-ah (cara membaca), dan bunyi hurufhya. Dan yang berhubungan dengan pengertiannya, seperti tafsir, karena pengertian itu berpegang pula kepada naqal (keadaan di sekitar ayat itu, baik sebab turunnya dan suasananya yang diper-


oleh dalam sejarah tiap-tiap ayat suci). Karena semata-mata bahasa saja, tidak dapat berdiri sendiri. Dan yang berhubungan dengan hukumnya, seperti mengetahui yang nasikh dan mansukh, yang umum dan yang khusus, yang nash dan yang dhahir dan cara meng- gunakan antara sebahagian ayat dengan sebahagian lainnya. Yaitu suatu ilmu yang bernama "Ushulul-fiqh". Dan ilmu ini melengkapi juga Sunnah Nabi.

Adapun, ilmu penyempurna pada hadits Nabi dan peninggalan peninggalan shahabat (atsar), yaitu ilmu mengenai perawi-perawi hadits, namanya, keturunannya, nama-nama shahabat, ke-pribadiannya dan ilmu mengenai adalah (kejujuran) perawi-perawi dan keadaan mereka dalam meriwayatkan hadits. Supaya dapat membedakan antara hadits lemah dan hadits kuat. Dan mengetahui umur mereka supaya dapat membedakan antara hadits mursal dan hadits musnad. Dan juga mengetahui yang berhubungan dengan musnad itu
.

Inilah ilmu-ilmu syari'ah dan semuanya itu terpuji, bahkan semua-nya termasuk fardiu kifayah.
Jikalau anda tanyakan : mengapakah aku hubungkan ilmu fiqih dengan ilmu dunia dan ulama-ulama fiqih dengan ulama-ulama dunia? Aku menjawab, bahwa ketahuilah sesungguhnya Allah Ta'ala menjadikan Adam a.s. dari tanah dan keturunannya dari unsur-unsur bahan dari tanah dan air hanyir. Mereka dikeluarkan dari tulang sulbi laki-laki, ke dalam rahim wanita. Dari situ ke dunia, kemudian ke kubur, kemudian ke padang makhsyar, kemudian ke-sorga atau ke neraka. Inilah permulaan mereka dan inilah kesudahan mereka! Dan inilah tempat kediaman mereka! Dijadikan dunia tempat mencari perbekalan untuk akhirat, supaya dapat diperoleh dari dunia itu, apa yang patut untuk perbekalan itu.

Kalau manusia itu memperoleh dunia dengan keadilan, maka lenyaplah segala permusuhan. Dan kosonglah para alim ulama dari kesibukan. Tetapi manusia itu memperoleh dunia dengan nafsu-syahwat, lalu timbullah bermacam-macam permusuhan. Maka perlulah kepada penguasa (sultan) untuk memimpinnya. Dan penguasa itu memerlukan kepada undang-undang (qanun) untuk memimpin ummat manusia itu.

Ahli fiqih, ialah orang yang tahu dengan undang-undang siasah, jalan mengetengahi diantara orang banyak, apabila bertengkar di bawah hukum hawa nafsu. Jadi, ahli fiqih itu adalah guru sultan dan penunjuknya kepada jalan memimpin dan mengatur makhluk supaya teratur urusan duniawi dengan kelurusan mereka.
Demi sebenarnya, hal tersebut, berhubungan juga dengan agama. Tetapi tidaklah dengan agama itu sendiri, melainkan dengan perantaraan dunia. Karena dunia adalah tempat bercocok tanam bagi akhirat. Dan agama itu tidak sempurna selain dengan dunia. Penguasa (raja) dan agama adalah dua anak kembar. Agama itu pokok dan penguasa itu pengawal. Sesuatu yang tidak berpokok (bersendi), roboh. Sesuatu yang tidak berpengawal (berpenjaga), hilang. Kerajaan dan kepastian hukum tak sempurna, selain dengan penguasa. Jalan kepastian hukum untuk menyelesaikan persoalan peme rintahan, ialah dengan fiqih.

Sebagaimana siasah manusia dengan pemerintahan, tidak termasuk sebahagian dari ilmu agama, pada tingkat pertama. Tetapi, adalah penolong kepada sesuatu, di mana agama tidak sempurna, kecuali dengan dia. Maka demikian juga pengetahuan jalan siasah. Seperti dimaklumi, bahwa ibadah hajji, tidak akan sempurna, kecuali dengan pengawal, yang mengawal dari orang-orang Arab diperjalanan. Sedang ibadah hajji itu suatu hal dan berjalan menuju ibadah hajji itu adalah hal kedua. Dan mengadakan pengawalan, di mana hajji itu tidak akan sempurna, selain dengan pengawalan itu, adalah hal ketiga. Dan mengetahui cara-cara, daya upaya dan aturan-aturan pengawalan itu, adalah hal keempat.

Maka hasil dari pengetahuan fiqih, ialah mengetahui cara kepemimpinan dan kepengawalan. Dan ditunjukkan kepada yang demikian, oleh apa yang dirawikan dari hadits musnad :

(Laa yuftin naasa illaa tsalaatsatun amiirun au raa'muurun au mu- takallifun).
Artinya :
"Tidak memberi fatwa (perintah) kepada manusia selain oleh tiga : amir atau ma'mur atau yang memikul be ban itu (mutakallif)". (Dirawikan Ibnu Mardawalh dari Abdullah bin umar )

Amir ialah imam (penguasa). Merekalah yang mengeluarkan fatwa. Ma'mur ialah wakil dari amir. Yang memikul beban itu, ialah yang lain dari yang dua tadi. Dan memikul beban tersebut tanpa diperlukan.

Para shahabat Nabi ra. menjaga diri dari mengeluarkan sesuatu fatwa. Hingga masing-masing mereka, menyerahkan kepada temannya. Dan mereka tidak menjaga benar, apabila ditanyakan tentang ilmu Al-Quran dan jalan ke akhirat.

Pada setengah riwayat, ganti dari yang memikul beban itu, ialah : "Orang yang bekerja dengan ria". Maka orang yang mau memikul risiko dengan menyatakan sesuatu fatwa, sedang dia tidak ditugaskan untuk itu, maka tidak ada maksud orang itu, selain mencari kemegahan dan harta.

Jika anda menyatakan kepadaku bahwa pendapatku tentang ilmu fiqih itu, kalaupun betul, hanya mengenai hukum penganiayaan, hukum denda, utang-piutang dan penyelesaian persengketaan, maka tidaklah betul mengenai bahagian ibadah, dari hal puasa dan shalat. Dan tidak pada yang dilengkapi oleh bahagian adat dari hukum mu'amalah, dari penjelasan halal dan haram.

Ketahuilah! Bahwa yang terdekat dari apa yang diperkatakan oleh ahli fiqih, dari amal perbuatan, di mana amal perbuatan itu adalah amal perbuatan akhirat, ialah tiga : Islam, shalat dan zakat, halal dan haram. Apabila anda perhatikan sejauh pandangan ahli fiqih tentang hal di atas, niscaya anda tahu, bahwa hal tersebut tidaklah melampaui batas-batas dunia kepada akhirat.


Halaman 57.
Hadits mursal, yaitu : periwi-perawinya tidak jelas sambung menyambung sampai kepada Nabi taw., sedang hadits musnad adalah Jelas


Apabila telah dipahami demikian pada yang tiga tadi, maka pada lainnya lebih jelas lagi. Tentang Islam maka ahli fiqih itu, memperkatakan tentang yang syah dari padanya, tentang yang ba- tal dan tentang syarat-syaratnya. Dan tidaklah diperhatikan padanya, selain kepada lisan. Dan hati tidaklah termasuk dalam lingkungan wilayah seorang ahli fiqih. Karena Rasulullah saw. meletakkan pemegang pedang dan kekuasaan,diluar hati, dengan sabdanya :
هلا شققت عن قلبه؟
(Hallaa syaqaqta 'an qalbih).
Artinya :
"Mengapa tidak engkau pisahkan dari hatinya?".


Sabda ini ditujukan oleh Nabi saw. kepada seorang pembunuh, yang membunuh orang yang telah mengucapkan kalimah Islam, dengan alasan bahwa pengucapannya itu lantaran takut kepada pedang. Bahkan ahli fiqih itu menetapkan syah Islam dibawah naungan pedang, pada hal ia tahu pedang itu tidak menyingkapkan isi niat seseorang dan tidak menghilangkan dari hati, kebodohan dan keheranan. Tetapi mengisyaratkan kepada pemegang pedang. Pedang itu memanjang kepada lehernya. Dan tangan itu memanjang kepada hartanya. Kalimat tadi dengan lisan adalah menyelamatkan leher dan harta, selama leher dan hartanya belum lagi terpisah dari padanya. Begitulah di dunia. Dari itu, Nabi saw. bersabda :
قال صلى الله عليه وسلم : أمرت أن أقاتل الناس حتى يقولوا لا إله إلا الله فإذا قالوها فقد عصموا مني دماءهم وأموالهم
(Umirtu an uqaatilan naasa hattaa yaquuluu laa ilaaha illallaahu fa-idzaa qaaluu haa faqad 'ashamuu minnii dimaa-ahum wa amwaa- lahura).
Artinya :
"Aku disuruh memerangi manusia sehingga mereka mengucapkan لااله الا الله Apabila telah diucapkannya, maka terpeliharalah darah dan hartanya daripadaku". Nabi saw. menetapkan akibatnya pengucapan itu pada darah (nyawa) dan harta". (Dirawikan Al-Bukhari dan Muslim dari Abl Hurairah
. Mutaffaq ‘alaihi )

Adapun di akhirat, maka harta itu tidak berguna padanya. Tetapi nur-hati, rahasianya dan keikhlasannya yang berguna. Dan itu tidak termasuk dalam bidang fiqih. Kalau seorang ahli fiqih mencempelungkan diri dalam ilmu fiqih, adalah seperti kalau ia mencempelungkan diri dalam ilmu kalam dan ilmu kedokteran. Dan dia itu berada di luar bidangnya.

Mengenai shalat, maka. ahli fiqih itu berfatwa dengan syah bila shalat itu dikerjakan dengan bentuk segala perbuatan shalat serta jelas syarat-syaratnya, meskipun ia lengah dalam seluruh shalatnya, dari awal sampai akhirnya. Asyik berfikir menghitung penjualan di pasar, kecuali ketika bertakbir.
Shalat semacam itu tidaklah bermanfa'at di akhirat, sebagaimana pengucapan dengan lisan mengenai Islam tak adalah manfa'atnya.


Tetapi ahli fiqih berfatwa dengan syahnya. Artinya apa yang telah dikerjakan, telah berhasil menuruti bunyi perintah dan hapuslah daripadanya, hukuman bunuh dan dera.

Adapun khusu' dan menghadirkan hati yang menjadi amal perbuatan akhirat dan dengan itu bermanfa'atlah amal dhahir, maka tidaklah disinggung-singgung oleh ahli fiqih. Kalaupun ada, maka adalah di luar bidangnya.

Mengenai zakat, maka ahli fiqih itu memandang yang mana dapat diminta bantuan penguasa. Sehingga apabila ada yang enggan mem- bayar zakat, lalu penguasa mengambilnya dengan paksa. Karena telah diputuskan, bahwa harta itu telah terlepas dari hak miliknya.
Menurut ceritera, bahwa Kadli Abu Yusuf memberikan hartanya pada akhir tahun (akhir haul) kepada isterinya dan ia sendiri menerima pemberian dari isterinya untuk menghindarkan zakat. Maka diceriterakannya hal itu kepada Imam Abu Hanifah ra.

Imam Abu Hanifah ra. menjawab : "Itu adalah dari segi fiqihnya. Dan dia benar. Itu adalah dari fiqih dunia. Akan tetapi di akhirat melaratnya lebih besar dari segala penganiayaan".
Seumpama inilah kiranya, ilmu yang mendatangkan melarat. Mengenai halal dan haram, maka menjaga diri (wara') dari yang haram, adalah sebahagian dari agama. Tetapi wara' itu mempunyai empat tingkat:

1. Tingkat pertama : ialah penjagaan diri (wara'), yang disyaratkan pada keadilan kesaksian. Yaitu bila penjagaan diri yang tersebut tidak ada, maka orang tidak boleh menjadi saksi, hakim dan wali. Penjagaan diri yang dimaksud, ialah penjagaan diri, dari perbuatan yang nyata haramnya.

2. Tingkat kedua : ialah wara' orang-orang salih. Yaitu, menjauhkan diri dari segala perbuatan syubhat, yang ada padanya kemungkinan- kemungkinan yang diragukan.
Bersabda Nabi saw.
قال صلى الله عليه وسلم: (دع ما يريبك إلى

مالا يريبك



(Da'-maa yariibuka ilaa maa laa yariibuka).


Artinya :
"Tinggalkanlah yang meragukan untuk diambil yang tidak meragukan". (Dirawikan At-Tirmidzi, An-Nasa-i- dan Ibnu Hibban dari Al-Hasan bin Ali
) .

Dan Nabi saw. bersabda :
Al-itsmu hazzaazul quluub
Artinya :
"Dosa itu membawa penyakit bagi hati (jiwa)". (Dirawikan Al-Baihaqi dari ibnu Mas'ud. Dan dirawikan Ai-'Adani, hadiu mauquf.
)


3.
Tingkat ketiga': ialah wara' orang-orang yang taqwa (muttaqin). Yaitu meninggalkan perbuatan yang sebenarnya halal tetapi dikuwatiri terbawa kepada yang haram.
Bersabda Nabi saw. :
قال صلى الله عليه وسلم: لا يكون الرجل من المتقين حتى يدع ما لا بأس به مخافة مما به بأس
(Laa yakuunurrajulu minal muttaqiina hattaa yada'a maa laa ba'sa bihi ma khaafatan raimmaa bihi ba'sun)
Artinya :
"Tidaklah orang itu bernama orang taqwa, sebelum ia meninggakan sesuatu yang tak ada apa-apanya, karena takut kepada yang ada apa-apanya". (Dirawikan At-Tirirmidzi, Ibn Majah dan Al-Hakim dan ditashihkannya dari 'Athiy- yaif as-a'
dl).


Contohnya seumpama : menjaga diri (wara') dari mempercakapkan hal orang. Karena takut terperosok kepada mengumpat. Dan memelihara diri dari memakan sepanjang keinginan, karena takut bergelora semangat dan tenaga yang membawa kepada perbuatan terlarang.

4. Tingkat keempat  ialah wara' orang-orang shiddiqin. Yaitu berpaling (meninggalkan), selain kepada Allah Ta'ala. Karena takut terpakai meskipun sesa'at dari umur, kepada yang tidak mendatang- kan faedah lebih pendekatan diri kepada Allah 'Azza wa Jalla, walaupun ia tahu dan yakin bahwa perbuatan tersebut tidak membawa kepada yang haram.
Maka semua tingkat tadi adalah di luar perhatian ahli fiqih, selain tingkat pertama. Yaitu : mengenai pemeliharaan diri (wara') saksi, hakim dan yang merusakkan 'adalah (keadilan). Menegakkan pemeliharaan diri (wara') dengan yang demikian, tidaklah meniada- kan dosa di akhirat. Bersabda Nabi saw. kepada Wabishah :
قال رسول ال

له صلى الله عليه وسلم لوابصة: (اس
تفت قلبك وإن أفتوك وإن أفتوك)
(Istafti qalbaka wa-in aftauka wa-in aftauka wa-in aftauka).
Artinya :
"Mintalah fatwa kepada hatimu, walaupun orang telah memberi fatwa kepadamu, walaupun orang telah memberi fatwa kepadamu, walaupun orang telah memberi fatwa kepadamu!". (Dirawikan Ahmad dari Wabishah)

Ahli fiqih itu tidak memperkatakan tentang penyakit hati (jiwa) dan cara mengatasinya. Tetapi yang ada, mengenai yang merusakkan 'adalah (keadilan) saja. Jadi seluruh perhatian ahli fiqih, adalah menyangkut dengan dunia, yang dengan dunia itu, ada perbaikan jalan akhirat. Bila sekiranya ia memperkatakan sesuatu dari sifat- sifat hati dan hukum akhirat, adalah termasuk ke dalam percakapannya itu secara sambil lalu. Sebagaimana kadang-kadang termasuk ke dalam percakapannya, persoalan kedokteran, berhitung, ilmu bin tang dan ilmu kalam. Dan sebagaimana termasuknya ilmu falsafah ke dalam tatabahasa dan pantun.

Sufyan Ats-Tsuri, seorang pemuka ilmu dhahir berkata : "Sesungguhnya mempelajari ini (ilmu fiqih), tidaklah termasuk perbekalan akhirat". Bagaimana? Telah sepakat para ahli bahwa kemuliaan pada ilmu itu, ialah pelaksanaannya. Maka bagaimana ia menyangka, dia mengajar hukum dhihar (menyerupakan isteri dengan punggung ibu) hukum al-li'an (mengutuk isteri), hukum as-salam (berjual beli benda yang belum dilihat si pembeli, hanya diterangkan sifat-sifat- nya saja oleh si penjual), sewa-menyewa dan tukar-menukar uang? Dan orang yang mempelajari hal-hal tersebut, untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala itu, adalah gila. Sesungguhnya perbuatan itu adalah dengan hati dan anggota tubuh pada segala amal ta'at. Dan kemuliaan, ialah amalan-amalan itu.
Halaman 62.


Jika anda bertanya, mengapa tidak aku samakan antara ilmu fiqih dan ilmu kedokteran, karena ilmu kedokteran juga berhubungan dengan dunia, yaitu kesehatan badan. Dan itu berhubung pula dengan kebaikan agama. Dan penyamaan ini menyalahi dengan ijma' ummat Islam?

Ketahuilah! Bahwa penyamaan itu tidaklah suatu keharusan, bahan terdapat perbedaan antara keduanya. Ilmu fiqih itu lebih mulia dari ilmu kedokteran dari tiga segi :

1. Pertama : fiqih itu ilmu syari'ah, karena dia diperoleh dari kenabian. Lain halnya dengan ilmu kedokteran. Dia itu tidaklah termasuk ilmu syari'ah.

2. Kedua : ilmu fiqih itu tidak dapat melepaskan diri sekali-kali, oleh seseorang yang menuju ke jalan akhirat, baik dia sehat atau sakit. Sedang ilmu kedokteran tidak diperlukan selain oleh orang sakit. Dan orang sakit itu sedikit.

3. Ketiga : ilmu fiqih itu berdampingan dengan ilmu jalan akhirat. Karena dia memandang pada amal perbuatan anggota tubuh. Sumber dan tempat terjadinya amal perbuatan anggota tubuh itu, adalah peri laku hati (jiwa). Yang terpuji dari pada amal perbuatan itu, adalah yang timbul dari budi pekerti yang terpuji, yang melepaskan diri dari bahaya di akhirat. Yang tercela adalah timbul dari budi pekerti yang tercela. Dan tidak tersembunyi lagi akan hubungan antara anggota tubuh dengan hati (jiwa) itu.

Adapun sehat dan sakit, maka tempat terjadinya, adalah bersih pada sifat badan dan percampuran. Dan itu adalah dari sifat- sifat tubuh, tidak dari sifat-sifat hati. Maka manakala dihubungkan ilmu fiqih kepada ilmu kedokteran, niscaya tampaklah kemuliaan ilmu fiqih itu. Dan apabila dihubungkan ilmu jalan ke akhirat kepada ilmu fiqih, maka tampaklah pula kelebihan ilmu jalan ke akhirat.

Jika anda menyatakan : "
Rincikan kepadaku dengan jelas, ilmu jalan ke akhirat itu, yang menunjukkan isi serta tujuannya, meskipun tidak sampai terperinci benar!".


Maka ketahuilah, bahwa ilmu jalan ke akhirat itu adalah dua macam,
ILMU MUKASYAFAH DAN ILMU MU’AMALAH

1.
Yang pertama : ILMU MUKASYAFAH
 ialah ilmu bathin. Dan itulah, kesudahan segala ilmu. Telah berkata setengah arifin (ahli ilmu ma'rifah yaitu ilmu mengenai Allah Ta'ala) : "Orang yang tidak mempunyai bahagian dari ilmu mukasyafah ini, aku takut akan buruk kesudahannya (tidak memperoleh husnul-khatimah). Sekurang-kurang bahagian dari padanya, ialah membenarkan ilmu itu dan tunduk kepada ahlinya".

Berkata yang lain : "Orang yang ada padanya dua perkara, tidak akan terbuka baginya sedikitpun dari ilmu ini, yaitu, berbuat bid'ah atau takabur".

Ada lagi yang mengatakan : "Barang siapa mencintai dunia atau selalu memperturutkan hawa nafsu, niscaya ia tidak akan yakin kepada ilmu ini dan mungkin ia yakin kepada ilmu-ilmu yang lain. Sekurang-kurangnya penyiksaan terhadap orang yang meng- ingkarinya, ialah tidak merasakan sedikitpun kelezatan ilmu ini". Ahli yang berkata tadi lalu bermadah :

"Relalah terhadap orang yang telah hilang dari engkau,
oleh kehilangannya.
Maka itu dosa,
ada siksaan padanya

Itulah ilmu orang-orang shiddiqin dan muqarrabin. Yakni ilmu mukasyafah. Yaitu : ibarat cahaya yang lahir dalam hati ketika penyucian dan pembersihannya dari sifat-sifat yang tercela. Dari cahaya itu, tersingkaplah beberapa banyak keadaan, yang tadinya namanya pernah didengar. Maka diragukan pengertiannya yang tidak terurai, lagi tidak jelas. Lalu jelaslah ketika itu, sehingga berhasillah ma'rifat yang hakiki dengan Dzat Allah swt. dan sifatNya yang kekal sempurna, perbuatanNya dan hukumNya pada kejadian dunia dan akhirat. Cara penyusunanNya melebihkan akhirat dari dunia, mengenal arti kenabian dan Nabi, arti Wahyu, arti setan, arti kata-kata Malaikat dan setan-setan, cara permusuhan setan dengan manusia, bagaimana kedatangan malaikat kepada Nabi-nabi, bagaimana sampai wahyu itu kepada Nabi-nabi,mengenal alam malakut langit dan bumi, mengenai hati dan betapa benterokan antara bala tentara malaikat dan setan di dalam hati, mengenai perbeda- an antara langkah malaikat dan langkah setan, mengenai akhirat, sorga dan neraka, azab kubur, titian, timbangan, hitungan amal dan maksud dari firman Allah Ta'ala :

ومعنى قوله تعالى:اقرأ كتابك كفى بنفسك اليوم عليك حسيبا= الاسراء:



(Iqra' kitaabaka kafaa binafsikal yauma 'alaika hasiiban).
Artinya:
"Bacalah kitabmu! Cukuplah pada hari ini, engkau membuat perhitungan atas dirimu sendiri".
(Al-Isra', ayat 14).

dan maksud firman Allah Ta'ala :
وَإِنَّ الدَّارَ الآخِرَةَ لَهِيَ الْحَيَوَانُ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ
(Wa innad daaral aakhirata lahiyal hayawaanu lau-kaanuu yala-muim).
Artinya:
"Dan bahwa kampung akhirat itulah kehidupan yang sebenarnya kalau mereka mengetahui".
(AI-Ankabut, ayat 64).

Dan arti berjumpa dengan Allah Ta'ala dan memandang kepada wajahNya Yang Maha Mulia, arti dekat dengan Allah dan bertempat disampingNya, arti memperoleh kebahagiaan dengan menemani alam arwah, Malaikat dan Nabi-nabi. arti berlebih-kurangnya pangkat ahli Sorga, sehingga mereka melihat satu sama lain, seumpama menampak bintang bersinar dilembaian langitdan lain-lainnya yang panjang kalau dibentangkan. Karena manusia, mengenai pengertian hal-hal yang tersebut di atas sesudah membenarkan pokok-pokoknya, mempunyai bermacam-macam tingkat. Sebagian mereka berpendapat, bahwa semuanyaitu adalah contoh-contoh. Dan yang disediakan oleh Allah untuk hambaNya yang sholih, ialah : sesuatu yang tidak pernah dilihat oleh mata, didengar oleh telinga dan terlintas di dalam hati manusia. Dan tak adalah serta makhluk itu Sorga, selain dari sifat-sifat dan nama-nama.

Setengah berpendapat bahwa sebahagian adalah contoh-contoh dan sebahagian lagi bersesuaian dengan hakikat yang sebenarnya yang dipahami dari kata-katanya. Demikian juga, sebahagian mereka berpendapat, bahwa kesudahan mengenai Allah Ta'ala ialah mengakui kelemahan diri dari pada mengenalNya. Sebahagian lagi mendakwakan beberapa hal yang agung, tentang mengenai Allah Ta'ala. Ada lagi yang mengatakan, bahwa batas mengenai Allah Ta'ala itu, ialah apa yang sampai kepada aqidah orang kebanyakan. Yaitu beriman ; bahwa Allah Ta'ala itu ada, maha mengetahui, maha kuasa, mendengar, melihat dan berkata-kata.


Kami maksudkan dengan ilmu mukasyafah itu ialah bahwa terang- kat tutup yang menutupi sehingga jelaslah kenyataan kebenaran Allah pada semuanya itu, dengan sejelas-jelasnya, laksana mata memandang, yang tak diragukan lagi.

Hal yang demikian itu mungkin pada diri (jauhar) manusia, sekiranya tidak cermin hatinya telah tebal dengan karat dan kotor dengan kotoran dunia.

Sesungguhnya kami maksudkan dengan ilmu jalan ke akhirat, ialah ilmu mengenai cara menggosok cermin tersebut, dari kotoran- kotoran tadi, yang menjadi dinding (hijab) dari pada Allah Ta'ala, daripada mengenai sifat-sifat dan af'alNya. Membersihkan dan mensucikannya ialah dengan mencegah diri dari menuruti hawa nafsu dan berpegang teguh dalam segala hal, kepada ajaran Nabi-Nabi as.

Maka menurut apa yang cemerlang dari hati dan berbetulan kearah kebenaran, niscaya bergemilanglah hakikatnya. Dan jalan untuk itu, tak lain dari latihan yang akan datang perinciannya nanti pada tempatnya dam dengan ilmu dan mengajarinya.

Inilah ilmu yang tidak dituliskan dalam kitab-kitab dan tidak diperkatakan oleh orang-orang yang telah dianugerahi oleh Allah Ta'ala dengan sesuatu dari ilmu ini, selain bersama ahlinya. Yaitu dengan bersama-sama bertukar-pikiran dan dengan cara rahasia.

inilah ilmu tersmbunyi yang dimakudkan oleh Nabi saw.dengan sabdanya :
الذي أراده صلى الله عليه وسلم بقوله: إن من العلم كهيئة المكنون لا يعلمه إلا أهل المعرفة بالله تعالى فإذا نطقوا به لم يجهله إلا أهل الاغترار بالله تعالى فلا تحقروا عالما آتاه الله تعالى علما منه فإن الله عز وجل لم يحقره إذ آتاه إياه 73 (Innaa minal 'ilmi kahaiatil maknuuni laa ya'lamuhu illaa ahlul ma'rifati billaahi ta'aalaa. Fa-idzaa nathaquu bihii lam yjuhalhu illaa ahlul ightiraari billaahi ta'aalaa. Falaa tahqiruu 'aaliman aataa- hullaahu ta'aalaa 'ilman minhu, fa-innallaaha 'azza wa jalla lam yah- qirhu idz-aataahu iyyaah).
Artinya :
"Sesungguhnya sebahagian dari ilmu itu seakan-akan seperti keadaan tertutup yang tidak diketahui, selain oleh ahli yang mengenalnya(ma'rifat) akan Allah Ta'ala. Apabila mereka mempercakapkannya, maka tidak ada yang tak mengerti. selain dari orang-orang yang telah tertipu, jauh dari Allah Ta'ala. Dari itu janganlah kamu hinakan seorang yang berilmu, yang dianugerahi oleh Allah Ta'ala ilmu tsb. Karena Allah Ta'ala sendiri tidak menghinakannya karena telah menganugerahinya ilmu tadi". (Dirawikan Abu Abdirrahman As-Salami dari Abu Hurairah, isnad dla'if.)



2.
Yang kedua : ILMU MU’AMALAH,
 ialah ilmu perihal hati (jiwa). Apa yang terpuji dari padanya, seperti sabar, syukur, takut, harap, rela, zuhud, taqwa, sederhana, pemurah, mengenai nikmat Allah Ta'ala dalam segala keadaan, ihsan, baik sangka, baik budi, bagus pergaulan, benar&ikhlas. Maka mengetahui hakikat hal keadaan ini, batas-batasnya dan sebab-sebabnya yang diusahakan,hasil, tanda dan cara mengobati yang lemah dari padanya, sehingga menjadi kuat dan yang hilang sehingga kembali, adalah termasuk sebahagian dari ilmu akhirat.

Adapun yang tercela yaitu : takut miskin, marah kepada taqdir, menokoh, dengki, busuk hati, menipu, mau tinggi, suka di puji, mencintai lama hidup di dunia untuk bersenang-senang, takabur, riat marah, keras kepala, suka bermusuhan. amarah, loba, kikir, gembira tidak pada tempatnya, angkuh, congkak, bangga dengan kekayaan ditangannya, menghormati orang kaya, menghina orang miskin, gila hormat dan pangkat, suka berlomba secara tidak jujur, menyombong diri menerima kebenaran ; suka campur soal yang tidak penting, suka banyak bicara, memuji diri, menghias-hiasi budi pekerti, berminyak air, ujub, asyik memperkatakan kekurangan orang melupakan kekurangan diri sendiri, hilang perasaan gun- dah dan takut dari hati, sangat menekan perasaan jiwa apabila tersinggung, lemah hati mencari kebenaran, mengambil teman dhahir dari musuh bathin, merasa aman dari kemurkaan Allah Ta'ala, pada menarik apa saja dari pemberianNya, bersandar kepada ta'at, murka, khianat, tokoh-menokoh, panjang angan-angan, kesat dan kasar hati, gembira dengan dunia dan berduka cita atas hilangnya, berjinak hati dengan makhluk dan merasa sepi bercerai dengan mereka, kaku, ceroboh, tergopoh-gopoh, kurang malu dan kurang belas kasihan..

Inilah dan yang seumpama dengan ini, dari sifat-sifat hati (jiwa), menjadi sumber perbuatan keji dan tempat tumbuh perbuatan terlarang. Lawannya adalah budi pekerti yang terpuji, tempat memancar ta'at dan pendekatan diri kepada Allah Ta'ala.
Maka mengetahui batas-batas hal ini, hakikat, sebab, hasil dan pengobatannya adalah ilmu akhirat dan fardiu 'aiti menurut fatwa ulama-ulama akhirat. Orang yang membuang muka dari ilmu tersebut, adalah binasa dengan kekuasaan Raja-diraja di akhirat, sebagaimana orang yang membuang muka dari segala pekerjaan dhahir, adalah binasa dengan kekuasaan pedang raja-raja dunia, berdasarkan fatwa ahli fiqih dunia.

Maka pandangan ulama fiqih mengenai fardlu 'ain itu, adalah bersandarkan kepada kepentingan dunia, sedang ini, bersandar- kan kepada kepentingan akhirat. Bila ditanyakan kepada seorang ahli fiqih, tentang arti dari arti-arti ini, umpamanya tentang ikhlas atau tentang tawakkal atau tentang menjaga diri dari sifat ria, maka ia akan tertegun, sedangkan karena fardiu 'ainnya, bila diabai- kan akan mendatangkan kebinasaannya di akhirat. Tetapi coba tanyakan tentang li'an,dhihar,berlomba kuda dan memanah, niscaya akan diletakkannya dihadapanmu berjilid-jilid buku dengan terperinci yang mendalam, yang menelan banyak waktu, pada hal sedikitpun tidak diperlukan. Kalaupun ada yang diperlukan, niscaya tidaklah kosong negeri, dari orang yang menyanggupinya. Dan cukuplah letih dan payah padanya, lalu senantiasa ia berpayah-payah padanya, malam dan siang, pada menghafal dan mempelajarinya. Dan melupakan dari apa yang penting dalam agama.

Apabila didesak, maka ahli fiqih itu menjawab : "Aku menghabiskan waktu mempelajarinya karena fiqih itu ilmu agama dan fardlu kifayah". Ia mengelabui dirinya dan orang lain pada mempelajarinya.

Orang cerdas itu tahu bahwa kalau adalah maksudnya melaksanakan perintah pada fardlu kifayah, tentu didahulukannya fardlu 'ain. Bahkan juga akan didahulukannya banyak dari fardlu-fardlu kifayah yang Iain dari ilmu fiqih itu.
Berapa banyak negeri yang tidak berdokter, selain dari orang zimmi (orang kafir yang dilindungi pemerintah Islam). Orang zimmi itu menurut hukum fiqih, tidak dapat diterima menjadi saksi mengenai hal yang menyangkut dengan kedokteran.

Kemudian, tidak seorangpun dari orang Islam, kami lihat bekerja dalam lapangan kedokteran. Mereka berlomba-lomba kepada ilmu fiqih, lebih-lebih masalah khilafiah dan perdebatan. Negeri penuh dengan ulama fiqih, yang bekerja mengeluarkan fatwa dan memberi penjawaban dari peristiwa-peristiwa yang terjadi. Wahai kiranya, bagaimana ahli-ahli fiqih agama, memurahkan waktunya mengerjakan fardiu kifayah yang telah dikerjakan oleh suatu golongan. Dan mengabaikan yang tak ada orang bangun mengerjakannya. Adakah ini mempunyai sebab tertentu? Hanya pengetahuan kedokteran itu, tidak mudah menjadi pengurus harta wakaf, harta wasiat, pengawas harta anak yatim, menjadi hakim dan pemerintah, terkemuka dari teman sejawat dan berkuasa menghantam lawan.

Halaman 67.


Benarlah kiranya, telah terinjak-injak ilmu agama dengan tingkah laku ulama jahat. Maka Allah Ta'ala tempat bermohon pertolongan. KepadaNya tempat berlindung, kiranya 'dilindungiNya kita dari penipuan ini, yang membawa kepada amarahNya dan menertawakan setan.

Ahli wara' dari ulama dhahir, mengaku kelebihan ulama bathin dan yang mempunyai mata hati. Imam Asy-Syafi'i ra. pernah duduk dihadapan Syaiban Pengembala, seperti duduknya seorang anak kecil di maktab,seraya bertanya: "Bagaimana membuat itu dan itu?"

Maka dikatakan kepada Imam Asy-Syafi'i : "Seperti engkau bertanya pada Badui ini?". Maka menjawab Imam Syafi'i : "Sesungguhnya ini sesuai dengan apa yang kami lupakan".

Imam Ahmad bin Hanbal ra. dan Yahya bin Mu'in selalu pergi menjumpai Ma'ruf Al-Karkhi, padahal dalam ilmu dhahir tak adalah orang lain yang setingkat dengan keduanya. Imam Ahmad dan Yahya menanyakan : "Bagaimana?". Sedang Rasulullah saw. pernah bersabda, ketika ditanyakan : "Apa yang kami perbuat, apabila datang kepada kami suatu persoalan, yang kami tidak peroleh dalam Kitab dan Sunnah?".
maka Nabi saw. menjawab :
صلى الله عليه وسلم: : سلوا الصالحين واجعلوه شورى بينهم
(Salush shaalihiina waj-'aluuhu syuuraa bainahum).
Artinya :
"Tanyakanlah kepada orang-orang sholih dan selesaikanlah dengan jalan bermusyawarah dengan mereka". (Dirawikan Ath-Thabrani dari Ibnu Abbas, dipandang lemah oleh kebanyakan ahli hadits.
)

Karena itulah, dikatakan bahwa ulama dhahir itu adalah hiasan bumi dan kerajaan. Dan ulama bathin adalah hiasan langit dan alam malakut. Berkata Al-Junaid ra. : "Bertanya As-Sirri guruku- kepadaku pada suatu hari : "Apabila engkau berpindah daripadaku, maka dengan siapa engkau bercakap-cakap?". Lalu aku jawab : "Dengan Al-Muhasibi". Maka ia berkata : "Ya, betul! Ambillah dari ilmunya dan adab kesopanannya! Tinggalkanlah dari engkau pemecahannya ilmu kalam dan serahkan itu kepada para ulama ilmu kalam sendiri (ulama mutakallimin)! '. Kemudian tatkala aku berpisah, aku mendengar dia mengatakan : "Kiranya Allah menjadikan engkau seorang ahli hadits yang sufi. Tidak dijadikan-Nya engkau, seorang sufi yang ahli hadits". Diisyaratkan oleh As-Sirri, bahwa orang yang memperoleh hadits dan ilmu, kemudian bertasawwuf, maka akan memperoleh kemenangan. Dan orang yang bertasawwuf sebelum berilmu maka akan membahayakan bagi dirinya.

Jika anda bertanya : "Mengapa anda tidak membentangkan ilmu kalam dan falsafah dalam bermacam-macam ilmu itu dan anda terangkan bahwa keduanya itu tercela atau terpuji?".

Ketahuilah, bahwa hasil yang dilengkapi padanya ilmu kalam, ialah dalil-dalil yang bermanfa'at. Maka Al-Qur-an dan hadits itu melengkapi padanya. Yang di luar dari Al-Qur-an dan Sunnah, maka adakalanya pertengkaran yang tercela dan ini termasuk perbuatan bid'ah, yang akan dijelaskan nanti. Dan adakalanya permusuhan yang menyangkut dengan partai-partai yang berlawanan. Dan merentang panjang dengan mengambil kata-kata, yang kebanyakannya batil dan keliru, dipandang buruk oleh pribadi yang baik dan ditolak oleh telinga yang sehat. Dan sebahagiannya lagi campuran pada yang tak ada hubungannya dengan agama. Bahkan tak dikenal pada masa pertama dari agama.

Dan adalah turut campur padanya dengan keseluruhan termasuk bid'ah. Tetapi sekarang, hukumnya telah berubah. Karena telah muncul bid'ah yang menyeleweng dari kehendak Al-Qur-an dan Sunnah. Dan telah tampil suatu golongan yang mencampuradukkan barang yang tak jelas. Lalu mereka menyusun kata-kata yang tersusun, sehingga yang ditakuti itu, memperoleh keizinan karena terpaksa. Bahkan telah menjadi sebagian dari fardlu kifayah.Yaitu kadar yang dihadapi oleh pembuat bid'ah, apabila bermaksud menyerukan orang kepada bid'ah.Dan yang demikian kepada batas yang tertentu yang tertentu, akan kami sebutkan nanti pada bab yang akan datang, insya Allah Ta'ala.


Adapun falsafah, maka tidaklah ia suatu ilmu yang berdiri sendiri. Tetapi terdiri dari empat bahagian :

A.  ilmu ukur dan ilmu berhitung. Keduanya mubah (dibolehkan) sebagaimana telah diterangkan. Dan tidak dilarang kedua ilmu itu, kecuali orang yang ditakuti akan melampaui kepada ilmu yang tercela. Kebanyakan orang yang bergiat dalam lapangan ilmu yang dua tadi, lalu keluar kepada bid 'ah. Dari itu orang yang lemah, harus dijaga dari kedua ilmu tadi, bukan karena'ain (diri) keduanya, sebagaimana dijaga anak kecil dari tepi sungai, karena takut jatuh ke dalam sungai. Dan sebagaimana dijaga orang baru masuk Islam,daripada bercampur-baur dengan orang-orang kafir. Karena ditakuti mem- bahayakan kepadanya. Sedang orang yang kuat, tak akan tertarik kepada bercampur dengan mereka.

B.
ilmu mantiq (ilmu logika), yaitu membahas cara membuat dalil dan syarat-syaratnya, membuat batas dalil dan syaratnya. Dan keduanya itu masuk dalam ilmu kalam.

C.
ilmu keTuhanan. Ilahiyyat Yaitu membahas tentang dzat Allah Ta'ala dan sifatNya. Ini termasuk juga dalam ilmu kalam.

D. Ilmu Alam


Para filosuf tidak menyendiri mengenai ilmu keTuhanan dengan bentuk suatu ilmu yang lain. Tetapi mereka menyendiri dengan bentuk aliran-aliran (madzhab-madzhab). Sebahagian dari padanya adalah kufur dan sebahagian lagi adalah bid'ah. Sebagaimana aliran Mu'tazilahpun tidaklah merupakan suatu ilmu yang berdiri sendiri. Tetapi penganut-penganutnya adalah suatu golongan dari ulama mutakallimin (ulama ilmu kalam). Dan ahli pembahasan dan penyelidikan itu, menyendiri dengan madzhab-madzhab yang batil. Maka seperti itu pulalah filosuf-filosuf. Keempat ilmu alam. Sebahagian daripadanya menyalahi syara' dan agama benar. Itu adalah kebodohan, bukan ilmu pengetahuan, sehingga dimasukkan dalam bahagian-bahagian ilmu.Sebahagian lagi pembahasan, tentang sifat-sifat jizim (benda yang bertubuh) dan kegunaannya, cara berubah dan bertukar bentuknya.

Dan itu menyerupai dengan pandangan para dokter. Bedanya, dokter itu memperhatikan pada tubuh manusia khususnya, dari segi ia sakit dan sehat. Sedang para ahli ilmu alam itu memperhatikan pada seluruh benda yang bertubuh (al-ajsam), dari segi ia berubah dan bergerak.

Tetapi ilmu kedokteran mempunyai kelebihan dari ilmu alam. Yaitu ilmu alam itu memerlukan kepada ilmu kedokteran. Dan ilmu para ahli ilmu alam itu, tidak diperlukan kepadanya.Jadi, ilmu kalam itu termasuk dalam jumlah usaha yang wajib secara kifayah, untuk menjaga hati orang awwam, dari pengkhayalan ahli bid'ah. Yang demikian itu terjadi, dengan terjadinya bid'ah, sebagaimana datangnya keperluan manusia menyewa pengawal dalam perjalanan hajji, dengan adanya kedzaliman dan perampokan di jalan yang dilakukan orang Arab. Kalau orang Arab itu telah meninggalkan permusuhan, maka tidaklah menyewa pengawal itu menjadi syarat dalam perjalanan hajji.

Maka karena itulah, kalau tukang bid'ah itu telah meninggalkan perkataan yang sia-sia, maka tak perlu lagi menambah dari apa yang ada pada masa shahabat Nabi ra.

Maka ahli ilmu kalam hendaklah mengetahui akan batasnya dalam agama. Dan kedudukan ilmu kalam dalam agama, sebagai kedudukan pengawal dalam perjalanan hajji. Apabila pengawal itu tidak melakukan pengawalan, niscaya dia tidak termasuk dalam jumlah orang hajji. Dan ahli ilmu kalam apabila tidak melakukan tugasnya untuk berdebat & mempertahankan pendirian, tidak menjalani jalan akhirat dan tidak bekerja mendidik dan memperbaiki hati, maka tidaklah sekali-kali dia tergolong dalam jumlah ulama agama. Dan tidaklah pada ahli ilmu kalam itu agama, selain aqidah yang bersekutu padanya, orang kebanyakan yang lain. 'Aqidah itu termasuk dalam golongan amal perbuatan dhahir dari hati dan lisan. Dan bedanya ahli ilmu kalam dari orang awwam, ialah dengan perbuatan berdebat dan penjagaan.

Adapun mengenal Allah Ta'ala, sifat dan af'al-Nya serta sekalian yang telah kami isyaratkan dalam ilmu mukasyafah, maka tidaklah diperoleh dari ilmu kalam. Malah hampir adalah ilmu kalam itu menjadi hijab dan penghalang. Dan sesungguhnya, sampai kepadanya, ialah dengan mujahadah (bersungguh-sungguh hati) yang dijadikan oleh Allah sebagai mukaddimah bagi petunjuk, dengan firman-Nya :

وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ

Artinya :"Mereka yang bersungguh-sungguh pada Kami, maka akan Kami tunjuki mereka akan jalan Kami dan sesungguhnya Allah beserta orang yang berbuat baik ". (Al-Ankabut, ayat 69).

Jika
saya berkata, bahwa aku telah berulang kali mengatakan akan batas tugas ahli ilmu kalam, kepada menjaga 'aqidah orang awwam dari gangguan pembuat bid'ah sebagaimana batas tugas pengawal, ialah menjaga pakaian jama'ah hajji dari gangguan orang Arab dan berulang-kali aku mengatakan akan batas tugas ahli fiqih, ialah menjaga undang-undang (qanun), yang dapat mencegah penguasa, kejahatan sebahagian musuh dari sebahagian yang lain.

Ini dua tingkat yang menurun, dengan menyandarkan kepada ilmu agama. Dan ulama ummat yang terkenal dengan keutamaan, adalah mereka, para ulama fiqih dan ulama kalam. Merekalah makhluk yang utama pada sisi Allah Ta'ala. Maka bagaimanakah menurunnya derajat mereka kepada kedudukan yang rendah itu, dengan menyandarkan kepada ilmu agama?

Maka ketahuilah, bahwa orang yang mengenal kebenaran dengan orang-orang adalah orang yang heran dalam keheranan kesesatan. Dari itu kenalilah kebenaran, niscaya engkau akan mengenai ahli kebenaran itu, kalau engkau berjalan menuju jalan kebenaran. Jika engkau padakan dengan taqlid dan melihat kepada yang termasyhur dari tingkat-tingkat keutamaan diantara manusia, maka janganlah engkau melupakan para shahabat Nabi صلى الله عليه وسلم dan ketinggian kedudukannya. Telah sepakat mereka, yang telah aku bentangkan, dengan menyebutkan mereka dari para ulama fiqih dan ilmu kalam, atas terkemukanya para shahabat itu. Dan sesungguhnya tidak terdapat tujuan pribadi mereka pada agama. Dan tidak dihancurkan debu jejak mereka. Dan tidaklah terkemuka mereka dengan ilmu kalam dan fiqih, akan tetapi dengan ilmu akhirat dan jalan menuju kepadanya.

ما فضل أبو بكر رضي الله عنه الناس بكثرة صيام ولا صلاة ولا بكثرة رواية ولا فتوى و
لا كلام ولكن بشيء وقر في صدره
Tidaklah Abu Bakar ra. melebihi manusia lain lantaran banyak puasa, shalat, banyak meriwayatkan hadits, fatwa dan kata-kata. Tetapi kelebihannya adalah karena sesuatu yang mulia di dalam dadanya, sebagaimana diakui oleh Nabi saw. Sendiri. (Dirawikan At-Tirmidzi dari Abi Bakar bin Abdullah Al-Maini dan kata Al-lraqi, aku tidak mendapatinya marfu')

Dari itu hendaklah engkau berusaha mencari rahasia itu! Itulah jauhar yang bemilai dan mutiaxa yang tersimpan rapi. Tinggalkanlah akan apa yang bersesuaian engkau dengan kebanyakan manusia terhadap hal itu, terhadap pengagungan dan penghormatannya. Karena sebab-sebab dan penarik-penarik, yang akan panjang perinciannya.

Rasulullah صلى الله عليه وسلم telah berpulang dengan meninggalkan beribu-ribu orang shahabat ra. Semuanya ulama billah. Mereka dipuji oleh Rasulullah صلى الله عليه وسلم Tak ada seorangpun dari mereka yang tahu dengan baik tentang ilmu kalam. Dan tidak menegakkan dirinya menjadi juru fatwa, kecuali beberapa belas orang saja. Diantaranya ialah : Ibnu Umar ra.

Apabila Ibnu Umar ra. dimintakan fatwanya, lalu ia menjawab kepada peminta itu : "Pergilah kepada amir Anu yang bertanggung jawab segala urusan manusia dan letakkanlah dipundaknya". Kata- kata itu menunjukkan bahwa mengeluarkan fatwa mengenai persoalan-persoalan dan hukum-hukum, adalah termasuk mengikuti kekuasaan dan pemerintahan.

Ketika Umar ra. wafat, maka berkata Ibnu Mas'ud : "Telah meninggal sembilan persepuluh (9/10) ilmu".
Lalu orang bertanya kepadanya : "Mengapakah anda berkata demikian, padahal di tengah-tengah kita masih banyak shahabat?" Ibnu Mas'ud menjawab : "Aku tidak maksudkan ilmu fatwa dan hukum. Sesungguhnya aku maksudkan ilmu tentang Allah Ta'ala. Adakah anda berpendapat bahwa maksud Ibnu Mas'ud itu ilmu kalam dan ilmu berdebat? Kalau begitu mengapa anda tidak berlomba-lomba mempelajari ilmu tadi yang hilang sembilan persepuluh dari padanya, dengan wafatnya Umar ra. ? Dan Umarlah yang menutup pintu ilmu kalam dan pertengkaran dan memukul Shabigh bin 'Isi dengan cemeti, tatkala memajukan suatu pertanyaan kepadanya tentang bertentangan dua ayat dalam Kitabullah (Al-Qur-an) dan membekotinya serta menyuruh orang'banyak membekotinya (tidak bercakap-cakap dengan dia).

Adapun kata anda bahwa yang termasyhur dari ahli ilmu, ialah ahli ilmu fiqih dan ahli ilmu kalam, maka ketahuilah bahwa kelebihan yang diperoleh mereka pada sisi Allah itu adalah satu hal. Dan kemasyhuran yang diperolehnya pada manusia itu satu hal yang lain.Sesungguhnya kemasyhuran Abu Bakar ra. adalah karena dia khafilah. Sedang kelebihan yang diperolehnya adalah karena suatu sirr (rahasia) yang mulia di dalam hatinya. Kemasyhuran
an Umar ra. adalah disebabkan siasah (politik). Dan kelebihannya adalah disebabkan ilmu mengenai Allah, yang mati sembilan per- sepuluh dari padanya, dengan kematiannya. Dan disebabkan maksudnya mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala dalam pemerintahan,keadilan dan kasih-sayangnya kepada makhluk Allah.

Dan itu adalah keadaan bathin dalam rahasia dirinya. Adapun segala perbuatan dhahiriahnya yang lain, maka tergambar timbulnya dari mencari kemegahan, nama, ingin terkenal dan gemar pada kemas- huran itu. Maka adalah kemasyhuran itu, pada yang membinasakan. Dan kelebihan itu, mengenai hal rahasia yang tidak dilihat oleh seorang manusiapun.

Maka para ahli ilmu fiqih dan ilmu kalam, adalah seperti khaifah, kadli (hakim) dan ulama. Mereka itu terbagi-bagi. Ada diantaranya yang dikehendaki oleh Allah ta'ala dengan ilmunya, fatwanya dan pertahanannya akan Sunnah Nabi. Dan ia tidak mencari dengan yang demikian itu, keriaan dan kemasyhuran nama. Merekalah yang memperoleh kerelaan Allah. Dan kelebihan mereka pada sisiNya, karena telah berbuat sepanjang ilmu mereka. Dan karena kehendak mereka akan wajah Allah dengan fatwa dan pandangannya.


Tiap-tiap ilmu ada amal perbuatannya. Yaitu perbuatan yang diusahakan. Dan tidaklah tiap-tiap amal perbuatan itu bernama ilmu. Seorang tabib (dokter) sanggup mendekatkan dirinya kepada Allah Ta'ala dengan ilmunya. Maka ia memperoleh pahala atas ilmunya itu dari segi, bahwa ia berbuat karena Allah swt. Sultan (penguasa) menjadi perantaraan antara sesama makhluk Allah. Maka ia memperoleh kerelaan dan pahala daripada Allah swt. Tidak dari segi pertanggung-jawabannya dengan ilmu agama, akan tetapi dari segi ia mengikuti perbuatan, yang maksudnya, mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala dengan ilmunya.

Bahagian-bahagian yang mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala itu, tiga :

1. I
lmu semata-mata, yaitu ilmu Mukasyafah.
2.
Amal semata-mata. yaitu seperti, keadilan bagi seorang raja dan perhatiannya akan kepentingan rakyat.
3.
Dan yang tersusun dari amal dan ilmu. Yaitu : ilmu jalan ke akhirat. Yang empunya ilmu tersebut , adalah sebagian dari ulama dan orang-orang yang beramal. Maka perhatikanlah kepada dirimu sendiri! Adakah engkau pada hari qiamat nanti, dalam golongan ulama Allah atau yang beramal pada jalan Allah atau dalam golongan kedua-duanya? Maka jadikanlah bahagianmu bersama kedua golongan itu Maka inilah yang lebih penting kepadamu daripada turut-turutan, untuk semata-mata kemasyhuran, seperti kata orang :
"Ambillah apa yang engkau lihat,
tinggalkanlah sesuatu yang didengar.
Untuk mengetahui matahari terbit, engkau memerlukan bin tang Zuhal"


Akan kami nukilkan dari riwayat hidup ulama-ulama fiqih terdahulu, di mana anda akan mengetahui nanti, bahwa orang-orang yang menganut madzhab mereka, telah berbuat dhalim terhadap mereka. Dan menjadi musuh terbesar dari ulama-uiama itu pada hari qiamat.

Para ulama yang terdahulu itu tak bermaksud dengan ilmunya, selain wajah Allah Ta'ala. Dari hal ikhwal mereka, dapat dipersaksikan, apa yang menjadi tanda-tanda ulama akhirat, sebagaimana akan diterangkan nanti pada Bab Tanda-tanda Ulama Akhirat. Mereka tidaklah semata-mata untuk ilmu fiqih, tetapi mereka berbuat dan memperhatikan akan ilmu yang berhubungan dengan hati. Bahkan mereka telah dipalingkan dari mengajar dan mengarang, oleh apa yang telah memalingkan para shahabat dahulu, dari mengarang dan mengajari fiqih. Padahal mereka itu adalah ulama fiqih yang berdiri sendiri dengan ilmu fatwa, Yang memalingkan dan yang mengajak itu diyakini dan tak ada perlunya disebutkan di sini.

Sekarang akan kami sebutkan kata-kata ulama fiqih Islam, di mana akan anda ketahui bahwa apa yang kami sebutkan itu, tidaklah mengecam mereka. Tetapi, adalah kecaman kepada orang-orang yang menyatakan dirinya mengikuti dan menganut madzhab mereka. Karena orang itu, menyalahi dalam perbuatan dan perjalanan dengan para ulama fiqih itu.

Adapun ulama fiqih yang menjadi pemimpin ilmu fiqih dan pahlawan ummat, yakni mereka yang banyak pengikutnya pada madzhab-madzhab itu, adalah lima, yaitu :

A.   
Asy-Syafi'i,
B.   
Malik,
C.   
Ahmad bin Hanbal,
D. 
Abu Hanifah dan
E.   
Sufyan Ats-Tsuri
Rahmat Allah kiranya kepada mereka sekalian. Masing-masing mereka adalah 'abid (kuat beribadah), zakid. (tidak terpengaruh oleh dunia), 'alim dengan semua ilmu akhirat, paham akan kepentingan ummat di dunia dan menghendaki dengan fiqihnya itu, akan wajah Allah Ta 'ala.

Ini lima perkara, di mana yang diikuti oleh ulama fiqih sekarang dari keseluruhannya, hanya satu perkara saja. Yaitu : memberi tenaga dan bersangatan membuat fiqih itu bercabang-cabang. Karena yang empat perkara itu, tidaklah layak melainkan untuk akhirat. Dan yang satu perkara itu adalah untuk dunia dan akhirat. Jikalau dimaksudkan dengan dia itu akhirat, maka sedikit- lah kepentingannya untuk dunia.

Ulama-ulama fiqih itu memberi tenaga dan mendakwakan dirinya serupa dengan imam-imam besar itu. Alangkah janggalnya, membandingkan malaikat dengan tukang-tukang besi'..Marilah sekarang kami bentangkan hal-ikhwal mereka, yang menunjukkan kepada empat perkara tadi. Karena pengetahuan mereka tentang fiiqh itu, terang.
Adapun Imam Asy-Syafi'i ra., maka yang menunjukkan ia seorang 'abid adalah riwayat yang menerangkan bahwa ia membagi malam, tiga bahagian : sepertiga untuk ilmu, sepertiga untuk ibadah dan sepertiga lagi untuk tidur.

Berkata Ar-Rabi' : "Adalah Imam Asy-Syafi'i ra. mengkhatamkan (menamatkan bacaan) Al-Quran dalam bulan Ramadlan, enam puluh kali. Semuanya itu dalam shalat.Al-Buaithi salah seorang shahabatnya, mengkhatamkan Al-Quran dalam bulan Ramadlan, tiap-tiap hari sekali.

Berkata AI-Hasan Al-Karabisi : "Aku bermalam bersama Imam Asy-Syafi'i bukan satu malam. Dia melakukan shalat hampir sepertiga malam. Tidak aku lihat dia melebihkan dari lima puluh ayat. Apabila dia perbanyak maka sampai seratus ayat. Apabila ia membaca ayat rahmat lalu berdo'a kepada Allah Ta'ala untuk dirinya sendiri dan untuk sekalian kaum muslimin dan mu'minin. Dan apabila ia membaca ayat 'azab, lalu memohonkan perlindungan dan kelepasan daripadanya untuk dirinya dan untuk orang mu'min. Seakan-akan ia mengumpulkan harap dan bersama dengan takut.

Lihatlah, betapa dibuktikan oleh kependekan bacaannya atas 50 ayat, kepada melaut dan mendalam pemahamannya akan rahasia yang terkandung di dalam Al-Quran.
Imam Asy-Syafi'i ra. pernah berkata : "Aku tidak pernah kenyang selama 16 tahun. Karena kekenyangan itu memberatkan tubuh, mengesatkan hati, menghilangkan cerdik, menarikkan tidur dan melemahkan orang yang kenyang itu dari beribadah".

Maka lihatlah kepada hikmahnya pada menyebutkan bahaya-bahaya kekenyangan! Kemudian mengenai kesungguhannya beribadah, karena ia meninggalkan kekenyangan itu karena ibadah. Dan pundak beribadah itu, ialah menyedikitkan makan.
Berkata Imam Asy-Syafi'i ra. lagi : "Tidak pernah aku bersumpah dengan nama Allah, baik dalam hal yang benar apalagi bohong".Lihatlah betapa hormat dan tunduknya kepada Allah Ta'ala dan dibuktikan oleh demikian atas pengetahuannya dengan kebesaran Allah swt.!.

Ditanyakan Imam Asy-Syafi'i ra. tentang suatu masalah, maka ia diam. Ketika ditanyakan lagi". Mengapa tuan tidak menjawab? Kiranya Allah merahmati tuan". Maka beliau menjawab : "Aku berpikir, sehingga aku mengetahui, mana yang lebih baik, pada diamku atau jawabku". Lihatlah, betapa diawasinya lidahnya, sedang lidah itu adalah anggota badan yang paling berkuasa bagi ulama fiqih dan paling payah mengekang dan menundukkannya. Dengan itu, jelaslah bahwa ia tidak berkata atau diam kecuali untuk memperoleh keutamaan dan pahala.

Berkata Ahmad bin Yahya bin A1 Wazir: "Pada suatu hari keluarlah Imam Asy-Syafi'i ra. pergi ke pasar lampu, lalu kami ikuti dia dari belakang. Tiba-tiba ada orang yang membodohkan seorang ahli ilmu. Maka Imam Asy-Syafi'i menoleh kepada kami seraya berkata : "Bersihkanlah pendengaranmu dari mendengar kata-kata keji seperti kamu membersihkan lidahmu dari mengucapkannya. Sesungguhnya si pendengar adalah sekutu dari yang berkata. Orang yang lemah pikiran, melihat kepada barang yang sangat buruk di dalam wadahnya. Maka ia berusaha menuangkannya ke dalam wadahmu. Kalau ditolak perkataan orang yang lemah pikiran itu, maka akan berbahagialah yang menolaknya, sebagaimana akan celakalah yang mengatakannya".

Berkata Imam Asy-Syafi'i ra.: "Seorang filosuf menulis surat kepada seorang filosuf. Diantara isinya yaitu : "Engkau telah mendapat ilmu, maka janganlah engkau kotorkan ilmumu itu dengan kegelapan dosa. Nanti engkau akan tinggal dalam kegelapan, pada hari, di mana ahli ilmu bekerja dengan nur ilmunya".
dapun zuhudnya maka berkata Imam Asy-Syafi'i ra. : "Barangsiapa mendakwakan bahwa ia mengumpulkan antara cinta kepada pencipta dunia dalam hati nuraninya,maka dia itu bohong".

Berkata Al-Humaidi : "Imam Asy-Syafi'i ra. pergi ke Yaman bersama beberapa orang pembesar negeri. Lalu ia berangkat ke Makkah dengan membawa uang sepuluh ribu dirham. Di luar kota Makkah dibangunnya suatu tempat tinggal. Maka berdatanganlah manusia berkunjung kepadanya. Dia terus menetap di tempat itu sampai uang itu habis dibagi-bagikannya".

Pada suatu kali, Imam Asy-Syafi'i ra. keluar dari kamar mandi umum, lalu diberikannya uang yang banyak kepada penjaga kamar mandi itu. Pada suatu kali tongkatnya jatuh dari tangannya,lalu tongkat itu diserahkan orang kepadanya. Maka untuk berterima kasih kepada orang itu, lalu Imam Asy-Syafi'i ra. Memberikan uang 50 dinar.
Kemurahan hati Imam Asy-Syafi'i ra. adalah lebih terkenal dari apa yang diceriterakan. Pangkal zuhud ialah kemurahan hati. Karena orang yang mencintai sesuatu benda, akan memegangnya erat-erat. Tidak ingin berpisah daripadanya. Maka tidak mau berpisah dari harta, selain orang yang telah kecillah dunia pada pandangannya.Dan itulah arti zuhud.

Betapa kuat zuhudnya dan sangat takutnya kepada Allah Ta'ala serta kesungguhan kemauannya dengan akhirat, adalah dibuktikan oleh apa yang diriwayatkan bahwa sesungguhnya Sufyan bin 'Uyaynah meriwayatkan suatu hadits tentang sifat yang halus halus, lalu pingsanlah Asy-Syafi'i ra. Maka orang mengatakan kepadanya : Imam Asy-Syafi'i telah wafat. Lalu Sufyan menjawab : "Jika benarlah ia telah wafat maka telah wafatlah orang yang paling utama bagi zamannya". Dan apa yang diriwayatkan Abdullahbin Muhammad Al-Balawi dengan katanya : "Adalah aku & Umar bin Nabatah duduk memperkatakan tentang orang 'abid dan orang zahid. Maka berkata Umar kepadaku : "Belum pernah aku melihat orang yang lebih wara' dan lancar berbicara dari Muhammad bin Idris Asy-Syafi'i ra. Aku, Imam Asy-Syafi'i dan Al-Harits bin Lubaid pergi ke bukit Shafa. Al-Harits adalah murid Ash
- ShaIih Al-Marri. Ia memulai membaca Al-Qur-an. Adalah dia mempunyai suara merdu, lalu membaca ayat ini :

هَذَا يَوْمُ لا يَنْطِقُونَ

 ,وَلا يُؤْذَنُ لَهُمْ فَيَعْتَذِرُونَ
(Haadzaa yaumu laa yanthiquun. Wa laa yu'-dzanu lahum faya'tadziruun).
Artinya :"Inilah hari yang dikala itu mereka tiada dapat berbicara.Dan kepada mereka tiada diberikan keizinan, sehingga mereka dapat memajukan keberatan (pembelaan)". (Al-Mursalat, ayat 35 - 36).

Halaman 78.


Lalu saya
 lihat Imam Asy-Syafi'i ra. berubah warna mukanya, berkerut kulit keningnya,badannya gemetar lalu jatuh tersungkur.Ketika ia sadar kembali,maka ia berkata : "Aku berlindung dengan Engkau ya Allah dari tempat berdirinya orang-orang dusta dan penyelewengan orang-orang lengah. Ya Allah, kepadaMu jua tunduk hati orang-orang 'arifin (orang yang mengenai Allah) dan membungkuk merendahkan diri orang-orang yang rindu kepada Engkau'. Tuhanku! Anugerahilah kepadaku limpah karuniaMu Mudakanlah aku dengan lindunganMu! Ma'afkanlah keteledoranku dengan kemurahanMu!".

Abdullah bin Muhammad Al-Balawi menerangkan : "Kemudian ia pergi dan kamipun pergi. Tatkala aku masuk Bagdad dan Asy-Syafi'i ra. masih di Irak. Maka aku duduk di tepi sungai, mengambil wudlu untuk bershalat. Tiba-tiba lewat disampingku seorang laki-laki, seraya berkata kepadaku : "Ya, saudara! Berwudlulah dengan baik, niscaya Allah memberikan kebaikan kepadamu di dunia dan di akhirat". Lalu aku menoleh, maka tiba-tiba aku dengan orang yang diikuti oleh orang ramai. Maka bergegas-gegaslah aku berwudlu dan mengikutinya dari belakang. Maka ia memandang kepadaku seraya bertanya : "Adakah bagimu keperluan ?".

"Ada!", jawabku. "Ajarilah aku sedikit dari pengetahuan yang dianugerahi Allah kepadamu!".
Maka ia menjawab : "Ketahuilah! Orang yang membenarkan Allah, niscaya terlepas dari bahaya. Orang yang sayang kepada agamaNya, niscaya selamat dari kehinaan. Orang yang zuhud pada dunia, niscaya tetaplah dua matanya memandang pahala dari pada Allah Ta'ala pada hari esok. Apakah aku tambahkan lagi ?".
"Ya!", jawabku.
Lalu ia menyambung : "Orang yang ada padanya tiga perkara, maka sempurnalah imannya : orang yang menegakkan amar ma'ruf terhadap orang lain dan terhadap dirinya, orang yang menjalankan nahi mungkar terhadap orang Iain dan terhadap dirinya dan orang yang menjaga batas-batas yang ditentukan Allah Ta'ala.
Apakah aku tambahkan lagi?".
"Ya!", jawabku.
Maka ia menyambung : "Hendaklah kamu zuhud di dunia dan gemar ke akhirat. Danbenarkanlah akan Allah Ta'ala dalam segala pekeijaanmu, niscaya engkau terlepas serta orang-orang, yang terlepas dari segala mara bahaya". Kemudian ia pergi lalu aku tanyakan, siapakah orang itu ? Maka menjawab orang banyak :
"Itulah Imam Asy-Syafi'i".

Lihatlah Imam Asy-Syafi'i ra. jatuh tersungkur, kemudian perhatikanlah kepada pengajarannya, betapa membuktikan yang demikian itu, kepada kezuhudan dan sangat ketakutannya kepada Allah Ta'ala.
Ketakutan dan kezuhudan ini tidak datang selain karena mengenai Allah 'Azza wa Jalla.
Allah berfirman :
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِ

بَادِهِ الْعُلَمَاءُ
(Iimamaa yakhsyallaaha min 'ibaadihil 'ulamaa-u)

Artinya :"Sesungguhnya yang takut kepada Allah dari hambaNya ialah ulama ". (S. Fathir, ayat 28).

Maka Imam Asy-Syafi'i ra. tidaklah memperoleh ketakutan dan kezuhudan itu, dari ilmu kitab berjual-beli dan sewa-menyewa dan lain-lain kitab fiqih. Tetapi diperolehnya dari ilmu akhirat yang bersumber dari Al-Quran dan Hadits. Karena hukum dari orang-orangterdahulu dan yang kemudian, tersimpan pada keduanya.

Adapun tentang ke'alimannya, mengetahui segala rahasia hati dan ilmu-ilmu akhirat, maka anda dapat mengetahuinya dari kata-kata hikmah yang berasal daripadanya.Menurut riwayat, pernah orang bertanya kepada Imam Asy-Syafi'i ra. tentang ria, maka ia menjawab dengan tegas : "Ria adalah suatu fitnah yang diikatkan oleh hawa nafsu untuk mendindingi penglihatan mata hati ulama-ulama. Lalu mereka melihat kepada ria itu, dengan jahatnya pilihan jiwa. Maka binasalah segala
amalannya".

Berkata Imam Asy-Syafi'i ra. : "Apabila engkau takuti timbul 'ujub pada amalanmu, maka pandanglah kepada rela Tuhan yang engkau cari, pada pahala yang engkau gemari, pada siksa manapun yang engkau takuti, pada sehat yang engkau syukuri dan pada bala yang engkau ingati. Apabila engkau renungkan salah satu dari perkara-perkara tadi maka kecillah rasanya pada matamu amalanmu itu".Lihatlah bagaimana Imam Asy-Syafi'i ra. menerangkan hakikat ria dan cara mengobati 'ujub. Keduanya itu adalah bahaya besar bagi hati.

Berkata Imam Asy-Syafi'i ra. : ''Barangsiapa tiada menjaga dirinya maka tak bergunalah ilmunya".
Katanya lagi : "Barangsiapa ta'at kepada Allah Ta'ala dengan ilmu, maka bermanfa'atlah bathinnya". Katanya lagi: "Tiada seorangpun melainkan mempunyai yang dikasihi dan yang dimarahi. Apabila ada seperti demikian, maka hendaklah engkau bersama golonganorang yang ta'at kepada Allah Ta'ala".

Diceriterakan bahwa Abdul Kadir bin Abdul Aziz adalah seorang salih yang wara'. Dan ia bertanya kepada Imam Asy-Syafi'i ra. tentang masalah wara' itu. Dan Imam Asy-Syafi'i amat suka menerima kedatangannya karena wara'nya. Maka pada suatu hari bertanyalah ia kepada Imam Asy-Syafi'i ra. "Manakah yang lebih utama : sabar atau diuji atau diberi keteguhan hati?".

Maka menjawab Imam Asy-Syafi'i ra. : "Diberi keteguhan hati adalah derajat Nabi-Nabi. Dan tak ada keteguhan hati itu selain sesudah diuji. Apabila diuji maka bersabar. Apabila sudah bersabar maka teguhlah hati. Tidaklah engkau lihat, bahwa Allah Ta'ala menguji Nabi Ibrahim as., kemudian la memberikannya ketetapan hati? Ia menguji Nabi Musa as., kemudian Ia memberikannya ketetapan hati. Ia menguji Nabi Ayub as., kemudian Ia memberikannya ketetapan hati. Dan ia menguji Nabi Sulkiman as., kemudian Ia memberikannya ketetapan hati dan menganugerahinya kerajaan.

Maka ketetapan hati itu adalah derajat yang paling utama?
Berfirman Allah Ta'ala :
وَكَذَلِكَ مَكَّنَّا لِيُوسُفَ فِي الأرْضِ

Wa kadzaalika makkannaa li-yuusufa fil ardli.
Artinya:"Dan begitulah Kami teguhkan kedudukan Yusufdimuka bumi".(Yusuf, ayat 21).

Nabi Ayub as. sesudah menghadapi ujian besar, barulah diberi keteguhan hati.
Berfirman Allah Ta'ala : '
وَآتَيْنَاهُ أَهْلَهُ وَمِثْلَهُمْ مَعَهُمْ
(Wa aatainaahu ahlahuu wa mitslahum ma'ahum.).
Artinya :"Kami berikan kepadanya pengikut-pengikutnya dan tambahannya lagi sebanyak itu pula".
(S. Al-Ambiya', ayat 84).

Kata-kata tersebut dari Imam Asy-Syafi'i ra. menunjukkan betapa melaut pahamnya akan rahasia yang terkandung dalam Al-Qur-an dan penglihatannya tentang kedudukan orang-orang yang menuju kepada Allah Ta'ala, baik Nabi-Nabi atau Wali-Wali. Semuanya itu
adalah dari ilmu akhirat.

Ditanya kepada Imam Asy-Syafi'i ra. : "Bilakah seorang itu dipandang 'alim?".
Ia menjawab : "Apabila ia yakin pada sesuatu ilmu lalu diajarinya ilmu itu. Kemudian ia menempuh ilmu-ilmu yang lain, maka dilihatnya, mana yang belum diperolehnya. Ketika itu, barulah dia seorang 'alim".

Pernah ditanyakan orang kepada Jalinus : "Sesungguhnya tuan menyuruh buat bermacam-macam obat untuk satu penyakit".Menjawab Jalinus : "Yang dimaksudkan dari obat-obat itu adalah satu. Dan dimasukkan yang lain ke dalamnya, adalah supaya tetap ketajamannya, karena kalau masing-masing sendiriannya itu membunuh".

Contoh tadi dan lain-lainnya yang tidak terkira banyaknya, menunjukkan ketinggian derajat Imam Asy-Syafi'i tentang mengenai Allah Ta'ala dan ilmu akhirat.
Adapun maksudnya dengan ilmu fiqih dan perdebatan di dalamnya, adalah semata-mata wajah Allah Ta'ala. Dalil untuk itu adalah riwayat yang menerangkan bahwa Imam Asy-Syafi'i ra. pernah berkata:"Aku ingin manusia mengambil manfa'at dari ilmu ini dan ilmu-ilmu Iain yang ada padaku, meskipun sedikit".

Maka lihatlah betapa Imam Asy-Syafi'i ra. Memperhatikan kepada bahaya ilmu dan mencari nama baginya. Dan bagaimana ia membersihkan hati dari pada berpaling kepadanya, yang semata- mata niatnya adalah karena wajah Allah Ta'ala. Asy-Syafi'i ra,berkata : "Tidaklah sekali-kali aku bertukar pikiran dengan seseorang, dengan tujuan bahwa aku lebih suka ia salah".

Katanya lagi : "Tidaklah sekali-kali aku berkata dengan seseorang, selain aku menyukai
supaya dia mendapat taufiq dan kebenaran, pertolongan dan pimpinan daripada Allah Ta'ala serta pemeliharaan. Dan tidaklah sekali-kali aku berbicara dengan seseorang, selain perhatian ku supaya kebenaran diterangkan Allah dengan lidahku atau lidahnya"

Berkata lagi Imam Asy-Syafi'i ra. : "Tidaklah aku kemukakan kebenaran dan keterangan kepada seseorang, lalu diterimanya daripadaku, melainkan aku takut kepadanya dan aku percaya akan kasih sayangnya. Sebaliknya, kalau orang menyombong diri dengan aku terhadap kebenaran dan menolak keterangan maka jatuhlah orang itu dari pandanganku dan aku menolak berhadapan dengan dia".

Inilah tanda-tanda, yang menunjukkan atas kehendak Allah Ta'ala dengan ilmu fiqih dan perdebatan (munadlarah) itu. Maka lihatlah betapa Imam Asy-Syafi'i ra. dituruti orang dari jumlah perkara yang lima itu, kepada satu perkara saja. Kemudian, bagaimana pula orang-orang itu menyalahinya dalam satu perkara tadi.

Dan karena inilah berkata Abu Tsaur ra. : "Tak pernah aku dan orangorang lain melihat seperti Imam Asy-Syafi'i ra.". Berkata Imam Ahmad bin Hanbal ra. : "Tak pemah aku melakukan shalat selama empat puluh tahun, yang tidak aku berdo'a kepada Imam Asy-Syafi'i ra.".

Lihatlah betapa adanya keinsyafan dari orang yang mendo'a dan betapa pula derajat orang yang dido'akan. Cobalah bandingkan dengan Imam Asy-Syafi'i ra. akan teman-teman dan tokoh-tokoh ulama pada masa ini. Dan apa yang terjadi dikalangan mereka yang merupakan pendendaman dan permusuhan. Supaya engkau tahu keteledoran mereka mengakui mengikuti ulama-ulama besar itu.Karena banyaknya do'a Imam Ahmad bin Hanbal kepada Imam Asy-Syafi'i ra. lalu bertanyalah anaknya : "Orang mana Asy-Syafi'i itu sampai ayah mendo'a semua do'a ini?".Maka menjawab Ahmad bin Hanbal : "Hai anakku! Imam Asy-Syafi'i itu adalah seumpama matahari bagi dunia dan kesehatan bagi manusia".
Lihatlah, adakah bagi dua perumpamaan tadi, orang yang dapat menggantikannya?

Imam Ahmad pernah berkata : "Tiada seorangpun menyentuh botol tinta dengan tangannya, melainkan ada jasa Imam Asy-Syafi'i padanya".

Yahya bin Sa'id Al-Qattan
berkata "Tidak pernah aku bershalat selama empat puluh tahun, yang tidak aku berdo'a di dalamnya kepada Imam Asy-Syafi'i.-Karena Allah 'Azza wa Jalla telah membuka ilmu baginya dan memberinya taufiq kepada jalan yang benar".

Kiranya kita cukupkan sekian mengenai hal-ikhwal Imam Asy- Syafi'i itu, karena banyaknya tidak terhingga. Sebahagian besar dari perjalanan hidup Imam Asy-Syafi'i ini, kami salin dari kitab biografinya, karangan Syekh Nasar bin Ibrahim Al-Muqaddasi ra. Kiranya Allah merelai Imam Asy-Syafi'i dan seluruh kaum muslim!.

Adapun Imam Malik ra. maka beliaupun berpakaian dengan yang lima perkara itu. Pernah orang bertanya kepadanya tentang menuntut ilmu : "Apakah yang hendak tuan katakan tentang menuntut ilmu?". Lalu menjawab Imam Malik ra. : "Bagus, baik! Tetapi perhatikanlah apa yang harus engkau kerjakan dari pagl sampai petang, maka perlukanlah pekerjaan itu!".

Imam Malik ra. sangat memuliakan ilmu agama. Sehingga apabila ia bermaksud meriwayatkan hadits, maka lebih dahulu ia mengambil wudlu' dan duduk dihadapan tempat duduknya dan menyisirkan janggutnya, memakai bau-bauan serta duduk dengan tenang dan bersikap. Maka barulah beliau meriwayatkan hadits itu".

Karena caranya yang demikian, maka orang bertanya kepadanya, lalu ia menjawab : "Aku suka membesarkan hadits Rasulullah صلى الله عليه وسلم '

Berkata Imam Malik ra. : "Ilmu itu nur, yang diberikan oleh Allah menurut kehendakNya. Dan tidaklah ilmu itu dengan banyak cerita'

Kehormatan dan kemuliaan yang diberikan Imam Malik itu, menunjukkan kepada ketinggian mutu pengetahuannya tentang kebesaranAllah Ta'ala,

Tentang tujuan Imam Malik ra. dengan ilmunya itu akan wajah Allah Ta'ala, dibuktikan oleh ucapannya : "Bertengkar dalam agama, tiada gunanya sama sekali".

Dan dibuktikan lagi dengan ucapan Imam Asy-Syafi'i ra. : "Saya melihat Imam Malik ra . ketika dimajukan kepadanya empat puluh delapan masalah, maka ia menjawab mengenai tiga puluh dua dari masalah -masalah itu ."Saya tidak tahu".Orang yang bertujuan dengan ilmunya bukan wajah Allah Ta'ala,  tentu tidak bersedia mengaku tidak tahu.
Dari itu, berkata ImamAsy-Syafi'i ra. : "Apabila disebut nama ulama, maka Malik adalah bintangnya yang cemerlang. Dan tidak ada seorangpun yang lebih banyak jasanya kepadaku, dari Imam Malik".

Menurut riwayat, Khalifah Abu Ja'far Al-Mansur melarang Imam Malik daripada meriwayatkan hadits mengenai talak dari orang yang dipaksakan. Kemudian Abu Ja'far mengancam orang yang menanyakan itu pada Imam Malik. Lalu Imam Malik menyambut ancaman tadi dengan meriwayatkan di muka umum hadits Nabi saw. yang menerangkan bahwa tidak jatuh talak orang yang dipaksakan.Maka khalifah menyuruh pukul Imam Malik dengan cemeti. Tetapi beliau terus meriwayatkan hadits itu.

Imam Malik ra. berkata : "Tiadalah seseorang yang benar dalam pembicaraannya dan tidak membohong, melainkan akal pikirannya mendapat hiasan dan tidak akan kena bencana dan pikiran-pikiran khurafat pada hari tuanya".

Tentang zuhudnya Imam Malik menghadapi dunia, dibuktikan oleh riwayat bahwa khalifah Al-Mahdi bertanya kepada Imam Malik:"Adakah tuan mempunyai rumah?"."Tidak ada", jawab Imam Malik. "Tetapi dapat aku terangkan bahwa pernah mendengar Rabi'ah bin Abi Abdir Rahman berkata :"Bangsa seseorang ditunjukkan oleh rumahnya". Khalifah Harunur Rasyid bertanya kepada Imam Malik : "Adakah tuan mempunyai rumah?". "Tidak ada!", jawabnya."Lalu Harunur Rasyid menganugerahkan uang tiga ribu dinar kepada Imam Malik, seraya mengatakan : "Belilah rumah dengan uang ini!".Imam Malik mengambil uang itu, tetapi tidak dibelinya rumah.

Ketika Harunur Rasyid ingin bertambah terkenal, lalu mengatakan kepada Imam Malik ra. "Seyogialah tuan pergi bersama kami. Aku bercita-cita membawa perhatian manusia kepada kitab "Al-Muaththa' " (nama kitab yang dikarang Imam Malik),sebagaimana khalifah Utsman ra. membawa perhatian manusia kepada Al-Qur-an.

Menjawab Imam Malik : "Adapun membawa manusia kepada Kitab Al-Muaththa', maka tiada jalan kepadanya. Karena parashahabat Rasulullah صلى الله عليه وسلم sudah bersebar kesegenap negeri sesudah wafatnya. Lalu mereka memperkatakan hadits. Maka pada tiap-tiap penduduk negeri ada ilmunya. Nabi saw. pernah mengatakan :
صلى الله عليه وسلم :

 
اختلاف أمتي
 
رحمة
(Ikhtilaafu ummatii rahmah).
Artinya :"Perbedaan pendapat ummatku itu adalah suatu rahmat". (Hadits ini dirawikan At-Baihaqi dari Ibnu Abbas dan isnadnya dla'if )

Adapun keluar bersama tuan, maka tiada jalan kepadanya. Nabi صلى الله عليه وسلم pernah bersabda :
( المدينة خير لهم لو كانوا يعلمون )
(Al-madiinatu khairun lahum lau kaanuu yalamuun).
Artinya :"Madinah ini lebih baik bagi mereka kalau mereka mengetahuinya '.' (Dirawikan Al-Bukhari dan Muslim dari Sufyan bin Abi Zuhair.)

Dan lagi Nabi صلى الله عليه وسلم Bersabda :
المدينة تنفي خبثها كما ينفي الكير خبث الحديد
(Al-madiinatu tanfii khabatsahaa kamaa yanfil kiiru khabatsal hadiid).
Artinya :"Madinah itu menghilangkan kotorannya seperti penempaan menghilangkan kotoran besi". (Dirawikan AI-Bukharl dan Muslim dari Abi Hurairah)


Inilah dinarmu, seperti adanya! Kalau kamu mau, maka ambilkanlah!
Dan kalau kamu tak mau, maka tinggalkanlah! Yakni sekiranya engkau memaksakan aku supaya berpisah dengan kota Madinah, maka tidak dapat engkau berbuat demikian kepadaku. Aku tidak dapat memilih dunia dari Madinah Rasulullahصلى الله عليه وسلم
Begitulah zuhudnya Imam Malik ra. pada dunia! Sewaktu dibawa kepadanya harta yang banyak dari beberapa sudut dunia untuk perkembangan ilmunya dan teman-temannya, maka dibagibagikannya uang itu pada jalan kebajikan. Kemurahan hatinya menunjukkan kepada zuhudnya dan sedikit cintanya kepada dunia.

Zuhud sebetulnya bukan ketiadaan harta, tetapi zuhud ialah kosongnya hati dari harta itu. Nabi Sulaiman pun salah seorang yang zuhud dalam pemerintahannya.
Dibuktikan betapa hina pandangan Imam Malik kepada dunia, oleh suatu riwayat dari Imam Asy-Syafi'i, bahwa Imam Asy- Syafi'i menerangkan : "Aku melihat pada pintu tempat tinggal
Imam Malik seekor kuda Khurasan, namanya "Misr". Aku belum pernah melihat kuda secantik itu. Lalu aku mengatakan kepadanya : "Alangkah cantiknya kuda ini!".
Maka beliau menjawab : "Kuda ini hadiahku kepadamu, hai ayahAbdullah!".
Maka aku menjawab : "Biarlah kuda irii untuk tuan hamba, menjadi kuda tunggangan tuan hamba sendiri".
Menyambung Imam Malik : "Aku malu kepada Allah Ta'ala memijakkan tanah dengan kuku kuda, di mana di dalamnya dikuburkan Nabi Allah صلى الله عليه وسلم .".

Lihatlah betapa kemurahan hati Imam Malik dengan menyerahkan semuanya itu sekaligus dan betapa penghormatannya kepada tanah Madinah!. Dibuktikan kepada kehendaknya dengan ilmu itu, akan wajah Allah Ta'ala dan tentang hina pandangannya kepada dunia, oleh riwayat yang menerangkan bahwa Imam Malik pernah berkata : "Aku pernah datang ke tempat Harunur Rasyid. Lalu berkatalah Harunur Rasyid kepadaku : "Wahai Ayah Abdullah! Sayogialah tuan selalu datang kepada kami, sehingga anak-anak kita mendengar kitab Al-Muaththa' langsung dari tuan sendiri". Imam Malik berkata : "Lalu jawabku : "Kiranya Allah menambahkan kemuliaan

Amir penghulu kami. Sesungguhnya ilmu itu adalah seumpama uang keluar dari padamu. Jikalau engkau muliakan, maka mulialah dia dan jika engkau hinakan maka hinalah dia. Ilmu itu didatangi dan tidak mendatangi (Al-'ilmu yu'ta walaa ya'ti)".

Maka menyambung Harunur Rasyid : "Benar tuan! Keluarlah ke masjid supaya tuan mendengar bersama manusia ramai!".

Adapun Imam Abu Hanifah ra. juga seorang 'abid, zahid, 'arif billah,amat takut kepadaNya dan menghendaki wajah Allah dengan ilmunya.Adapun dia itu 'abid, maka dapat diketahui dengan riwayat dari Ibnul Mubarak yang mengatakan : "Imam Abu Hanifah ra.adalah seorang yang berperikemanusiaan dan banyak mengerjakan shalat". Menurut ceritera Hamrnad bin Abi Sulaiman, adalah Imam Abu Hanifah menghidupkan seluruh malamnya dengan ibadah.
Menurut riwayat yang lain, ia menghidupkan setengah malam dengan ibadah.
Pada suatu hari, Imam Abu Hanifah lalu di jalan besar. Lalu orang menunjukkan kepadanya dan ia sedang berjalan kaki, dengan mengatakan kepada orang lain : "Itulah dia, orang yang menghidupkan seluruh malamnya dengan ibadah".

Halaman 85


Maka senantiasalah sesudah itu, ia menghidupkan seluruh malamnya dengan ibadah dan mengatakan : "Aku malu kepada Allah swt. disebutkan tentang ibadahku yang tidak sebenarnya".

Adapun zuhudnya, diriwayatkan dari Ar-Rabi' bin 'Ashim, yang mengatakan : "Aku diutus oleh Yazid bin Umar bin Hubairah.Maka aku datang menjumpai Abu Hanifah. Yazid mau mengangkat Abu Hanifah menjadi pengurus "baital-mal". Ia menolak lalu dipukul 20 kali".
Lihatlah bagaimana ia lari dari pangkat dan bersedia menanggung 'azab sengsara.
Berkata Al-Hakam bin Hisyam At-Tsaqafi "Orang menceriterakan kepadaku di negeri Syam, suatu ceritera tentang Abu Hanifah, bahwa beliau adalah seorang manusia pemegang amanah yang terbesar. Sultan mau mengangkatnya menjadi pemegang kunci gudang kekayaan negara atau memukulnya kalau menolak.

Maka Abu Hanifah memilih siksaan mereka daripada siksaan Allah Ta'ala".

Diriwayatkan bahwa Abu Hanifah disebutkan namanya pada Ibnul Mubarak, lalu Ibnul mubarak menjawab : "Adakah kamu sebutkan seorang laki-laki, yang diberikan kepadanya dunia dengan segala kemewahannya, lalu ia lari daripada kemewahan itu?".
Diriwayatkan dari Muhammad bin Syujja', berasal dari setengah shahabat Abu Hanifah, bahwa ada orang mengatakan kepada Abu Hanifah : "Amirul-mu'minin Abu Ja'far Al-Manshur memerintahkan untuk dianugerahkan kepada tuan, uangsebanyak sepuluh ribu dirham".
Muhammad bin Syujja' mengatakan, bahwa Abu Hanifah tidak bersedia menerima pemberian tersebut. Muhammad bin Syujja' mengatakan : "Ketika sampai pada hari yang diduga uang
itu akan diantarkan kepada Abu Hanifah, maka ia mengerjakan shalat shubuh. Kemudian ia menutup badannya dan tidak berkatakata sepatah katapun".

Maka datanglah utusan Al-Hasan bin Quhthubah membawa wang, lalu masuk ke tempat Abu Hanifah. Dan Abu Hanifah tidak berbicara dengan dia. Lalu berkata sebahagian orang yang hadlir :
"Beliau itu tidak berbicara dengan kita, kecuali sepatah demi sepatah.
Artinya, itulah kebiasaan beliau". Kemudian, maka berkatalah Imam Abu Hanifah : "Letakkanlah uang itu dalam tas kulit ini dan bawalah ke sudut rumah!".

Kemudian, sesudah itu, Abu Hanifah meninggalkan wasiat mengenai harta benda di rumahnya. Dia mengatakan kepada anaknya : "Apabila aku mati kelak dan aku telah kamu kuburkan maka ambillah dirham yang puluhan ribu ini. Dan bawalah kepada Al- Hasan bin Quhthubah dan katakanlah kepadanya : "Ambillah barang simpanan engkau yang engkau simpan pada Abu Hanifah!".

Berkata anak Abu Hanifah : "Maka aku laksanakan wasiat itu".
Lalu berkata Al-Hasan : "Rahmat Allah kepada ayahmu. Sesungguhnya dia adalah orang yang tidak mau sedikitpun mengulur tentang agamanya".

Diriwayatkan, bahwa Imam Abu Hanifah dipanggil untuk diangkat menjadi kadli (hakim), lalu ia menjawab : "Aku tidak layak untuk jabatan itu!".Lalu orang bertanya kepadanya : "Mengapa?".
Abu Hanifah menjawab : "Kalau aku benar, maka aku tak layak untuk itu. Kalau aku bohong, maka pembohong tak layak menjadi kadli!".

Adapun ilmunya dengan jalan akhirat dan jalan urusan agama serta pengetahuannya tentang Allah 'Azza wa Jalla, maka dibuktikan oleh kesangatan takutnya kepada Allah Ta'ala dan zuhudnya terhadap dunia. Berkata Ibnu Juraij : "Telah sampai kepadaku tentang orang negeri Kufahmu yakni Nu'man bin Tsabit (Abu Hanifah) itu, bahwa ia seorang yang sangat takut kepada Allah Ta'ala".

Berkata Syuraik An-Nakha'i "Adalah Abu Hanifah seorang pendi-am, selalu berpikir dan sedikit berbicara dengan manusia".

Inilah diantara tanda-tanda yang tegas, dari ilmu bathin dan bekerja untuk kepentingan agama. Barangsiapa bersifat pendiam dan zuhud, maka telah memperoleh semua ilmu pengetahuan.Demikianlah sekelumit dari perikehidupan tiga imam besar itu.

Adapun Imam Ahmad bin Hanbal ra. dan Sufyan Ats-Tsuri ra. maka pengikut keduanya adalah kurang, bila dibandingkan dengan pengikut imam yang tiga itu. Pengikut Sufyan, adalah kurang bila dibandingkan dengan pengikut Imam Ahmad. Tetapi kemasyhuran dua imam ini, dengan wara' dan zuhud, adalah lebih menon-jol. Seluruh isi kitab ini, penuh dengan ceriteia-ceritera mengenai perbuatan dan perkataan keduanya. Dari itu tidak perlu lagi dipe-rinci sekarang.

Maka lihatlah sekarang tentang perjalanan hidup imam tiga itu!. Dan perhatikanlah bahwa segala keadaan tersebut, perkataan dan perbuatan mereka itu, tentang berpaling dari dunia dan menumpah-kan. seluruh perhatian kepada Allah Ta'ala, adakah dihasilkan oleh semata-mata pengetahuan dengan cabang-cabang fiqih, dari pengetahuan berjual beli, menyewa, dhihar, ila' dan li'an atau dihasilkan oleh sesuatu pengetahuan lain yang lebih tinggi dan lebih mulia dari ilmu fiqih itu? Dan lihatlah kepada mereka yang mendakwakan dirinya pengikut imam-imam itu, apakah mereka benar pada pen-dakwaannya atau tidak?

Sumber Ihya Ulumiddin  sampai halaman 87

\
BAB KE TIGA : Ilmu yang dianggap oleh orang awwam, terpuji dan sebenarnya tidak. Padanya penjelasan segi yang menyebab-kan sebahagian ilmu itu menjadi tercela dan penjelasan penggantian nama-nama ilmu, yaitu : Fiqih, Ilmu, Tauhid, Tadzkir dan Hikmah. Dan penjelasan batas terpuji dan batas tercela dari ilmu-ilmu syari'at.



Mudah-mudahan anda mengatakan bahwa ilmu, ialah mengetahui sesuatu, menurut yang sebenarnya. Dan ilmu itu adalah salah satu daripada sifat Allah Ta'ala. Maka bagaimanakah sesuatu itu menjadi ilmu dan bagaimanakah ia menjadi ilmu yang tercela?

Ketahuilah kiranya, bahwa ilmu itu tidaklah tercela karena ilmu itu sendiri. Tetapi tercelanya adalah pada hak manusia, karena salah satu dari tiga sebab :

Sebab Pertama :
Adalah ilmu itu membawa kepada sesuatu kemelaratan. Baik bagi yang mempunyai ilmu itu sendiri atau bagi orang lain seumpama tercelanya ilmu sihir dan mantera-mantera.


Itu memang sebenarnya, karena diakui oleh Al-Qur-an yang demikian. Dan ilmu itu menjadi sebab yang membawa kepada per-ceraian diantara suami isteri. Rasulullah saw. telah pemah disihir orang dan sampai sakit karenanya Maka malaikat Jibril as. datang menyampaikan peristiwa itu kepada Nabi saw. dan mengambil benda sihir itu dari bawah batu pada dasar sumur.
( Hadits tentang Rasulullah saw. disihir orang, dirawikan Al-Bukhari dan Muslim dari 'Aisyah ra)

Sihir itu adalah semacam keadaan, yang diambil dari pengetahuan dengan khasiat benda-benda, disertai dengan hitungan tentang terbit bintang-bintang. Dari benda-benda itu diperbuat suatu boneka menurut bentuk orang yang disihirkan. Dan diintip suatu
waktu tertentu dari terbit bintang-bintang dan disertai pembacaan kalimat-kalimat yang berasal dari kufur dan keji, yang menyalahi syari'at. Dan dengan kalimat-kalimat itu, sampai kepada meminta tolong kepada setan-setan.

Dari keseluruhan itu, dengan hukum kehendak Allah Ta'ala di luar kebiasaan, terjadilah hal-hal yang luar biasa pada diri orang yang disihirkan.

Dan mengetahui sebab-sebab tersebut dari segi dia itu pengetahuan, tidaklah tercela. Tetapi tidaklah dia itu membawa kebaikan, selain daripada mendatangkan kemelaratan kepada makhluk Tuhan.
Jalan kepada kejahatan adalah kejahatan. Maka itulah sebab-nya, ilmu sihir itu menjadi ilmu yang tercela. Bahkan orang yang mengikuti seorang aulia Allah untuk dibunuhnya, di mana aulia itu sudah bersembunyi daripadanya, pada suatu tempat yang terjamin, apabila orang dzalim menanyakan tempat aulia itu, maka tidak boleh memberitahukannya tetapi wajib berdusta.

Menerangkan tempat persembunyian aulia itu, adalah menunjuk dan memfaedahkan pengetahuan tentang sesuatu, menurut yang sebenarnya. Tetapi itu tercela, sebab membawa kepada kemelaratan.

Sebab Kedua :
Bahwa ilmu itu menurut kebiasaan, memberi melarat kepada yang empunya ilmu itu sendiri, seperti ilmu nujum.
Ilmu nujum itu sendiri tidak tercela, sebab dia terbagi dua :

1. Bahagian hisab. Al-Qur-an sudah menerangkan bahwa perjalanan matahari dan bulan itu dengan hisab.
Berfirman Allah Ta'ala :
الشَّمْسُ وَالْقَمَرُ بِحُسْبَانٍ
(Asy-syamsu wal qamaru bihusbaan). Artinya :"Matahari dan bulan itu beredar menurut hisab (perhitungan).(S. Ar-Rahman, ayat 5)

Dan firman Allah Ta'ala :
وَالْقَمَرَ قَدَّرْنَاهُ مَنَازِلَ حَتَّى عَادَ كَالْعُرْجُونِ الْقَدِيمِ
(Wal qamara qaddarnaahu manaazila hattaa 'aada kal-'urjuunil qadiim).
(Yaasiin, ayat 39).
Artinya :"Kami tentukan bulan itu beberapa tempat tertentu sampai kembali dia seperti mayang yang sudah tua ". (Yaasiin, ayat 39).

2. Hukum-hukum dan hasilnya kembali kepada membuat dalil atas segala kejadiah dengan sebab-musababnya. Yaitu, menyerupai dengan cara dokter membuat dalil dengan detakan jantung kepada apa yang akan terjadi dari penyakit. Yakni mengetahui tempat berlakunya sunnah Allah dan adat kebiasaanNya pada makhlukNya.

Tetapi ilmu tadi dicela agama. Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم:
( إذا ذكر القدر فأمسكوا وإذا ذكرت النجوم فأمسكوا وإذا ذكر أصحابي فأمسكوا )
(Idzaa dzukiral qadaru fa-amsikuu wa idzaa dzukiratin nujuumu fa-amsikuu wa idzaa dzukira ashhaabii fa-amsikuu).
Artinya :"Apabila disebut taqdir, maka peganglah! Apabila disebut bin tang maka peganglah! Dan apabila disebut shahabatku, maka peganglah!". (Dirawikan Ath-Thabrani dari Ibnu Mas'ud, dengan isnad baik.)

Dan bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم :
(أخاف على أمتي بعدي ثلاثا حيف الأئمة والإيمان بالنجوم والتكذيب بالقدر)
(Akhaafu 'alaa ummatii ba'dii tsalaatsan : haiful a-immati wal iimaanu binnujuumi wat-takdziibu bil qadari).

Artinya :"Aku takut atas ummatku sesudahku tiga perkara : kedhaliman imam-imam, percaya kepada bintang-bintang dan pendustaan kepada taqdir. (DirawiKan Ibnu Abdil-Barr dari Abi Muhjan, isnad dla'if )

Berkata Umar bin Al-Khathtbab ra. :
"Pelajarilah dari bintang-bintang itu, apa yang dapat menunjukkan jalan kepadamu didarat dan dilaut, kemudian berpeganglah kepada pengetahuan itu!".

Dilarang pengetahuan tersebut dari tiga segi:
1
. Bahwa ilmu itu memberi melarat kepada kebanyakan orang. Sebab apabila diterangkan kepada mereka bahwa hal-hal itu terjadi adalah akibat perjalanan bintang-bintang, lalu tumbuhlah anggapan dalam hati mereka bahwa bintang-bintang itu dapat memberi bekas. Dan bahwa bintang-bintang itu Tuhan-Tuhan penga-tur, karena dia itu dzat mulia di langit. Dan besarlah kesannya dalam hati, lalu kekallah hati menoleh kepadanya. Dan hati itu melihat kebaikan dan kejahatan itu dilarang atau diharap dari pihak bintang-bintang itu. Lalu terputuslah dari hati ingatan kepada Allah Ta'ala. Orang yang lemah imannya menunjukkan pandangan-nya kepada perantara-perantara. Seorang berilmu yang mendalam, memandang bahwa matahari, bulan dan bintang itu menuruti perin-tah Allah Ta'ala.

Pandangan seorang yang lemah iman, kepada adanya cahaya matahari sesudah terbit, adalah seumpama semut, jika dijadikan baginya akal dan dia berada di atas secarik kertas, lalu memandang kepada kehitaman tulisan yang terus membarii, maka dia beri'tikad bahwa itu perbuatan pena dan tidak meningkat pandangannya kepada memperhatikan anak jari. Kemudian dari jari, kepada tangan, kemudian kepada kemauan yang menggerakkan tangan itu. Kemudian dari tangan kepada penulis itu sendiri yang bertenaga dan berkemauan. Kemudian dari penulis itu kepada Yang Menjadikan tangan, kemampuan dan kemauan.
Kebanyakan pandangan manusia terbatas pada sebab-sebab yang dekat, yang di bawah, terputus dari peningkatan kepada yang me-nyebabkan sebab-sebab itu.
Inilah salah satu sebab pejarangan ilmu nujum.


2. Bahwa keputusan-keputusan ilmu nujum itu, adalah terkaan semata-mata. Tidaklah diketahui mengenai hak diri seseorang baik secara yakin atau berat dugaan. Maka keputusan dari nujum itu, adalah keputusan dengan kebodohan.
Maka adalah tercelanya di atas dasar ini, dari segi bahwa ilmu nujum itu kebodohan. Tiada ia suatu ilmu pengetahuan.Adalah yang demikian itu suatu mu'jizat bagi Nabi Idris as. menurut yang diriwayatkan. Ilmu nujum itu telah lenyap, tersapu dan terhapus.

Apa yang kebetulan benar terjadi dari ahli nujum itu secara luar biasa, maka itu adalah suatu kebetulan. Karena kadang-kadang muncul di atas sebagian sebab-sebab. Dan tdk. terjadi akibat di bela-kang sebab-sebab tadi, melainkan sesudah memenuhi banyak sya-rat-syarat, yang tidak sanggup tenaga manusia mengetahui hakikatnya. Jika sesuai, bahwa Allah Ta'ala mentakdirkan sebab-sebab yang masih ada, maka terjadilah yang benar. Jika tidak ditakdirkan oleh Allah Ta'ala, maka salahlah dia.

Yang demikian itu, adalah seperti terkaan orang bahwa langit akan menurunkan hujan tatkala dilihatnya awan tebal berkumpul dan berarak dari gunung-gunung. Lalu keraslah dugaannya, bahwa hujan akan turun. Dan kadang-kadang siang akan panas dengan matahari dan mendung itu hilang.
Kadang-kadang terjadi sebaliknya. Semata-mata mendung belum cukup untuk mendatangkan hujan. Dan sebab-sebab yang masih ada, tidak diketahui.

Begitu pula terkaan nakhoda bahwa kapal akan selamat, berpegang kepada apa yang diketahuinya dari kebiasaan tentang angin. Dan angin itu mempunyai banyak sebab yang tersembunyi, yang tidak diketahuinya. Sekali ia betul pada terkaannya dan lain kali ia salah. Dan karena sebab inilah, dilarang orang yang kuat imannya dari ilmu nujum.

3. Bahwa tak ada faedahnya ilmu nujum itu. Sekurang-ku-rahg keadaannya, ialah terperosok ke dalam perbuatan yang sia-sia, yang tak perlu dan membuang-buang umur yang amat berharga bagi manusia, pada yang tak berfaedah. Itulah suatu kerugian yang tak berkesudahan.

Rasulullah saw. lalu dekat seorang laki-laki dan orang banyak berkumpul padanya.
Maka bertanya Nabi saw. : "Siapa orang ini?". Menjawab orang banyak : "Orang yang amat 'alim". "Tentang apa?", tanya Nabi saw.
"Tentang sya'ir dan keturunan orang-orang Arab", sahut mereka.
Maka sahut Nabi صلى الله عليه وسلم
(ما هذا فقالوا رجل علامة فقال بماذا قالوا بالشعر وأنساب العرب فقال علم لا ينفع وجهل لا يضر )
"Ilmu yang tak bermanfa'at dan bodoh yang tak memberi melarat".
Bersabda Nabi saw. :
إنما العلم آية محكمة أو سنة قائمة أو فريضة عادلة
Innamal 'ilmu aayatun muhkamatun au sunnatun qaaimatun au fariidlatun 'aadilah).
Artinya :"Sesungguhnya ilmu itu adalah ayat yang kokoh, atau sunnah yang tegak atau fardlu yang adil". (Dirawikan Ibnu Abdil-Barrdari Abi Hurairah dan dipandangnya hadits ini dla'if )
Jadi, turut campur dalam ilmu nujum dan yang serupa dengan ilmu nujum, adalah menghadang bahaya dan terperosok ke dalam kebodohan, yang tak ada gunanya. Apa yang ditaqdirkan, itulah yang terjadi. Menjaga diri dari padanya, adalah tidak mungkin. Kecuali ilmu kedokteran, maka ilmu ini diperlukan. Kebanyakan dalil-dalilnya, dapat diselidiki. Dan kecuali juga ilmu men-ta'birkan mimpi, maka walaupun dia merupakan terkaan, tetapi adalah sebahagian dari empat puluh enam bahagian dari kenabian dan tak ada bahaya padanya.


Sebab Ketiga :

Terjun ke dalam ilmu, yang tidak memberi faedah kepada orang itu dari ilmunya. Ilmu yang semacam itu adalah tercela terhadap orang itu, seperti dipelajarinya ilmu yang halus-halus sebelum yang kasar-kasar, dipelajarinya ilmu yang tersembunyi sebelum ilmu yang terang dan seperti diperbineangkannya tentang rahasia keTuhanan (al-asroril-ilahiyah).


Karena para filosuf dan ulama ilmu kalam telah tampil pada ilmu-ilmu itu. Dan mereka tidak berdiri sendiri dalam hal itu. Hanya yang dapat berdiri sendiri, memperkatakan al-asroril-ilahiyah dan mengetahui jalan-jalan sebahagian daripadanya, ialah Nabi-Nabi dan aulia-aulia.



Maka wajiblah dilarang orang banyak membahas tentang al-asroril-ilahiyah dan dikembalikan mereka kepada yang telah diucapkan oleh syari'at. Yang demikian itu mencukupilah untuk orang yang mendapat taufiq.
Berapa banyak orang yang terjun ke dalam ilmu pengetahuan dan memperoleh kemelaratan. Jikalau tidaklah ia terjun ke dalam ilmu pengetahuan itu, niscaya adalah halnya lebih baik dalam agama, daripada apa yang telah terjadi padanya.

Dan tak dapat dibantah, adanya ilmu yang mendatangkan melarat bagi sebahagian manusia, seumpama melaratnya daging burung dan beberapa macam kuweh yang enak rasanya, kepada bayi yang masih menyusu. Bahkan banyak orang, yang berguna baginya kebodohan dalam beberapa hal.

Menurut ceritera, bahwa sebahagian orang mengadukan halnya kepada seorang tabib akan kemandulari isterinya. Wanita itu tidak beranak. Maka tabib itu memeriksa denyut uratnadi. Lalu berkata : "Tak ada gunanya engkau diberikan obat beranak. Sebab engkau akan mati, sampai empat puluh hari ini. Denyut urat nadimu menunjukkan yang demikian".

Maka gemetarlah wanita itu dengan ketakutan yang sangat dan susahlah kehidupannya. Dikeluarkannyalah hartanya, dibagi-bagikan dan diwasiatkan. Tinggallah ia tidak makan dan tidak mi-num, sehingga berlalulah masa itu. Dan wanita itu tidak mati. Maka datanglah suaminya kepada tabib dan menanyakan, mengapa isterinya tidak mati. Maka menjawab tabib : "Aku sudah tahu yang demikian. Sekarang bersetubuhlah!. Ia akan beranak".
"Mengapa begitu?", tanya si suami.
Menjawab tabib : "Aku lihat dia sangat gemuk, lemak telah menu-tupi mulut rahimnya. Aku tahu, bahwa dia tidak akan kurus, selain dengan takut kepada mati. Maka aku takutkan dia dengan demikian, sehingga dia kurus. Dan hilanglah halangan dari beranak".
Maka ini memberitahukan engkau kepada merasakan bahaya sebahagian pengetahuan. Dan memberi pemahaman kepada engkau pengertian, sabda Nabi صلى الله عليه وسلم

نعوذ بالله من علم لا ينفع
Na'uudzu billaahi min 'ilmin laa yanfa'.
Artinya :"Kita berlindung dengan Allah Ta'ala dari ilmu yang tidak bermanfa'at".
(Dirawikan Ibnu Abdil-Barr dari Yabir dengan sanad baik)

Maka ambillah ibarat dengan ceritera ini! Janganlah kiranya anda menjadi penyelidik dari ilmu yang dicela Agama dan dilarang daripadanya! Dan haruslah mengikuti para shahabat Nabi saw. dan ber-peganglah kepada Sunnah! Keselamatan adalah dengan mengikuti jejak Nabi. Dan bahaya adalah dalam membahas beberapa perkara dan berdiri sendiri dalam hal itu.

Janganlah diperbanyak membanggakan diri dengan pendapat sendiri, akal pikiran sendiri, dalil sendiri dan keterangan sendiri dengan mendakwakan : "Bahwa aku mengadakan pembahasan tentang hal-hal itu, untuk aku ketahui yang sebenarnya".

Manapun kemelaratan yang timbul dalam pemikiran mengenai ilmu pengetahuan, maka kemelaratannya yang kembali kepadamu adalah lebih besar. Berapa banyak hal yang engkau perhatikan, lalu menim-bulkan kemelaratan oleh perhatian itu, yang hampir mencelakakan kamu di akhirat, kalau tidaklah rahmat Tuhan datang membelainya.

Ketahuilah
..... Sebagaimana seorang dokter yang ahli, mengetahui segala pengobatan, di mana menjauhkan diri daripadanya, orang yang tak mengetahuinya, maka demikian pula para Nabi, tabib hati dan para ulama, yang tahu sebab-sebab hidup keakhiratan. Dari itu, janganlah terlalu berpegang teguh kepada sunnah mereka, dengan akal pikiranmu, maka kamu akan binasa! Berapa banyak orang yang terkena suatu halangan pada anak jari tangannya. Lalu akal pikirannya menghendaki untuk memijit anak jari itu. Sehingga diberitahukan oleh tabib yang ahli, bahwa obatnya adalah tapak tangan itu dipijit dari bahagian lain dari badan. Orang itu tidak mau menerimanya, karena ia tidak mengetahui percabangan urat dan pertumbuhannya serta cara perlipatannya pada tubuh. Maka begitu juga urusan pada jalan akhirat, pada yang halus-halus dari sunnah agama dan adab-adabnya. Dan mengenai aqidahnya yang menjadi ibadah manusia, mengandung rahasia dan isi yang halus-halus, yang tak sanggup keluasan akal manusia dan kekuatannya mengetahuinya. Sebagaimana pada khasiat batu-batu ada hal-hal yang ajaib, yang tak sampai ilmu tukangnya ke sana. Sehingga tidak ada orang yang mengetahui sebab, maka besi berani itu menarik besi biasa.

Maka keheranan dan keganjilan pada aqidah dan amal, dan menggunakannya untuk menjernihkan, membersihkan, mensucikan, mengadakan perbaikan bagi hati (jiwa) untuk meningkat tinggi di samping Allah Ta'ala dan membawanya bagi anugerah kemurahan Nya, adalah lebih banyak dan lebih besar dari apa yang pada obat-obat dan jamu-jamu.

Sebagaimana tak sampai akal manusia, mengetahui keguna-an obat-obatan, serta percobaan adalah jalan kepadanya, maka akal manusiapun tak sampai untuk mengetahui apa yang bermanfa'at pada hidup akhirat, sedang percobaan tak ada jalan ke sana. Hanya adalah percobaan berjalan ke akhirat, kalau pulanglah kepada kita beberapa orang yang telah mati.Lalu menerangkan kepada kita, amal perbuatan yang diterima, yang bermanfa'at, yang mendekatkan kepada Allah Ta'ala di sisiNya dan dari amal yang menjauh-kan daripadaNya.

Begitu pula, mengenai aqidah. Dan yang demikian itu, termasuk yang tak usah diharapkan. Dari itu, cukuplah kiranya bagi anda dari kegunaan akal, untuk dapat menunjukkan anda, kepada membenarkan Nabi saw. dan memahamkan anda segala sumber isyarat-nya.
Kemudian, singkirkanlah akal itu dari penggunaannya dan tetaplah mengikuti Nabi, di mana anda akan selamat dengan jalan itu.

Dari itu Nabiصلى الله عليه وسلم bersabda :
إ ن من العلم جهلا وإن من القول عيا
Inna minal 'ilmi jahlan wa inna minal qauli 'iyyan.
Artinya :"Bahwa sebahagian dari ilmu itu, kebodohan dan sebahagian dari perkataan itu tidak menjelaskan". (Dirawikan Abu Daud dr. Buraidah. Dan pada isnadnya ada orang yg tdk diketahui)
Yang dimaklumi, bahwa ilmu itu tidaklah kebodohan, tetapi ilmu itu membekas akan pembekasan kebodohan, pada mendatangkan kemelaratan.
Maka Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda pula :
( قليل من التوفيق خير من كثير من العلم )
(Qaliilun minat taufiiqi khairun min katsiirin minal 'ilmi).
Artinya :"Sedikit taufiq Tuhan adalah lebih baik dari banyak ilmu". ( Menurut Al-lraqi, dia tidak pernah menjumpai hadits ini )

Nabi Isa as. pernah berkata :
"Alangkah banyaknyapohon kayu dan tidaklah semuanya berbuah. Alangkah banyaknya buah-buahan dan tidaklah semuanya baik dan alangkah banyaknya ilmu pengetahuan dan tidaklah semuanya berguna ".

Penjelasan : Apa yang digantikan dari kata-kata ilmu.

Ketahuilah! Bahwa sumber yang menimbulkan keserupaan ilmu yang tercela dengan ilmu syari'at ialah penyelewengan nama-nama yang terpuji, penggantiannya dan pemindahannya, dengan maksud-maksud yang merusakkan kepada pengertian-pengertian yang tidak dikehendaki oleh orang-orang shaleh terdahulu dan abad pertama.

Iaitu lima perkataan : fiqih, ilmu, tauhid, tadzkir dan hikmah. Inilah nama-nama yang terpuji. Orang-orang yang bersifat dengan nama-nama tadi, adalah orang-orang yang berkedudukan ting-gi dalam agama. Tetapi sekarang nama-nama itu sudah dialihkan kepada pengertian-pengertian yang tercela. Sehingga hati, lari dari celaan orang-orang yang bersifat dengan pengertian-pengertian itu, karena terkenalnya pemakaian nama-nama itu kepada mereka.

Perkataan Pertama : FIQIH Telah diselewengkan pemakaiannya secara tertentu. Tidak dengan dipindahkan dan diputarkan. Karena mereka telah menentukan nya pemakaian fiqih itu, kepada pengetahuan furu' (cabang) agama, yang ganjil mengenai fatwa, mengetahui sebab-sebab yang menda-lam dari fatwa itu, memperbanyak pembicaraan padanya, menghafal kata-kata yang berhubungan dengan fatwa itu.
Maka orang yang amat mendalaminya dan banyak berbuat kepadanya, disebut "al-afqah " (yang terahli dalam ilmu fiqih).Pada masa pertama dahulu, adalah nama fiqih itu ditujukan
kepada pengetahuan jalan akhirat, kepada mengenai penyakit jiwa yang halus-halus dan yang merusakkan amal, teguh pendirian dengan pandangan hina kepada dunia, sangat menuju perhatian kepada nikmat akhirat dan menekankan ketakutan kepada hati.

Dibuktikan kepada yang demikian itu oleh firman Allah 'Azza wa Jalla :
لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
(Liyatafaqqahuu fid diini wa liyundziruu qaumahum idzaa raja'uu ilaihim).
Artinya :Untuk mempelajari (berfiqih) dalam agama dan memberi peringat-an kepada kaumnya apabila telah kembali (dari menuntut ilmu) kepada mereka". (التوبة: 122)

Ilmu yang menghasilkan peringatan dan penakutan, itulah FIQIH namanya. Bukanlah fiqih itu mencabang-cabang soal talak, soal pembebasan perbudakan, li'an, pesanan barang dan sewa-me-nyewa. Yang demikian itu, tidaklah mombuahkan peringatan dan penakutan. Bahkan bila terus menerus bergelimang dengan itu, membawa kepada hati kasar, mencabut ketakutan dari hati, sebagaimana kita saksikan sekarang pada orang-orang yang menjurus demikian.

Berfirman Allah Ta'ala :
لَهُمْ قُلُوبٌ لا يَفْقَهُونَ بِهَا
Lahum quluubun laa yafqahuuna bihaa.( Al-'A'raaf, ayat 179).
Artinya :"Bagi mereka hati yang tidak memahami (berfiqih) dengan hati itu"(Al-A'raf, ayat 179).

Dimaksudkan dengan fiqih ialah, pengertian-pengertian keimanan, bukan mengeluarkan fatwa.
Demi umurku, bahwa kata-kata "al-fiqh" dan "al-fahm" menurut bahasa adalah dua nama (ism) dengan satu arti. Dan dipergunakan demikian, menurut kebiasaan pemakaian, baik dahulu atau sekarang.


Berfirman Allah Ta'ala :
لأنْتُمْ أَشَدُّ رَهْبَةً فِي صُدُورِهِمْ مِنَ اللَّهِ
La-antum asyaddu rahbatan fii shuduurihim minallaah.
Artinya :"Kamu sangat ditakuti dalam hati mereka, lebih dari Tuhan".(S. Al-Hasyr, ayat 13).
Maka dibawa oleh kurang takutnya kepada Allah dan besar penghormatannya akan kekuasaan makhluk, sehingga menjadi kurangnya faham (fiqih).

Lihatlah, adalah itu natijah tidak menghafal pencabangan fatwa-fatwa atau natijah ketiadaan ilmu yang kami terangkan itu. Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم علماء فقهاء "Ulama, hukama, dan fuqaha (para ahli fiqih)", kepada mereka yang diutuskan kepadanya. (Dirawikan Abu Na'im dan Al-Baihaqi dari Suwaid bin Al-Harits, dengan isnad dla'if.)

Ditanyakan Sa'ad bin Ibrahim Az-Zuhri ra. : "Siapakah diantara penduduk Madinah yang lebih paham (fiqih)?". Beliau menjawab : "Yang lebih kuat taqwanya kepada Allah Ta'ala". Seakan-akan beliau memberi isyarat kepada hasil dari paham (fiqih). Dan taqwa adalah hasil dari ilmu bathin. Bukan hasil dari fatwa dan hukum.Bersabda Nabi saw. : "Apakah aku terangkan kepadamu orang ahli paham (fiqih) yang sebenarnya?".

"Ya!", jawab mereka.

Maka bersabda Nabi saw. : (ألا أنبئكم بالفقيه كل الفقيه قالوا بلى قال من لم يقنط الناس من رحمة الله ولم يؤمنهم من مكر الله ولم يؤيسهم من روح الله ولم يدع القرآن رغبة عنه إلى ما سواه) "Orang yang tidak memutus-asakan manusia dari rakhmat Tuhan, yang tidak menyatakan mereka aman dari kutuk Tuhan, yang tiada memutuskan-asa mereka dari kasih-sayang Tuhan, yang tidak meninggalkan Al-Qur-an lantaran gemar kepada yang lain".
(.Dirawikan Abu Bakar bin Lai dan Abu Bakar bin As-Sunni dan Ibnu Abdil-Barr dari Ali ra.)

Sewaktu Anas bin Malik meriwayatkan sabda Nabi saw. :

Swaktu Anas bin Malik meriwayatkan sabda Nabi صلى الله عليه وسلم :
لأن أقعد مع قوم يذكرون الله تعالى من غدوة إلى طلوع الشمس أحب إلي من أن أعتق
أربع رقاب

(La-an aq'uda ma'a qaumin yadzkuruunallaah ta'aalaa min ghud-watin ilaa thuluu'isy-syamsi ahabbu ilayya min an a'tiqa arba'a riqaabin).
Artinya :"Sesungguhnya aku lebih suka duduk bersama kaum yang mengingati (berdzikir) Allah Ta'ala dari pagi sampai terbit matahari besok, daripada membebaskan empat orang budak". Dirawikan Abu Daud dengan isnad baik.


Berkata pengarang kitab Al-Quut : "Maka berpalinglah Anas kepada Zaid Ar-Raqqasyi dan Ziyad An-Numairi, seraya berkata :"Tidaklah majlis mengingati Tuhan (berdzikir) itu seperti majlis ini, di mana salah seorang dari kamu menceriterakan pengajarannya kepada teman-temannya dan membawa hadits-hadits. Sesungguhnya kami duduk lalu mengingati iman, memahami Al-Qur-an dan berpaham (berfiqih) dalam agama serta menghitung ni'mat Allah Ta'ala kepada kami, dengan penuh pemahaman (fiqih)".

Di sini dinamakan pemahaman AI-Qur-an dan penghitungan nikmat itu berfiqih (tafaqquh).
Bersabda Nabi saw. :

 
(لا يفقه العبد كل الفقه حتى يمقت الناس في ذات الله وحتى يرى القرآن وجوها كثيرة)
(Laa yafqahul 'abdu kullal fiqhi hattaa yamqutan naasa fii dzaatil-laahi wa hattaa yaraa lil Qur-aani wujuuhan katsiirah).
Artinya :Tidaklah seorang itu berfiqih sebenar-benarnya sebelum mengecam manusia untuk kesucian Dzat Allah Ta'ala dan memandang Al-Qur-an dari segala segi". (Dirawikan Ibnu Abdii-Barr dari Syaddad bin Aus dan katanya, tidak syah hadits itu sebagai hadits marfu)

Dirawikan pula suatu hadits mauquf pada Abid Darda' ra. dengan katanya : "Kemudian ia menghadapkan kepada dirinya sendiri lalu mengecamnya pula secara lebih hebat lagi".


Bertanya Farqad As-Sabakhi kepada Al-Hassan mengenai suatu hal. Maka menjawab Al-Hasan, lalu berkata Farqad : "Kaum fuqaha (ahli fiqih) itu berselisih pendapat dengan kamu". Kemudian Al-Hasan ra. berkata : "Wahai Farqad yang dikasihi! Adakah kamu melihat seorang ahli fiqih itu dengan matamu sendiri? Bahwa seorang ahli fiqih itu adalah zuhud di dunia, gemar ke akhirat, bermata hati kepada agama, kekal beribadah kepada Tuhannya, Wara' mencegah dirinya dari mempercakapkan kehormatan orang muslimin, yang memelihara dirinya dari harta mereka dan yang menasehati jama'ah mereka".

Dalam keseluruhannya tadi, Al-Hasan tidak menyebut penghafal furu'-furu' fatwa. Dan saya tidak mengatakan bahwa nama "fiqih" itu tidaklah pokok bahasa dan tidaklah untuk fatwa mengenai hukum-hukum dhahir. Tetapi ada, secara umum dan keseluruhan atau secara diikutsertakan. Maka adalah pemakaian mereka kata-kata "fiqih" kepada ilmu akhirat itu, lebih banyak.

Maka nyatalah dari pengkhususan tersebut, meragukan kebangkitan manusia untuk memakai perkataan "fiqih" semata-mata kepada yang tadi dan berpaling dari ilmu akhirat dan perihal hati. Dan mereka mendapat untuk yang demikian penolong dari tabiat manusia. Karena ilmu bathin itu tidak terang dan mengerjakannya sukar. Dan memperoleh kedudukan dalam pemerintahan, kehakiman, kemegahan dan kekayaan itu sulit dengan ilmu bathin. Maka setan memperoleh jalan untuk membaikkan yang tersebut, di dalam hati dengan jalan mengkhususkan nama "fiqih", yang menjadi nama terpuji itu pada syari'at.


Sumber Ihya Ulumiddin halaman 40 Sampai halaman 100
Wallahu'alam
Barakallahu Fikum 
Wasalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatu
 


 Bismillahirrahmanirrahim...
Allahumma shallii alaa Muhammad Nabiyyil ummi wa barik 'alaihi wasallim
Allahumma shallii 'alaa Muhammad Wa umma wabarik 'alaihi wasallim
Allahumma shallii 'alaa Muhammad Biadadi man shalla' alaihi wasallim
Allahumma shallii 'alaa Muhammad Biadadi man lam an yushalli 'alaihi wasallim
Allahumma shallii 'alaa Muhammad kama tuhibbu an yushalli 'alaihi wassallim
Allahumma shallii 'alaa Muhammad kama amarta an yushalli 'alaihi wasallim

Allahumma shallii 'alaa Muhammad kama yasbaqhis shalawatu 'alaihi wasallim.
Allahumma shalli 'alaa Muhammadin wa'ala ali Muhammadin kamasollaita'ala Ibrahim.
Wabarik'ala Muhammadin wa'ala ali Muhammadin kamabarakta'ala Ibrahima fil'alamin.
innaka hamidunmajid
amiin Ya Karim
amiin Ya Wahhab..amiin Ya "Alimun

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Risalah Alladuniyah-Imam Ghazaly

Risalah Alladuniyah-Imam Ghazaly   1 Assalamu'alaikum Warahmatulahi Wabarakatu. Bismillahirrahmanirrahim Allahummashalli 'al...