Cari Blog Ini

Jumat, 20 Juni 2014

Ihya' Ulum al-Din (Bab 1 Fadhila 'Ilmu)


Assalamu'alaikum Warahmatulahi Wabarakatu.

Bismillahirrahmanirrahim
Allahummashalli 'alaa Muhammad wa'alaa aalihi wa ashabihi wadlurriyatihi
washallim.
 



“Alhamdulillahi nasta’iinuhu wanastagh firuhu wana’uudzubillaahi min syuruuri anfusinaa waminsayyi ati a’ maalinaa man yahdihillahu falaa mudhilla lahu waman yudhlil falaa haadiya lahu, asyhadu anlaa ilaha illallaahu wah dahulaa syariikalahu wa asyhadu anna muhammadan ‘abduhuu warasuuluhu la nabiya ba’da.”


Al-Ghazali’s

Fadhila ilmu

Ihya' Ulum al-Din

أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُه



السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

بسم الله الرحمٰن الرحيم


Hal 100.
B. Lapaz  kedua Adalah Ilmu.
Perkataan ini dipakai untuk pengetahuan mengenai dzat, ayal-ayat dan perbuatan Allah Ta'ala, terhadap hamba dan makhlukNya. Sehingga ketika Umar ra. wafat, maka berkata Ibnu Mas'ud ra. : "Sesungguhnya telah mati sembilan persepuluh ilmu".

Perkataan "ilmu" itu dijadikan him marifah dengan Alif dan Lam, menjadi "al-ilmu". Lalu diberi penafsiran, "mengetahui tentang Allah Subhanahu wa Ta'ala". Kemudian diputarkan pula oleh mereka perkataan "al-ilmu" itu dengan pengkhususan. Sehingga dalam banyak hal, diperkenalkannya orang berilmu, ialah orang yang asyik berdebat melawan musuh dalam masalah-masalah fiqih dan lainnya. Lalu dikatakan orang itu alim yang sebenarnya.


Dialah seorang tokoh ilmu pengetahuan. Orang-orang yang tidak berbuat demikian dan tidak menghabiskan waktunya untuk itu, dihitung orang lemah dan tidak dihitung dalam bilangan ahli ilmu.

dan ini , suatu tindakan dengan pengkhususan. Akan tetapi apa yang tersebut tentang kelebihan ilmu dan ulama, adalah kebanyakannya ditujukan kepada ulama yang tahu akan Allah, hukum Nya, perbuatan dan sifat-sifatNya. Dan sekarang, secara mutlak dipakai, kepada orang yang tidak tahu sedikitpun ilmu agama, selain dari pertemuan-pertemuan perdebatan dalam masalah-masalah khilafiah. Dengan itu, lalu dia terhitung termasuk ulama besar, serta bodohnya mengenai tafsir, hadits, ilmu madzhab dan lainnya. Dan yang demikian itu, menjadi sebab, yang membinasakan orang banyak dari penuntut-penuntut ilmu.

C. Lapaz Yang  Ketiga adalah  Tuhid.
 Lapaz  ini sekarang dipakai untuk menyusun kata-kata, mengetahui cara berdebat, mengetahui jalan menangkis dan memfasihkanya.  Sanggup mendesaknya dengan membanyakkan pertanyaan-pertanyaan, dapat membangkitkan keragu-raguan dan dapat menyusun dalil-dalil yang pasti, sehingga oleh golongan-golongannya sendiri, memberinya gelar pada kelompok mereka sendiri ahli adil dan ahli tauhid.

Para ahli ilmu kalam, disebut ulama tauhid, padahal seluruh apa yang khusus perbuatan ini, tidak terkenal sedikitpun pada masa pertama dari agama Islam. Bahkan sebahagian mereka, adalah sangat menentang terhadap orang yang membuka pintu pertengkaran dan perdebatan.

Adapun isi Al-Qur'an, dari dalil-dalil yang terang, mudah ditangkap oleh pikiran demi mendengarnya, maka adalah semua orang mengetahuinya. Pengetahuan dengan Al-Qur-an adalah merupakan ilmu pengetahuan seluruhnya.
Tauhid pada mereka adalah ibarat suatu hal yang tidak dipahami oleh kebanyakan ahli ilmu kalam. Kalaupun dipahaminya, tetapi mereka tidak bersifat dengan dia.Yaitu melihat urusan seluruhnya, adalah daripada Allah Ta'ala, penglihatan tanpa menoleh kepada sebab dan perantara. Maka ia tidak melihat kebajikan dan kejahatan seluruhnya, melainkan dari pada Allah Yang Maha Mulia.

Maka inilah tingkat yang mulia. Salah satu dari buahnya, ialah tawakkal, sebagaimana akan diterangkan nantrpada KitabTawakkal.

Diantara buahnya juga, ialah meninggalkan pengaduan kepada makhluk, meninggalkan kemarahan kepada mereka, rela dan menyerah kepada hukum Allah Ta'ala.
Dan adalah salah satu buahnya, ialah ucapan Saidina Abu Bakar Ash-Shiddiq ra., ketika ditanyakan waktu sakitnya :
"Apakah kami carikan tabib untuk tuan?".
Lalu Abu Bakar menjawab :
"Tabib itu membawa saya sakit".


Ucapan lain lagi dari Abu Bakar ra. ketika sakitnya, waktu ia ditanyakan :
"Apakah kata tabib tentang penyakit tuan?".
Abu Bakar ra. menjawab :
"
Sesungguhnya   saya berbuat sekehendak saya".

Akan datang pada Kitab Tawakkal dan Kitab Tauhid dalil-dalil untuk itu.

Tauhid adalah suatu permata  yang bernilai tinggi, mempunyai dua kulit.
Yang satu lebih jauh dari isinya daripada yang lain. Lalu orang mengkhususkan, nama tauhid itu kepada kulit dan membuat penjagaan kepada kulit itu, serta menyia-nyiakan ISI secara keseluruhan.

KULIT PERTAMA :

yaitu anda mengucapkan dengan lisan لا إله إلا الله

Ini dinamakan tauhid melawan t
rinitas  للتثليث (kepercayaan tiga tuhan. Yakti tuhan bapak, tuhan anak dan tuhan roh kudus), yang ditegaskan oleh orang Nasrani. Tetapi ucapan tersebut kadang-kadang datang dari orang munafiq, yang berlawanan bathinnya dengan lahirnya.

KULIT KEDUA ;

yaitu tak ada di dalam hati, yang menyalahi dan berlawanan dengan pengertian ucapan tadi. Bahkan yang dhahir dari hati, melengkapi kepada aqidahnya. Dan demikian juga mem-benarkannya. Yaitu tauhid orang awwam. Dan para ahli ilmu kalam sebagaimana diterangkan dahulu adalah penjaga kulit ini dari gangguan golongan bid'ah.

YANG KETIGA :

yaitu Isi. Yaitu  melihat keadaan seluruhnya daripada Allah Ta'ala dengan tidak menoleh kepada perantaraan. Dan ia beribadah kepadaNya, dengan ibadah yang tunggal kepada-Nya. Tidak ia beribadah (menyembah) yang lain.


Dan keluarlah dari tauhid ini, orang-orang yang menuruti haiwa nafsu. Maka tiap-tiap orang yang menuruti hawa nafsunya, dia telah mengambil hawa nasfunya, menjadi Tuhannya.
Berfirman Allah Ta'ala : أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ
(Afara-aita manit takhadza ilaahahuu hawaah).
Artinya :"Adakah engkau melihat, orang yang mengambil hawa nafsunya, menjadi Tuhannya?".
(Al-Jatsiyah, ayat 23).
Bersabda Nabi saw. :

Abghadlu ilaahin 'ubida fil ardli 'indallaahi ta'aalaa, huwal hawaa.
Artinya :"Tuhan yang disembah di bumi, yang sangat dimarahi Allah Ta'ala ialah hawa nafsu". (Dirawikan Ath-Thabrani dari Abi Amanah,)

Dan di atas yang sebenarnya, barang siapa memperhatikan tentu mengerti bahwa penyembah berhala sebetulnya tidaklah ia menyembah berhala. Tetapi ia menyembah hawa nafsunya, karena nafsunya itu condong kepada agama nenek moyangnya. Lalu ia mengikuti kecondongan itu. Dan kecondongan nafsu kepada kebiasaan-kebiasaan, adalah salah satu pengertian yang diibaratkan dengan hawa nafsu itu.

Dan keluarlah dari tauhid ini, menaruh kemarahan kepada makhluk dan berpaling kepada mereka. Maka orang yang melihat seluruhnya berasal dari Allah Ta'ala, bagaimana akan marah kepada orang lain? Dari itu, tauhid adalah ibarat dari tingkat ini. Yaitu tingkat orang-orang Shiddiq (orang yang mempunyai kepercayaan penuh kepada Tuhan).

Dari itu, perhatikanlah, ke mana diputarkan arti tauhid dan kulit mana yang dirasa puas. Maka bagaimana mereka, membuat ini, menjadi pegangan, pada pemujian dan pembanggaan, dengan apa yang namanya terpuji, serta kosong dari pengertian yang berhak akan pujian yang hakiki? Hal itu seumpama kosongnya orang yang pagi-pagi benar sudah menghadap qiblat dan membaca:
وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ حَنِيفًا = الأنعام
Wajjahtu wajhia lilladzii fathara samaawaati wal ardla haniifa".
(Aku hadapkan wajahku kepada Allah yang menjadikan langit dan bumi karena aku memeluk agama yang benar). Dan itu adalah permulaan kedustaan, dia menghadap Allah tiap-tiap hari, sekira-nya wajah hatinya tidak menghadap Allah Ta'ala, secara khusus.

Sesungguhnya, jika maksudnya dengan "wajah" itu wajah secara dhahir, maka adalah tujuan wajahnya ke Ka'bah dan tidak menuju ke lain jurusan.

Ka'bah tidaklah menjadi pihak bagi Allah yang menjadikan langit dan bumi, sehingga orang yang menghadap ke Ka'bah berarti menghadap kepada Allah Ta'ala. Maha Suci Allah dari berpihak dan berberdaerah.

Hal 103

Sekiranya, maksudnya dengan wajah itu "wajah hati" dan memang itulah yang dimaksud oleh tiap-tiap orang yang beribadah, maka bagaimanakah dapat dibenarkan ucapannya sedang kan hatinya bulak-balik pada kepentingan dan keperluan duniawiyahnya? Dan mencari daya upaya mengumpulkan harta, kemegahan dan memperbanyak sebab-sebab dan perhatian seluruhnya untuk yang demikian.

Maka bilakah ia menghadapkan wajahnya kepada Allah yang menjadikan langit dan bumi?.
Perkataan ini, adalah menerangkan hakikat tauhid. Seorang yang bertauhid, ia tidak melihat melainkan YANG ESA dan tidak menghadapkan wajahnya, melainkan kepada YANG ESA itu.

Yaitu mengikuti firman Allah Ta'ala : قُلِ اللَّهُ ثُمَّ ذَرْهُمْ فِي خَوْضِهِمْ يَلْعَبُونَ
(Qulillaahu tsumma dzarhum fii khaudlihim yal'abuun).
Artinya :"Katakanlah! الله Kemudian biarkanlah mereka main-main dengan percakapan kosongnya (S. Al-An'am, ayat 91).

Tidaklah dimaksudkan dengan "katakanlah" itu "perkataan" dengan lisan. Karena lisan itu merupakan "penterjemah" (pengalih bahasa dari dalam), sekali dia benar dan sekali dia bohong.
Maka tempat untuk melihat Allah yang diterjemahkan oleh lisan itu, ialah hati. Hatinya tambang
dan sumbernya  tauhid.

D. Lapaz yang keempat :
 Dzikir dan Tadzikir (mengingat kepada Allah dan Peringatan )
Allah Ta’ala
 Berfirman:
وَذَكِّرْ فَإِنَّ الذِّكْرَى تَنْفَعُ الْمُؤْمِنِينَ
(Wa dzakkir fainnadzdzikraa tanfa'ul mu'miniin).
Artinya :"Berilah mereka peringatan (tadzkir), karena peringatan itu berguna untuk orang-orang yang beriman ". ( Adz-Dzariyat 55).

Banyaklah hadits Nabi صلى الله عليه وسلم yang memuji majlis dzikir itu,

 Sabda Nabi SAW  إذا مررتم برياض الجنة فارتعوا ,
Artinya "Apabila kamu melewati kebun Sorga, maka bersenang-senanglah di dalamnya!""Manakah kebun Sorga itu ?'tanya yang hadlir. قال: مجالس الذكر" Majlis-majlis berdzikir", sahut Nabi saw (Dirawikan At-Tirmidzi dart Anas dan dipandangnya hasan.)
Di Hadist lain Nabi SAW bersabda:
. في الحديث: إن لله تعالى ملائكة سياحين في الدنيا سوى ملائكة الخلق إذا رأوا مجالس الذكر ينادي بعضهم بعضا ألا هلموا إلى بغيتكم فيأتونهم ويحفون بهم ويستمعون ألا فاذكروا الله وذكروا أنفسكم

 "Sesungguhnya Allah Ta'ala mempunyai banyak malaikat yang mengembara di dalam dunia selain dari para malaikat yang ada kubungannya dengan makhluk. Apabila mereka melihat majlis dzikir, lalu mereka panggil-memanggil satu sama lain, dengan mengatakan : tlPergilah kepada kesayanganmu masing-masing!". Lalu pergilah mereka, mengelilingi dan mendengar. Dari itu, berdzikirlah kepada الله dan peringatilah dirimu sendiri!". (Dirawikan Al-Bukhari dan Muslim dari Abi Hurairah atau Muttafaq ‘alaihi)

Hal itu di nukil juru nasehat pada masa sekarang kita melihat, mengambil yang demikian itu, lalu membiasakan dengan : ceritera-ceritera, sya'ir-sya'ir, do'a-do'a dan kata-kata yang tidak dipahami (syathah) dan pemutaran perkataan-perkataan agama (thammat).

Adapun ceritera-ceritera (
dongeng), maka itu bid'ah. Telah datang dari ulama-ulama yang terdahulu, larangan duduk mengelilingi  tukang-tukang cerita itu.
Mereka berkata , bahwa tak ada yang demikian pada masa Rasulullah صلى الله عليه وسلم ...Dan tidak ada pada masa Abu Bakar ra. dan Umar ra. Sehingga lahirlah fitnah dan timbullah tukang-tukang cerita (dongeng). Dirawikan Ibnu Majah dari Umar. dengan isnad Hasan

Diriwayatkan, bahwa Ibnu Umar ra. keluar dari masjid, seraya mengatakan : "Aku dikeluarkan oleh tukang ceritera itu. Kalau tidaklah dia maka aku tidak keluar".

Berkata Dlamrah : "Aku bertanya kepada Sufyan Ats-Tsuri : "Kita terimakah tukang ceritera itu dengan gembira?".
Menjawab Sufyan : "Balikkanlah tukang bid'ah itu ke belakangmu!" Berkata Ibnu 'Aun : "Aku datang pada Ibnu Sirin, maka ia bertanya : "Hari ini tidak ada kabar?".
Lalu aku jawab : "Amir
melarang  tukang-tukang cerita itu bercerita".
Maka menyambung Ibnu Sirin : "Dia sudah. mendapat taufiq ke jalan yang benar".
Al-A'masy masuk ke masjid jami' Basrah. Maka dilihatnya seorang tukang ceritera sedang berceritera dan mengatakan : "Diterangkan hadits kepada kami oleh Al-A'masy". Maka Al-A'masypun masuk ke tengah-tengah rombongan itu, sambil mencabut bulu ketiaknya.

Maka berkata tukang ceritera itu : "Tuan! Apakah tidak malu?". Sahut Al-A'masy : "Mengapa? Bukanlah saya berbuat sunnah dan saudara berbuat bohong? Saya ini Al-A'masy dan tidak pernah menceriterakan hadits kepada saudara".

Berkata Ahmad bin Hanbal ra. : "Yang paling banyak berdusta, diantara manusia, ialah tukang ceritera dan peminta-minta".

Ali ra. mengusir tukang ceritera dari masjid jami' Basrah. Tatkala didengarnya yang berceritera al-Hasan Al-Bashri maka tak diusirnya. Karena Al-Hasan memperkatakan tentang ilmu akhirat dan berpikir kepada mati, memperingatkan kepada kekurangan diri, bahaya amal, gurisan setan dan cara menjaga diri padanya. Ia meng-ingatkan kepada segala rahmat Allah dan nikmatNya, kepada kete-ledoran hamba pada mensyukuriNya. Ia memperkenalkan kehinaan dunia, kekurangan, kehancuran dan kepalsuan janjinya, bahaya akhirat dan huru-haranya.
Maka inilah tadzkir (peringatan) yang terpuji pada agama, yang meriwayatkan dorongan kepadanya pada hadits yang dirawikan Abu Zar, seperti berikut : "Mengunjungi majelis dzikir, adalah lebih utama daripada mengerjakan shalat seribu raka'at. Mengunjungi majelis ilmu, adalah lebih utama daripada mengunjungi seribu orang sakit. Mengunjungi majelis ilmu adalah lebih utama daripada berta'ziah seribu jenazah".

Lalu ditanyakan : يا رسول الله ومن قراءة القرآن، قال: وهل تنفع قراءة القرآن إلا بالعلم "Wahai Rasulullah! Dan dari membaca Al-Qur-an?". Maka Nabi saw. menjawab : "Adakah bermanfa'at membaca Al-Qur-an selain dengan ilmu?". (Dirawikan Ibnul Jauri dan Ubaidah As-Salmani dari Umar)

Halaman 106.

Berkata 'Atha' ra. "Majelis dzikir itu menutupkan tujuh puluh majelis yang sia-sia (tempat tontonan)".
Hadits-hadits di atas telah dipergunakan oleh orang-orang yang kotor, untuk alasan kepada membersihkan diri dan mengalih-kan nama "tadzkir" kepada khurafat yang dibuat mereka. Mereka lupakan cara dzikir yang terpuji dan menyibukkan diri dengan ceritera-ceritera yang membawa kepada perselisihan, kepada menam bah dan mengurangi. Dan berlawanan dengan ceritera yang ada di dalam Al-Qur-an dan menambahkan kepadanya


Di antara cerita-cerita itu, ada yang bermanfa'at mendengarnya dan ada yang melarat meskipun benar. Orang yang membuka pintu itu kepada dirinya, maka bercampurlah antara benar dan bohong, yang bermanfa'at dan yang melarat. Dari itu maka dilarang daripadanya.
Karena demikianlah, maka berkata Imam Ahmad bin Hanbal ra. : "Alangkah berhajatnya manusia kepada tukang ceritera yang benar" Jika ceritera itu termasuk ceritera Nabi-Nabi as. yang berhubungan dengan urusan agama dan tukang ceriteranya itu benar dan ceritera-nya tidak salah, maka menurut saya, diperbolehkan.

Berhati-hatilah terhadap kedustaan, dari ceritera-ceritera keadaan yg tiada manfaat, yang menunjukkan kepada banyak kesalahan atau keteledoran, yang menghambat pemahaman orang awam dari mengetahui maksudnya. Atau menghambatnya dari mengetahui adanya kesalahan, yang jarang terjadi, yang diikuti dengan yang menutupinya, yang dapat diketahui kebaikan-kebaikan yang ditutupkan itu. Orang awam berpegang dengan yang demikian itu, pada segala keteledorandan kesalahannya. Dan menganggap dirinya dapat dima-'afkan. Dia berasalan, bahwa hal itu telah diceriterakan yang demikian, dari beberapa syekh terkemuka dan ulama terkenal. Semua kita terhadap perbuatan ma'syiat, maka tak ragu lagi, jikalau kita telah berbuat ma'syiat kepada Allah, maka orang-orang yang lebih besar dari kita telah berbuat ma'siat dan kesalahannya. Dan menganggap dirinya dapat dima-'afkan. Dia berasalan, bahwa hal itu telah diceriterakan yang demikian, dari beberapa syekh terkemuka dan ulama terkenal. Semua kita terhadap perbuatan ma'syiat, maka tak ragu lagi, jikalau kita telah berbuat ma'syiat kepada Allah, maka orang-orang yang lebih besar dari kita telah berbuat ma'siat.

Hal yang tersebut tadi menunjukkan keberaniannya menghadapi Allah Ta'ala dengan tidak sadar.
Maka sesudah menjaga diri dari dua hal yang ditakuti, maka tidak mengapa dengan demikian. Dan ketika itu, kembali kepada cerita-cerita yang terpuji dan kepada yang terdapat dalam Al-Qur-an dan kitab-kitab hadits yang shahih.

Sebahagian orang membolehkan membuat cerita-cerita yang menyukakan kepada perbuatan ta'at. Dan mendakwakan bahwa tujuannya mengajak manusia kepada kebenaran.Itu sebetulnya bisikan setan karena dalam kebenaran, berkembang kedustaan. Dan mengenai dzikir kepada Allah Ta'ala dan RasulNya, tidak menciptakan nasehat yang tidak mempunyai dasar kebenaran.

Betapa tidak! Membuat sajakpun tidak disukai dan dipandang yang demikian membuat-buat. Berkata Sa'ad bin Abi Waqqas ra. kepada anaknya Umar, ketika mendengar ia bersajak : "Inilah yang membawa aku marah kepadamu. Tidak akan aku penuhi ke-perluanmu selama-lamanya, sebelum engkau bertobat". Sedang Umar sebenarnya ada keperluan maka ia datang kepada ayahnya itu. Nabi saw. telah bersabda kepada Abdullah bin Rawahah, mengenai sajak yang terdiri dari tiga kata  

(Iyyaaka was-saj'a yabna rawaahah).
Artinya :"Awaslah bersajak hai anak Rawahah (Menurut Al-lraqi, ia tidak memperoleh bunyi yang demikian, tetapi dengan bunyi lain, yang sama maksudnya)

Dengan hadits ini, seolah-olah s
yair yang harus diawasi, ialah yang lebih dari dua kata. Karena itu, tatkala seorang lelaki mengatakan mengenai diat (Diat : harta yang dibayar kerana membunuh, yaitu unta atau harganya ) bayi dalam kandungan : "Bagaimana kah membayar diat orang yang tidak minum, tidak makan, tidak berteriak dan tidak memekik?
.
Samakah itu dengan halal darahnya' lalu Nabi bersabda :( أسجع كسجع الأعراب ) "Adakah sajak seperti sajak orang-orang Badui Arab! (Dirawikan Muslim dari Al-Mughirah )

Adapun sya'ir, maka dicela membanyakkannya dalam pengajaran.
Berfirman Allah Ta'ala :
وَالشُّعَرَاءُ يَتَّبِعُهُمُ الْغَاوُونَ
أَلَمْ تَرَ أَنَّهُمْ فِي كُلِّ وَادٍ يَهِيمُونَ

(Asy syu'araau yattabi'uhumul ghaawuun. Alam tara-annahum fii kulii waadin yahiimuun).
( Asy-Syu'ara 224-225).
Artinya :"Dan penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang jahat. Tidak kah engkau lihat bahwa mereka mengembara disetiap lembah dengan tak tentu tujuan?".(Asy-Syu'ara, ayat 224-225).

Dan berfirman lagi
Allah Ta’ala:
وَمَا يَنْبَغِي لَهُ إِنْ هُوَ إِلا ذِكْرٌ وَقُرْآنٌ مُبِينٌ
(Wa maa 'allamnaahusy syi'ra wa maa yanbaghiilah).
Artinya :"Dan kami tiada mengajarkan sya'ir kepadanya (Muhammad) dan sya'ir itu tiada patut baginya" (Yaasiin 69).

Kebanyakan sya'ir yang dibiasakan oleh juru-juru nasehat, ialah apa yang menyangkut dengan penyifatan pada kerinduan, keelokan yang dirindukan, senangnya ada hubungan dan pedihnya berpisah.
Majlis itu, dikunjungi oleh rakyat banyak yang bodoh-bodoh. Perutnya penuh dengan hawa nafsu, hatinya tidak terlepas dari pada menoleh kepada rupa yang manis. Dari itu, sya'irnya tidak bergerak dari jiwanya, kecuali ia terpaut padanya. Maka berkobarlah api hawa nafsu padanya. Lalu mereka berteriak dan menari nari.

Kebanyakan yang demikian atau seluruhnya, membawa kepada semacam kerusakan. Dari itu, tidaklah seharusnya dipakai sya'ir kecuali ada padanya pengajaran atau hikmah untuk jalan petunjuk dan pelunakan hati.Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم إن من الشعر لحكمة
(Inna minasy syi'riiahikmah).
Artinya :"Sesungguhnya sebahagian dari syair itu mengadung hikmah!".( Dirawikan Al-Bukhari dari Ubal bin Ka'ab)


Halaman 109.

Jika majlis itu dihadliri orang-orang tertentu yang mempunyai perhatian kepada ketenggelaman hati dengan cinta kepada Allah Ta'ala dan tak ada golongan lain dalam majlis tersebut, maka bagi mereka tak ada melaratnya sya'ir itu, yang dhahiriyahnya menunjukkan kepada hubungan sesama makhluk. Karena pendengarnya dapat menempatkan apa yang didengarnya menurut panggilan hatinya, sebagaimana akan diterangkan nanti pada "Kitab Pendengaran". Dan karena itulah Al-Junaid ra. berbicara kepada lebih kurang sepuluh orang. Kalau mereka sudah banyak, ia tidak berbicara. Dan tidaklah pernah sekali-kali yang menghadliri majlisnya sampai dua puluh orang.

Tentang datang serombongan orang banyak ke pintu rumah Ibnu Salim, lalu dikatakan kepadanya : "Berbicaralah! Telah datang teman-teman tuan".

Ibnu Salim menjawab : "Tidak! Mereka bukan temanku. Mereka adalah teman-teman majlis. Sesungguhnya teman-temanku, ialah orang-orang tertentu (orang-orang al-khawash).

Adapun asy-syathah (do'a-do'a dan kata-kata yang tidak dipahami), maka yang kami maksudkan, ialah dua jenis perkataan, yang diadakan oleh sebahagian kaum shufi.

A.
 ialah do'a-do'a yang panjang yang berbentang tentang keasyikan (kerinduan) bersama Allah Ta'ala dan hubungan yang tidak memerlukan kepada amal dzahiriyah. Sehingga golongan itu berkesudahan kepada mendakwakan al-ittihad (bersatu dengan Allah)terangkat hijab, penyaksian dengan melihat Tuhan dan bercakap-cakap dengan pembicaraan. Lalu mereka mengatakan : "Dikatakan kepada kami demikian. Dan kami mengatakan demikian".

Mereka menyerupakan pada yang demikian itu, dengan Husain bin Mansur Al-Hallaj yang telah dihukum gantung, lantaran diucapkannya kata-kata yang sejenis dengan itu. Dan mereka mem-buktikan yang demikian dengan ucapan Al-Hallaj : 'Anal-haqq" (akulah al-haqq, yakni : yang maha benar, salah satu dari nama Allah Ta'ala).
Dan dengan apa yang diceritakan dari Abi Yazid Al-Bustami, bahwa Abi Yazid mengatakan : "Subhani-subhani (maha suci aku maha suci aku)".

Ini adalah semacam perkataan, yang amat besar bahayanya pada orang awwam. Sehingga segolongan dari kaum tani meninggalkan pertaniannya dan melahirkan dakwaan seperti yang tersebut.

Sesungguhnya perkataan itu dirasakan enak oleh tabiat manusia. Karena padanya membatalkan amal (tak usah amal lagi), serta mensucikan diri (jiwa) dengan memperoleh maqam-maqam (derajat-derajat) tinggi dan hal ikhwal yang baik. Maka orang-orang bodoh tidak lemah dari pada mendakwakan yang demikian bagi diri mereka dan dari pada menerima kata-kata yang tak berketentuan, yang penuh dengan hiasan kata-kata.

Manakala mereka ditantang dari yang demikian, maka mereka tidak merasa lemah untuk mengatakan : "Ini adalah tan tangan, yang sumbernya ilmu dan pertengkaran. Ilmu itu dinding dan pertengkaran itu perbuatan diri. Dan pembicaraan ini tidak mengisyaratkan, selain dari bathin dengan terbukanya nur kebenaran".
Maka hal yang tersebut dan yang seperti dengan yang tersebut itu, daripada yang telah beterbangan kejahatannya dalam negeri dan besar melaratnya pada orang awwam, sehingga orang yang menuturkan dengan sedikit dari padanya, maka membunuhnya adalah lebih baik pada agama Allah, dari pada menghidupkan sepuluh dari padanya.
Mengenai Abi Yazid Al-Bustami ra. yang tersebut di atas, maka tak benar mengenai apa yang diceriterakan terhadap dirinya.Sekiranya benar ucapan tersebut pernah terdengar daripadanya, maka adalah itu, ia menceriterakan dari Allah 'Azza wa Jalla tentang perkataan yang diulang-ulangiNya pada diriNya.

Seumpama bila terdengar ia mengatakan : "lnnanii anallaah, laa ilaaha illaa ana fa'budnii (Sesungguhnya aku adalah aku itu Allah, tiada yang disembah selain aku, maka sembahlah aku) (Thaha, ayat 14), maka perkataan tersebut hendaklah dipahamkan, tidak lain daripada pembaca-an dari firman Allah Ta'ala.

B. Dimaksudkan dari perkataan syathah itu, kata-kata yang tidak dipahami, tampaknya menarik, dengan susunan yang mengagumkan. Sedang dibalik itu tak ada faedahnya sama sekali.

Tidak dapat dipahami itu, adakalanya oleh yang mengucapkannya sendiri, karena timbulnya dari gangguan pikiran dan kekacau-balau-an khayalan, disebabkan kurang mendalami maksud kata-kata yang menarik perhatiannya itu. Dan inilah yang terbanyak!.

Dan adakalanya dapat dipahami,tetapi tidak sanggup memahaminya dan mendatangkannya dengan kata-kata yang menunjukkan isi hatinya. Karena kurang berpengetahuan dan tidak mempelajari cara melahirkan sesuatu maksud dengan susunan kata yang menarik.

Perkataan yang semacam inipun tak ada faedahnya, selain daripada mengacau-balaukan jiwa, mengganggu pikiran dan membawa keraguan hati. Ataupun dipahaminya menurut maksud yang sebenarnya, tetapi pemahaman itu didorong oleh hawa nafsu dan kepentingan diri sendiri.

Halaman 111

Bersabda Nabi saw. :
ما حدث أحدكم قوما بحديث لا يفقهونه إلا كان فتنة عليهم
(Maa haddatsa ahadukum qauman bihadiitsiin laa yafqahuunahu illaa kaana fitnatan 'alaihim).
Artinya :"Tidaklah seseorang daripada kamu, menerangkan sesuatu hadits (sesuatu persoalan) kepada segolongan manusia yang tiada memahaminya, selain daripada mendatangkan fitnah kepada mereka itu
. (Dirawikan Al-'Uqaili dan Abu Na'im dari Ibnu Abbas, dengan isnad dia'if.)

Dan bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم
كلموا الناس بما يعرفون ودعوا ما ينكرون أتريدون أن يكذب الله ورسوله
(Kallimunnaasa bimaa ya'rifuuna wa da'uu maa yankiruuna aturii-duuna an yakdziballaahu wa rasuuluh).
Artinya :"Berbicaralah dengan orang banyak dengan kata-kata yang dapat dipahaminya dan tinggalkanlah persoalan yang ditantang mereka. Adakah kamu bermaksud bahwa berdusta Allah dan RasulNya (
HR.Al-Bukhari mauquf (terhenti) sampai kepada Ali)

Dan Ini mengenai yang dapat dipahami oleh yang mengucapkannya sendiri. Tetapi tidak sampai dapat dipahami oleh otak yang mende-ngamya. Maka betapa pula yang tidak dipahami oleh yang mengucapkannya sendiri?.
Jikalau dipahami oleh yang mengucapkannya tetapi tidak oleh yang mendengarnya, maka tidak boleh diucapkan.

Berkata Nabi Isa as, : "Janganlah kamu letakkan ilmu hikmah pada bukan ahlinya maka kamu berbuat aniaya kepada ilmu hikmah itu. Dan janganlah kamu larang pada ahlinya maka kamu berbuat aniaya kepada ahlinya itu. Hendaklah kamu seperti seorang tabib yang penuh kasih sayang, yang meletakkan obat pada tempatnya penyakit!'

Menurut susunan yang lain, sabda Nabi Isa itu berbunyi : "Barang siapa meletakkan ilmu hikmah pada bukan ahlinya, maka dia itu orang bodoh. Dan barang siapa melarang pada ahlinya maka dia itu berbuat aniaya. Ilmu hikmah itu mempunyai hak dan ahlinya. Dari itu berilah kepada semua yang berhak akan haknya".

Adapun thammat (pemutaran perkataan-perkataan agama), maka termasuk di dalamnya apa yang kami sebutkan mengenai syathah. Dan suatu hal lain yang khusus dengan thammat itu, yaitu pemutaran perkataan-perkataan agama dari dhahirnya yang mudah dipahami, kepada urusan bathiii yang tidak ada padanya menonjol faedahnya. Seumpama kebiasaan golongan kebathinan memutar-balikkan maksud.

Ini juga haram dan melaratnya besar. Karena perkataan-perkataan itu apabila diputar dari tujuan dhahiriahnya, tanpa berpegang teguh padanya, menurut yang dinukilkan dari Nabi saw. dan tanpa suatu kepentingan yang diperlukan sepanjang petunjuk akal pikiran, maka yang demikian itu, membawa hilang kepercayaan kepada perkataan itu sendiri. Dan lenyaplah kegunaan kalam Allah Ta'ala dan kalam RasulNya saw. Lalu apa yang segera terbawa kepada pemahaman, tidaklah dapat dipercayai lagi dan yang bathin itu tak ada ketentuan baginya. Tetapi timbullah pertentangan dalam hati dan memungkinkan penempatan perkataan itu ke dalam beberapa corak.Ini juga termasuk ke dalam bid'ah yang telah berkembang dan besar kerugiannya.

Sesungguhnya tujuan dari orang-orang pembuat thammat itu ialah menciptakan yang ganjil. Karena jiwa manusia, adalah condong kepada yang ganjil dan merasa enak memperoleh yang ganjil.

Dengan cara yang tersebut, sampailah kaum kebathinan itu meruntuhkan semua syari'at, dengan penta'wilan dhahiriahnya dan menempatkannya menurut pendapat mereka itu sendiri, sebagaimana telah kami ceriterakan mengenai madzhab-madzhab kaum kebathinan itu dalam kitab 'Al-Mustadhhari' yang dikarang untuk menolak golongan tersebut.

Contoh pemutarbalikan (penta'wilan) golongan thammat itu, di antara lain, kata setengah mereka, tentang penta'wilan firman Allah Ta'ala :
اذْهَبْ إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى
(Idzhab ilaa fir'auna innahuu thaghaa)
Artinya :"Pergilah kepada Fir'aun itu, sesungguhnya dia itu durhaka".(Thaha, ayat 24).

Bahwa itu adalah isyarat kepada hatinya. Dan mengatakan bahwa hatilah yang dimaksud dengan Fir'aun itu. Dan hatilah yang durhaka pada tiap-tiap manusia.

Firman Allah Ta'ala :Lalu perkataan tongkat itu diputar kepada tiap-tiap sesuatu tempat bersandar dan berpegang selain dari Allah Ta'ala.
 Itulah yang harus dicampakkan dan dibuang jauh.
Dan pada sabda Nabi saw. :
تسحروا فإن في السحور بركة
(Tasabharuu fa-inna fis suhuuri barakatan).
Artinya :"Bersahurlah kamu! Karena pada sahur itu ada b
arokahnya".

Lalu diputarkan kepada meminta ampun kepada Tuhan pada waktu sahur, bukan lagi maksudnya makan sahur itu sendiri (Dirawikan Al-Bukhari dan Muslim dari Anas)

Dan contoh-contoh yang lain, di mana mereka memutar-balikkan Al-Qur-an dari awalnya sampai akhirnya, dari artinya yang dhahir dari penafsirannya, yang diterima dari Ibnu Abbas dan ulama-ulama besar lainnya.Setengah dari pemutar-balikan itu, dapat diketahui batilnya dengan terang seumpama meletakkan arti Fir'aun kepada hati: Karena Fir'aun itu adalah seorang manusia yang bisa dilihat, yang mutawa-tir sejarah menyatakan adanya, di mana Nabi Musa as. menyeru-kannya kepada agama seperti Nabi Muhammad saw. menyerukan Abu Jahal dan Abu Lahab serta kafir-kafir lain kepada agama Islam. Dan tidaklah Fir'aun itu sejenis setan atau malaikat yang tidak bisa dilihat dengan pancaindra, sehingga memerlukan pemutaran pada kata-katanya. Dan demikian pula membawa makan sahur kepada meminta ampun pada Tuhan karena Nabi saw. sendiri makan sahur.


وَأَنْ أَلْقِ عَصَاكَ
Artinya :"Dan campaklah tongkatmu". (. Al-Qashash, ayat 31),
(Wa-an alqi 'ashaaka) (S. Al-Qashash, ayat 31).

Dan bersabda :تسحرو "Bersahurlah!". هلموا إلى الغذاء المبارك Dan "Marilah kita kepada makanan yang mengandung berkat ini'". (104)

Semuanya itu, dapat diketahui dengan berita yang mutawatir dan dapat dipersaksikan kebatilannya. Sebahagian dapat diketahui dengan berat dugaan. Yaitu yang tidak dapat dipersaksikan oleh pancaindra.
Semua yang diterangkan tadi adalah haram hukumnya, menyesat-kan dan merusakkan agama rakyat. Tiada satupun daripadanya diterima dari shahabat, dari tabi'in dan dari Al-Hasan Al-Bashri, yang bertekun melaksanakan da'wah dan pengajaran kepada rakyat banyak. Maka bagi sabda Nabi صلى الله عليه وسلم
 من فسر القرآن برأيه فليتبوأ مقعده من النار

(Man fassaral Qur-aana bira'yihi falyatabawwa' maq'adahu minan naar).
Artinya :"Barangsiapa menafsirkan Al-Qur-an menurut pendapatnya sendiri maka disediakan untuknya suatu tempat dari api neraka ", (At-Tirmidzi dari Ibnu Abbas)

Tiada jelas pengertiannya selain dari cara inilah! Yaitu maksud dan pendapatnya, adalah menetapkan dan membuktikan sesuatu, lalu menarik penyaksian Al-Qur-an kepadanya serta membawa Kitab Suci di luar petunjuk kata-kata, baik menurut bahasanya atau menurut yang dinukilkan (naqliah/riwayat).

Dan tiada seyogialah dipahamkan dari penjelasan di atas tadi, bahwa Al-Qur-an tidak boleh ditafsirkan, dengan menggunakan pemahaman yang mendalam dan pemikiran. Karena diantara ayat-ayat suci yang diterima dari para shahabat dan ulama tafsir itu, ada yang mempunyai lima, enam dan sampai tujuh pengertian. Dan semuanya itu tidaklah didengar dari Nabi saw. Kadang-kadang ada yang berlawanan, yang tidak dapat menerima pengumpulan (disatukan maksud).
Maka, dipakailah pemikiran dan pemahaman dengan maksud yang baik dan mendalam. Dari itu berdo'alah Nabi saw. kepada Ibnu

Artinya :
"Dan campaklah tongkatmu". (S. Al-Qashash, ayat 31),
Dan bersabda :تسحرو "Bersahurlah!". هلموا إلى الغذاء المبارك Dan "Marilah kita kepada makanan yang mengandung berkat ini'". (Dawud, An-Nasa'i dan Ibnu Hibban)

Semuanya itu, dapat diketahui dengan berita yang mutawatir dan dapat dipersaksikan kebatilannya. Sebahagian dapat diketahui dengan berat dugaan. Yaitu yang tidak dapat dipersaksikan oleh pancaindra.
Semua yang diterangkan tadi adalah haram hukumnya, menyesat-kan dan merusakkan agama rakyat. Tiada satupun daripadanya diterima dari shahabat, dari tabi'in dan dari Al-Hasan Al-Bashri, yang bertekun melaksanakan da'wah dan pengajaran kepada rakyat banyak.

Maka bagi sabda Nabi صلى الله عليه وسلم
من فسر القرآن برأيه فليتبوأ مقعده من النار
(Man fassaral Qur-aana bira'yihi falyatabawwa' maq'adahu minan naar).
Artinya :"Barangsiapa menafsirkan Al-Qur-an menurut pendapatnya sendiri maka disediakan untuknya suatu tempat dari api neraka ", (At-Tirmidzi dari Ibnu Abbas)

tiada jelas pengertiannya selain dari cara inilah! Yaitu maksud dan pendapatnya, adalah menetapkan dan membuktikan sesuatu, lalu menarik penyaksian Al-Qur-an kepadanya serta membawa Kitab Suci di luar petunjuk kata-kata, baik menurut bahasanya atau menurut yang dinukilkan (naqliah).

Tiada seyogialah dipahamkan dari penjelasan di atas tadi, bahwa Al-Qur-an tidak boleh ditafsirkan, dengan menggunakan pemahaman yang mendalam dan pemikiran. Karena diantara ayat-ayat suci yang diterima dari para shahabat dan ulama tafsir itu, ada yang mempunyai lima, enam dan sampai tujuh pengertian. Dan semuanya itu tidaklah didengar dari Nabi saw. Kadang-kadang ada yang berlawanan, yang tidak dapat menerima pengumpulan (disatukan maksud).

Maka, dipakailah pemikiran dan pemahaman dengan maksud yang baik dan mendalam. Dari itu berdo'alah Nabi saw. kepada Ibnu Abbas ra. :

ولهذا قال صلى الله عليه وسلم لابن عباس رضي الله عنه : اللهم فقهه في الدين وعلمه التأويل

Abbas ra. : "Ya Allah Tuhanku! Berilah kepadanya (Ibnu Abbas) paham dalam agama dan ajarilahdia penta'wilan (penafsiran)!(H.R. Al-Bukhari dari Ibnu Abbas)

Barang siapa membolehkan dari golongan thammat, menggunakan pemutar-balikan seperti itu serta diketahuinya bahwa yang demikian tidaklah yang dimaksud dengan perkataan-perkataan itu dan mendakwakan bahwa tujuannya ialah mengajak manusia kepada Tuhan, maka sikap yang demikian itu, samalah halnya dengan o-rang yang membolehkan membuat-buat dan mengada-adakan sesuatu terhadap Nabi saw. karena berdasarkan kebenaran tetapi tidak diucapkan oleh agama, seperti orang yang mengada-adakan hadits Nabi saw. dalam suatu persoalan yang dipandangnya benar..

Tindakan yang seperti itu, adalah suatu kedhaliman dan kesesatan serta termasuk ke dalam peringatan Nabi saw. yang dipahami dari sabdanya :

من كذب علي متعمدا فليتبوأ مقعده من النار
(Man kadzaba "alayya muta'ammidan fal yatabawwa maq'adahu minannaar).
Artinya :"Barang siapa berbuat dusta kepadaku dengan sengaja maka ia telah menyediakan tempatnya dari api neraka". (
HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abi Hurairah, Ali dan Anas.)

Bahkan adalah amat besar kejahatan dengan memutarbalikkan kata-kata itu. Sebab menghilangkan kepercayaan kepada kata-kata itu sendiri dan melenyapkan jalan untuk memperoleh faedah dan pemahaman dari Al-Quran keseluruhannya.

Maka tahulah kita betapa setan itu memutar-balikkan alat-alat da'wah dari ilmu yang terpuji kepada yang tercela. Semuanya itu adalah perbuatan ulama-ulama jahat dengan menggantikan maksud kata-kata itu.
Jika anda mengikuti mereka karena berpegang kepada nama yang termasyhur itu, tanpa memperhatikan kepada apa yang diketahui pada masa pertama dari Islam, maka adalah anda seumpama orang yang ingin memperoleh kemuliaan dengan ilmu hikmah, lalu mengikuti siapa saja yang bemama ahli hikmah. Sedang nama ahli hikmah dipakai untuk tabib, penyair dan ahli nujum pada masa sekarang. Dan itu adalah disebabkan kelengahan, dari penukaran kata-kata itu.

Lapaz yang ke lima: HIKMAH.

Nama ahli hikmah (al-hakim) ditujukan kepada tabib, penyair dan ahli nujum, sehingga juga kepada orang yang memutar-mutarkan undian pada tangan di tepi jalan besar.Hikmah ialah suatu hal yang dipuji Allah Ta'ala dengan firmannya : يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا
Artinya :"DianugerahiNya Hikmah kepada siapa yang dikehendakiNya dan barang siaph dianugerahi hikmah maka dia telah dianugerahi banyak kebajikan ".
(Al-Baqarah, ayat 269).

Dan sabda Nabi saw. :وقال صلى الله عليه وسلم : كلمة من الحكمة يتعلمها الرجل خير له من الدنيا وما فيها

(Kalimatun minal hikmati yata'allamuharrajulu khairun minaddun-yaa wa maa fiihaa).
Artinya :"Satu kalimat dari hikmah yang dipelajari oleh seseorang, adalah lebih baik baginya daripada dunia serta isinya(hadits ini terhenti (mauqu') pada AJ-Hasan Al-Sashari).

Perhatikanlah, apakah yang diperkatakan tentang hikmah itu dan kemanakah ditujukan! Kemudian bandingkanlah dengan kata-kata yang lain! Dan jagalah diri dari tertipu dengan keragu-raguan yang dibuat oleh ulama-ulama jahat! Karena kejahatan mereka kepada agama adalah lebih besar dari kejahatan setan. Sebab dengan pe-rantaraan ulama-ulama jahat itu, setan beransur-ansur mencabut agama dari hati orang banyak.

Karena itulah, tatkala ditanyakan kepada Nabi saw. tentang orang yang paling jahat, beliau enggan menjawab seraya berdo'a : اللهم اغفر "Allaahumma ghafran" (Ya Tuhan! Ampunilah!). Sehingga setelah berkali-kali ditanyakan, lalu beliau menjawab : "Mereka itu ialah ulama jahat هم علماء السوء ". (Ad-Oarimi dari Ai-Ahwash bin Hakim, dari ayahnya, hadits mursal)

Maka tahulah sudah anda akan ilmu yang terpuji dan ilmu yang tercela serta yang meragukan diantara keduanya. Dan terserahlah kepada anda sendiri untuk memilih, demi kepentingan diri anda sendiri, mengikuti ulama terdahulu (ulama salaf) atau terpesona dengan penipuan lalu terpengaruh dengan ulama terkemudian (ulama khalaf).Segala ilmu yang mendapat kerelaan dari ulama salaf, sudah tertim-bun. Dan apa yang menjadi perpagangan manusia sekarang, sebahagian besar dari padanya adalah bid'ah yang diada-adakan. Benar lah kiranya sabda Nabi saw. :صلى الله عليه وسلم: بدأ الإسلام غريبا وسيعود غريبا كما بدأ فطوبى للغرباء فقيل ومن الغرباء قال الذين يصلحون ما أفسده الناس من سنتي والذين يحيون ما أماتوه من سنتي (Bada-allslaamu ghariiban wa saya uudu ghariiban kamaa bada'a fa-thuubaa lilghurabaa-i).
Artinya :"Mulanya Islam itu adalah asing dan akan kembali asing seperti semula. Maka berbuat baiklah kepada orang-orang asing itu!". (
H.R. Muslim dari Abi Huraira)

Maka ditanyakan kepada Nabi saw. : "Siapakah orang-orang asing itu?".
Nabi menjawab : "Mereka yang memperbaiki apa yang telah dirusakkan manusia dari sunnahku dan mereka yang menghidupkan apa yang telah dimatikan manusia dari sunnahku".

Pada hadits yang lain tersebut :

هم المتمسكون بما أنتم عليه اليوم "Orang-orang asing itu, berpegang teguh dengan apa yang kamu pegang sekarang".
Pada hadits lain lagi tersebut :الغرباء ناس قليل صالحون بين ناس كثير ومن يبغضهم في الخلق أكثر ممن يحبهم "Orang-orang asing itu adalah manusia yang sedikit jumlahnya, orang-orang baik diantara manusia banyak. Yang memarahi mereka lebih banyak daripada yang mencintainya". (
H.R. Ahmad dari Abdullah bin 'Amr)

Ilmu-ilmu itu telah menjadi asing. Orang yang mengingatinya dimaki. Karena itu, berkatalah Ats-Tsuri ra, : "Apabila engkau melihat orang 'alim itu banyak teman maka ketahuilah bahwa dia itu bercampur. Karena jika kebenaran yang dikemiikakannya maka dia akan dimarahi".


Penjelasn tentang  Kadar terpuji dari ilmu yang terpuji.

Ketahuilah bahwa dengan memandang yang di atas tadi maka ilmu itu tiga bahagian :

A. Satu bahagian yaitu yang tercela sedikitnya dan banyaknya :
B. Satu bahagian yaitu terpuji sedikitnya dan banyaknya. Semakin banyak semakin bertambah baik dan utama ;
C. Satu bahagian yang terpuji dari padanya sekedar kifayah (mencukupi) saja. Tidak terpuji yang berlebih dan yang mendalam dari padanya.

Hal itu seumpama keadaan tubuh manusia. Diantaranya ada yang terpuji sedikitnya dan banyaknya seperti kesehatan dan kecantik-an. Diantaranya ada yang tercela sedikitnya dan banyaknya seperti keburukan dan kejahatan budi. Dan diantarannya ada yang ter puji kesederhanaan padanya seperti memberi harta. Kalau boros tidak terpuji walaupun ia memberi juga. Dan seperti berani. Kalau berani membabi buta tidak terpuji walaupun ia termasuk sebangsa berani juga. Maka seperti itu pulalah ilmu.

Maka bahagian yang tercela sedikitnya dan banyaknya, yaitu yang tak adalah faedah padanya, pada agama dan dunia. Karena kemelaratannya mengalahkan kemanfa'atannya seperti ilmu sihir, mantera dan nujum. Sebahagiannyapun tak ada faedah padanya sekali-kali. Menyerahkan umur yang amat berharga yang dimiliki manusia kepada ilmu itu, adalah menyia-nyiakan. Dan menyia-nyiakan yang amat berharga itu, adalah tercela,

Diantara ilmu itu ada yang memberi melarat melebihi dari dugaan, akan memberi hasil untuk keperluan duniawi. Ilmu yang semacam itu tidak juga masuk hitungan, dibandingkan kepada kemelaratan yang timbul dari padanya.

Adapun ilmu yang terpuji setinggi-tingginya ialah ilmu mengenai Allah Ta'ala, sifatNya, af'alNya, sunnahNya dalam menjadikan makhlukNya dan hikmahNya pada tertibnya akhirat di atas dunia.

Inilah ilmu yang dicari karena ilmu itu sendiri dan karena dengannya tercapai kebahagiaan akhirat. Menyerahkan tenaga dengan setinggi-tingginya kesungguhan hati untuk ilmu tadi, adalah di luar batas kewajiban. Ilmu itu adalah laut yang tak diketahui dalamnya. Para perenang hanya dapat merenangi pantai dan tepinya saja sekedar yang mungkin ditempuhnya. Tak dapat menempuh segala tepinya, selain para .nabi dan waii serta para ahli ilmu menurut tingkat masing-masing yang berbeda kesanggupan dan berlebih-kurang taqdir yang dianugerahi Allah Ta'ala.

Itulah ilmu maknun (ilmu yang tersembunyi) yang tidak ditulis di halaman kitab. Yang menolong untuk mengetahuinya ialah dengan jalan belajar dan menyaksikan perihal keadaan ulama akhirat, sebagaimana akan datang tanda-tanda mereka.


Dan yang menolong kepadanya mengenai akhirat, ialah kesungguhan (mujahadah), latihan (riadlah), kebersihan hati, kebebasan hati dari segala ikatan duniawi dan mencontoh kepada nabi-nabi dan wali-wali, supaya jelas bagi tiap-tiap orang yang pergi mencarinya, sekedar rezeki yang dianugerahkan Tuhan. Tidak sekedar kesungguhan, walaupun kesungguhan itu harus ada.

Mujahaddah/Kesungguhan itu, adalah kunci petunjuk. Tak ada baginya kunci, selain dari kesungguhan itu,
Adapun ilmu, yang tidak terpuji melainkan sekedar yang tertentu saja daripadanya, ialah ilmu yang telah kami bentangkan dalam golongan ilmu fardiu kifayah.

Sesungguhnya pada tiap-tiap ilmu pengetahuan itu ada yang singkat, yaitu yang sekurang-kurangnya. Ada yang sedang yaitu di tengah-tengah dan ada yang lebih jauh lagi dari yang sedang itu. Itu tidak terselesai sampai akhir hayat.

Jadilah kamu salah seorang dari dua,
1. Adakalanya berusaha untuk diri sendiri
2. Adakalanya berusaha untuk orang lain sesudah menyelesaikan yang untuk diri sendiri itu.
Awaslah  kamu dari sibuk  untuk orang lain sebelum siap untuk diri sendiri.Kalau berusaha untuk diri sendiri maka janganlah berusaha selain dengan ilmu yang diwajibkan kepada kita menurut keadaan kita dan yang berhubungan dengan amal dhahiriyah kita seperti mempelajari shalat, bersuci dan berpuasa.

Ilmu yang terpenting yang disia-siakan oleh semua orang, ialah ilmu sifat hati, yang terpuji dan yang tercela daripadanya. Karena tidak ada manusia yang terlepas dari sifat yang tercela seperti loba, dengki, ria, takabur, sombong dan sebagainya.

Se
luruhnya itu membinasakan. Menyianyiakan kewajiban tadi serta mementingkan amal dhahiriyah, samalah halnya dengan melakukan perbuatan menggosok badan dhahir ketika menderita penyakit ku-dis dan bisul dan melupakan mengeluarkan benda penyakit dari tubuh dengan bekam dan cuci perut.

Ulama kosong, menunjukkan jalan kepada amal dhahiriyah, seperti tabib-tabib di jalanan, menunjukkan jalan dengan menggosok badan dhahiriyah.

Ulama akhirat, tidak menunjukkan jalan selain dengan mensucikan bathin, mencabut benda-benda jahat yang merusakkan tanaman dan akar-akarnya dari hati.

Orang kebanyakan menempuh amal dhahiriyah, tidak amalan bathin, dengan mensucikan hati nurani, adalah disebabkan amal dhahiriyah itu mudah. Sedang amalan hati itu sukar seperti orang yang merasa payah meminum obat yang pahit lalu menempuh kepada menggosok badan dhahir. Maka terus-meneruslah ia payah menggosok dan bertambah pada benda-benda yang digosokkan, sedang panyakitnya terus bertambah juga.

Jika
kamu  menghendaki akhirat, mencari kelepasan dan melarikan diri dari kebinasaan abadi maka berusahalah mempelajari ilmu penyakit bathin dan cara mengobatinya, menurut cara yang kami uraikan pada Bahagian Yang Membinasakan. Kemudian, sudah pasti, hal yang demikian itu membawa anda kepada tempat yang terpuji, yang tersebut nanti pada Bahagian ang Melepaskan.

Sesungguhnya, hati apabila kosong dari sifat yang tercela, maka penuhlah dia dengan sifat yang terpuji. Dan bumi apabila telah bersih daripada rumput, maka tumbuhlah padanya bermacam-macam tumbuh-tumbuhan dan bunga-bungaan. Jika tidak kosong dari rumput, maka tidaklah tumbuh yang tersebut tadi.

Janganlah kamu menghabiskan waktu dengan fardiu kifayah, apalagi bila telah berdiri segolongan anggota masyarakat yang mengerjakannya. Orang yang mengorbankan dirinya sendiri untuk kebaikan orang lain, itu bodoh. Alangkah dungunya orang yang telah masuk ular dan kala ke bawah kain bajunya dan akan membu-nuhnya, lalu ia mencari alat pembunuh lalat untuk membunuh lalat itu pada orang lain, yang tidak akan menolong dan melepas-kannya dari ular dan kala itu.


Jika Kamu telah selesai dari urusan diri sendiri dan diri anda itu telah bersih dan sanggup meninggalkan dosa dhahir dan dosa bathin dan yang demikian itu telah menjadi darah daging dan kebiasaan yang mudah dikerjakan dan tidak akan ditinggalkan lagi, maka barulah anda bekerja dalam lapangan fardlu-kifayah dan peliharalah secara berangsur-angsur. Mulailah dengan Kitab Allah Ta'ala, kemudian dengan Sunnah Nabi saw., kemudian dengan ilmu tafsir dan lain-lain ilmu Al-Qur-an. Yaitu ilmu nasikh dan mansukhnya, mafshul, maushul, muhkam dan mutasyabihnya. Demikian juga dengan sunnah!.

Kemudian berusahalah dengan ilmu furu yaitu ilmu mengenai madzhab dari ilmu fiqih, tanpa membicarakan masalah khilafiah. Kemudian berpindah kepada ilmu Ushul fiqih. Demikianlah terus sampai kepada ilmu-ilmu yang Iain, selama nyawa masih dikandung badan dan selama waktu mengizinkan.

Janganlah
kamu  menghabiskan umur pada suatu pengetahuan saja dari pengetahuan-pengetahuan itu, karena hendak mendalaminya benar-benar. Sebab ilmu itu banyak dan umur itu pendek. Dan ilmu pengetahuan itu adalah alat dan pengantar. Dia tidaklah menjadi tujuan yang sebenarnya, tetapi sebagai alat untuk menuju kepada yang lain.Dan tiap-tiap yang dicari untuk tujuan yang lain, -maka tidaklah layak tujuan yang sebenarnya itu dilupakan, lalu diperbanyakkan yang dicari itu.

Mengenai Ilmu Bahasa umpamanya, singkatkanlah sekedar dapat memahami dan bahasa Arab itu. Dan dipelajari yang luar biasa dari ilmu bahasa itu untuk dapat dipahami yang
istilah yg asing  pula dari susunan Al-Qur-an dan Al-Hadits. Tlnggal-kanlah berdalam-dalam padanya dan singkatkanlah dari ilmu tata-bahasa (ilmu nahwu) itu sekedar yang berhubungan dengan Kitab Suci dan Sunnah Nabi!.

Tidak ada satu ilmupun, melainkan mempunyai yang ringkas, yang sedang dan yang mendalam. Kami tunjukkan tadi mengenai ilmu hadits, tafsir, fiqih dan ilmu kalam, untuk dapat diambil perbandingan kepada ilmu-ilmu yang lain.

Ilmu tafsir adalah, yang banyaknya duakali dari Kitab Suci Al-Qur-an sendiri, seumpama Tafsir yang disusun oleh 'Ali Al-Wahidi An-Naisaburi, yaitu "Al-Wajiz". Yang sedang , adalah sampai tiga kali dari Al-Qur-an sendiri seperti yang disusun oleh 'Ali Al-Wahidi yaitu "Al-Wasith". Dan di balik itu adalah secara mendalam yang tidak diperlukan benar dan tidak akan habis-ha-bisnya selama umur.

Adapun hadits, yang singkat padanya, adalah memperoleh apa yang ada dalam kitab "Shahih Al-Bukhari" dan "Shahih Muslim", dengan meminta pengesahan dari hadits yang dipelajari itu kepada seorang yang berilmu dengan matan (kata-kata) hadits itu.

Mengenai perawi-perawi dari hadits itu, maka anda cukupkan saja-lah dengan perawi-perawi sebelum anda sendiri, dengan berpegang kepada kitab-kitab yang ditulis mereka. Tak perlulah kiranya anda menghafal seluruh hadits yang ada dalam kedua "Shahih" itu. Tetapi berusahalah, sehingga apabila memerlukan kepadanya, maka sanggup mencarinya dalam Kitab Hadits yang tersebut tadi.

Mengena
p  yang sedang pada Hadits ialah dengan menambah kepada kitab shahih yang dua di atas, hadits-hadits yang terdapat dalam kitab-kitab musnad yang shahih.
Adapun yang meluas dan mendalam ialah di balik yang tadi, sehingga melengkapi kepada seluruh hadits yang diterima, baik yang dla'if, yang kuat, yang syah dan yang bercacat serta mengetahui pula cara-cara penerimaan hadits itu, keadaan orang-orang yang menjadi perawi hadits, namanya dan sifatnya.

Adapun fiqih, yang singkat padanya ialah apa yang terkandung dalam kitab "Mukhtashar" karangan Al-Mazani ra., kitab mana telah kami susun dalam "Khulashah Al-Mukhtashar".
Yang sedang pada fiqih ialah yang sampai tiga kali banyaknya dari Mukhtashar Al-Mazani, yaitu kira-kira sama dengan isi kitab "Al-Wasith minal madzhab" karangan kami.
Dan yang mendalam ialah melebihi dari apa yang kami muatkan dalam "Al-Wasith" tadi dan seterusnya sampai kepada kitab yang besar-besar.Adapun ilmu kalam, maka maksudnya ialah menjaga 'aqidah yang dinukilkan Ahlus sunnah dari ulama salaf yang shalih. Tak lain dari itu.


Dan dibalik itu, ialah mempelajari untuk menyingkap? Hakikat dari segala sesuatu, tanpa cara tertentu.
Yang dimaksud dengan memelihara "aqidah yang dinukilkan ahlus sunnah itu, ialah mencapai tingkat yang ringkas dari padanya dengan "aqidah yang ringkas. Yaitu sekedar yang kami muatkan dalam kitab "Kaidah-kaidah I'tikad",
Qawa’Idul’aqa-id.. yang termasuk dalam jumlah Kitab besar ini.

Yang sedang pada ilmu kalam ialah yang sampai kira-kira seratus lembar buku, yaitu sekedar yang kami muatkan dalam kitab "Al-Iqtishad fil I'tiqad".

Pengetahuan sebanyak tali diperlukan untuk melawan tukang bid'ah dan menentang bid'ah yang diada-adakan. Sebab merusakkan dan menghilangkan 'aqidah yang benar dari hati orang awwam.

Usaha tadi tidak ada gunanya, kecuali terhadap orang awwam yang belum fanatik benar.

Terhadap pembuat bid'ah itu sendiri apabila ia sudah mengerti berdebat meskipun sedikit, maka tak ada gunanya lagi berbicara dengan dia. Sebab, walaupun anda telah mematahkan semua keterangannya, dia tidak akan meninggalkan madzhab yang dianutnya. Tetapi dialihnya kepada alasan bahwa dia sendiri yang kekurangan keterangan, sedang pada orang lain dari golongannya, masih ada jawaban dan dalil yang cukup. Jadi, hanya anda saja yang berhadap-an dengan dia, dengan kekuatan perdebatan'yang cukup.

Adapun orang awwam, apabila telah berpaling dari kebenaran dengan menggunakan perdebatan, maka masih mungkin diajak kembali kepada kebenaran itu, sebelum bersangatan benar fanatiknya kepada hawa nafsunya. Kalau sudah, maka putuslah harapan me-ngembalikannya. Sebab fanatik adalah suatu unsur yang membawa kepercayaan itu melekat ke dalam jiwa. Dan fanatik itu adalah setengah dari penyakit ulama jahat. Karena ulama jahat itu, bersangatan benar fanatiknya kepada apa yang dianggapnya benar. Dan memandang kepada golongan yang berbeda paham dengan mereka, dengan pandangan menghina dan mengejek. Maka menon-jollah sifat-sifat ingin menentang dan berhadapan. Dan bangkitlah gerakan membela yang batil itu. Dan kokoh kuatlah maksud mereka untuk berpegang teguh kepada apa yang tersebut tadi.

Jikalau sekiranya mereka datang dari segi lemah-lembut dan kasih sayang serta nasehat-menasehati secara berbisik, tidak dalam tontonan ,dan hina menghina nescaya mereka itu mendapat kemenangan.


Tetapi tatkala kemegahan itu tidak'tegak selain dengan mempunyai pengikut dan pengikut itu tidak mudah diperoleh seperti mudah-nya memperoleh fanatik, kutukan dan cacian terhadap lawan, lalu diambilnyalah fanatik menjadi adat kebiasaan dan alat perkakas bagi mereka. Dan disebutnyalah, "untuk mempertahankan aga -ma dan kehormatan kaum muslimin". Pada hal sebenarnya adalah membawa kebinasaan kepada ummat manusia dan menetapkan bid'ah di dalam jiwa.

Adapun masalah khilafiah
/perbedaan  yang timbul pada masa akhir-akhir ini dan diadakan dengan merupakan karangan, susunan dan perdebatan, yang tak pernah dikenal contohnya pada ulama-ulama terdahulu, maka janganlah anda dekati. Tetapi jauhilah seumpama menjauhi diri dari racun yang membunuh. Sebab, itu adalah penyakit yang amat membahayakan.Penyakit itulah yang membawa seluruh ulama fiqhi (fuqaha') suka berlomba-lomba dan bermegah-megah, yang akan kami terangkan nanti, celaka dan bahayanya.

Mungkin terdengar orang mengatakan "Manusia itu musuh dari kebodohannya". Maka janganlah anda terpesona kepada kata-kata itu, nanti terperosok
Dari itu, terimalah nasehat ini dari orang yang sudah menghabiskan umurnya sekian lama dan menambahkan dari orang-orang terdahulu dengan karangan, pembuktian, perdebatan dan penjelasan. Kemudian diilhami Allah dengan petunjuk dan diperlihatkanNya kepada kekurangan diri, lalu berhijrah dan bekerja dengan.jiwa-raga.
Janganlah anda tertipu dengan perkataan orang yang mengatakan bahwa fatwa itu tiang syari'at dan tidak diketahui sebab-sebabnya melainkan dengan ilmu khilafiah.
Sebab-sebab dari madzhab adalah tersebut dalam madzhab itu sendiri. Dan penambahan dari padanya adalah merupakan perdebatan yang tidak dikenal oleh orang-orang terdahulu dan oleh para shahabat. Merekalah sebetulnya yang lebih mengetahui dengan sebab-sebab fatwa, dari orang-orang lain.


Bahkan perdebatan (mujadalah) itu, di samping tak ada faedahnya

Dalam ilmu madzhab adalah mendatangkan kemelaratan dan merusakkan rasa indah ilmu fiqih.
Orang yang menyaksikan terkaan seorang ahli fatwa (mufti) dalam memberikan fatwanya, apabila benar rasa indah perasaannya kepada fiqih, maka tak mungkinlah jalan pikirannya dalam banyak hal menyetujui syarat-syarat perdebatan itu.

Orang yang sifatnya sudah membiasakan perdebatan, maka hati nuraninya meyakini kepada tujuan perdebatan itu dan tidak berani lagi melahirkan perasaan indah ilmu fiqih.Orang yang berbuat serupa itu adalah mencari kemasyhuran dan kemegahan, dengan mempertopengkan ingin mempelajari sebab-sebab dari madzhab. Kadang-kadang umurnya habis di situ saja dan tak beralih cita-citanya kepada ilmu pengetahuan madzhab itu.
Maka peliharalah dirimu dari setan jin. Dan waspadalah dari setan manusia. Karena setan manusia itu memberi kesempatan beristira-hat bagi setan jin dari keletihan menipu dan menyesatkan.
Pendek kata, yang baik bagi orang yang berakal budi, ialah meng-umpamakan dirinya di alam ini sendirian beserta Allah. Dihadap-annya mati, bangkit, hisab amalan, sorga dan neraka.

Maka perhatikanlah apa yang engkau perlukan dihadapanmu kelak dan tinggal kanlah yang lainnya. Wassalam!.

Ada sebahagian syekh tasawwuf memimpikan sebagian ulama dalam tidumya, seraya menanyakan : "Apa kabar ilmu yang tuan perdebatkan dahulu dan pertengkarkan ?".Ulama itu membuka tangannya dan menghembuskannya seraya berkata : "Semuanya menjadi abu yang beterbangan. Tak ada yang berguna selain dari dua raka'at shalat yang aku kerjakan dengan ikhlas di tengah malam sepi".

Pada hadits tersebut : ما ضل قوم بعد هدى كانوا عليه إلا أوتوا الجدل
(Maa dlalla qaumun ba'da hudan kaanuu 'alaihi illaa uutul jadala).
Artinya :"Tak sesatlah sesuatu golongan sesudah ada petunjuk padanya selain orang-orang yang suka bertengka
r. (H.R. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah dari Abi Amamah. Kata At-Tlrmidzi)
Kemudian Nabi S.a.w Membaca

(Maa dlarabuuhu laka illaa jadala. Bal hum qaumun khashimuun).Artinya :"Mereka menimbulkan soal itu hanyalah untuk membantah saja. Sebenarnya, mereka adalah kaum yang suka bertengkar(Az-Zukhruf,58).

Mengenai firman Allah Ta'ala :فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ

(Fa ammalladziina fii quluubihim zaighun).Artinya :"Adapun orang-orang yang hatinya cenderung kepada kesalahan.(Ali 'Imran, ayat 7).

maka tersebutlah dalam suatu hadits bahwa : "orang-orang itu ialah mereka yang suka bertengkar yang diperingati Allah dengan FirmanNya :فَاحْذَرْهُ

(Fah dzarhum)Artinya :"Maka Waspadalah terhadap mereka itu".(Al-Munafiqun,4).

Berkata sebahagian salaf: "Akan ada pada akhir zaman suatu kaum yang menguncikan pintu amal dan membukakan pintu pertengkaran".

Pada sebahagian hadits tersebut: إنكم في زمان ألهمتم فيه العمل وسيأتي قوم يلهمون الجدل
Artinya:Sesungguhnya kamu berada pada suatu zaman yang diilhami dengan amal dan akan datang suatu kaum yang diilhami dengan pertengkaran (Menurut Ai-lraql, bahwa ia tidak pernah menjumpai hadits ini)
Pada suatu hadits yangterkenal tersebut:أبغض الخلق إلى الله تعالى الألد الخصم (Abghadlul khalqi ilallaahi ta'aalal aladdul khashmu).

Artinya :"Manusia yang amat dimarahi Allah Ta'ala ialah yang suka bertengkar". (H.R Al-Bukhari dan Muslim dari 'Aisyah ra)

Dan pada hadits lain :ما أتى قوم المنطق إلا منعوا العمل (Maa uutiya qaumul manthiqa illaa muni'ul 'amala). Artinya :"Tidak diberikan kepada suatu kaum akan bijak berkata-kata, kecuali mereka itu meninggalkan bekerja ". (Menurut Airaqi, ia tidak pernah menjumpai hadits ini)

.

Sumber ‘Ihya Ulumiddin Imam Al-Ghazali dari halaman 100 sampai 127
Wallahu'alam
Barakallahu Fikum 
Wasalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatu

 


 Bismillahirrahmanirrahim...
Allahumma shallii alaa Muhammad Nabiyyil ummi wa barik 'alaihi wasallim
Allahumma shallii 'alaa Muhammad Wa umma wabarik 'alaihi wasallim
Allahumma shallii 'alaa Muhammad Biadadi man shalla' alaihi wasallim
Allahumma shallii 'alaa Muhammad Biadadi man lam an yushalli 'alaihi wasallim
Allahumma shallii 'alaa Muhammad kama tuhibbu an yushalli 'alaihi wassallim
Allahumma shallii 'alaa Muhammad kama amarta an yushalli 'alaihi wasallim

Allahumma shallii 'alaa Muhammad kama yasbaqhis shalawatu 'alaihi wasallim.
Allahumma shalli 'alaa Muhammadin wa'ala ali Muhammadin kamasollaita'ala Ibrahim.
Wabarik'ala Muhammadin wa'ala ali Muhammadin kamabarakta'ala Ibrahima fil'alamin.
innaka hamidunmajid
amiin Ya Karim
amiin Ya Wahhab..amiin Ya "Alimun
.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Risalah Alladuniyah-Imam Ghazaly

Risalah Alladuniyah-Imam Ghazaly   1 Assalamu'alaikum Warahmatulahi Wabarakatu. Bismillahirrahmanirrahim Allahummashalli 'al...