Cari Blog Ini

Jumat, 20 Juni 2014

Ihya Ulummidiin (Bab 5 TATA KESOPANAN ORANG YANG BELAJAR (MURID) DAN ORANG YANG MENGAJAR (GURU)


Assalamu'alaikum Warahmatulahi Wabarakatu.

Bismillahirrahmanirrahim
Allahummashalli 'alaa Muhammad wa'alaa aalihi wa ashabihi wadlurriyatihi
washallim.
 



“Alhamdulillahi nasta’iinuhu wanastagh firuhu wana’uudzubillaahi min syuruuri anfusinaa waminsayyi ati a’ maalinaa man yahdihillahu falaa mudhilla lahu waman yudhlil falaa haadiya lahu, asyhadu anlaa ilaha illallaahu wah dahulaa syariikalahu wa asyhadu anna muhammadan ‘abduhuu warasuuluhu la nabiya ba’da.”

Ihya' Ulum al-Din

أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُه

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
بسم الله الرحمٰن الرحيم


HALAMAN 149

BAB LIMA

TATA KESOPANAN ORANG YANG BELAJAR (MURID) DAN ORANG YANG MENGAJAR (GURU)


Adapun pelajar, maka adab kesopanan dan tugasnya yang dhahir itu adalah banyak. Tetapi perinciannya adalah tersusun dalam sepuluh rumpun kata-kata.

1. Tugas pertama
Mendahulukan kesucian bathin dari kerendahan budi dan sifat-sifat tercela. Karena ilmu pengetahuan itu adalah kebaktian hati, shalat bathin dan pendekatan jiwa kepada Allah Ta'ala. Sebagaimana tidak syah shalat yang menjadi tugas anggota dhahir, kecuali dengan mensucikan anggota dhahir itu dari segala hadats dan najis,maka begitu pulalah, tidak syah kebaktian (ibadah) bathin dan kemakmuran hati dengan ilmu pengetahuan, kecuali sesudah sucinya ilmu itu dari kekotoran budi dan kenajisan sifat.

Bersabda Nabi صلى الله عليه وسلم
قال صلى الله عليه وسلم : بني الدين على النظافة
(Buniyaddiinu 'alannadhaafah).
Artinya :"Ditegakkan agama atas kebersihan".
(H R. Ath Thabrani dari Ibnu Mas’ud)

Yaitu dhahir dan bathin.

Berfirman Allah Ta'ala :
إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ
(Innamal musyrikuuna najasun).
Artinya :"Sesungguhnya orang musyrik itu najis". (At.taubah, ayat 28).
Firman Tuhan itu adalah memberitahukan kepada akal pikiran kita, bahwa kesucian dan kenajisan, tidaklah ditujukan kepada anggota dhahir yang dapat dikenal dengan pancaindera. Orang musyrik itu kadang-kadang kainnya bersih, badannya dibasuh, tetapi dirinya najis. Artinya: bathinnya berltlmuran dengan kotoran.

Sedang najis adalah diartikan dengan sesuatu yang tidak suka didekati dan diminta menjauhkan diri dari padanya. Kenajisan sifat bathin adalah lebih penting dijauhkan. Karena dengan kekotorannya sekarang, membawa kepada kebinasaan pada masa yang akan datang.
Dari itu, Nabi saw. Bersabda :
قال صلى الله عليه وسلم : لا تدخل الملائكة بيتا فيه كلب
(Laa tadkhulul malaaikatu baitan fiihi kalbun).
Artinya :"Tidak masuk malaikat ke rumah yang didalamnya ada anjing". (
H R. Al-Bukhari dan Muslim dari AW Thaltiah Al-Anshari.)

Hati itu adalah rumah, yaitu tempat malaikat, tempat turun pembawaan dan tempat ketetapan dari malaikat.Sifat-sifat yang rendah itu seumpama marah, hawa nafsu, dengki, busuk hati, takabur, 'ujub dan sebagainya adalah anjing-anjing yang galak. Maka bagaimanakah malaikat itu masuk ke dalam hati yang sudah penuh dengan anjing-anjing
.

Sinar ilmu pengetahuan, tidaklah dicurahkan oleh Allah Ta'ala ke dalam hati, selain dengan perantaraan malaikat:
وَمَا كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُكَلِّمَهُ اللَّهُ إِلا وَحْيًا أَوْ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ أَوْ يُرْسِلَ رَسُولا فَيُوحِيَ بِإِذْنِ
   
 
هِ
مَ
يَشَاءُ
Wa maa kaana libasyarin an jukallimahullaahu illaa wahyan au min waraa-i hijaabin au yursila rasuulan fayuuhiya bi-idznihii maa ya-syaa').
Artinya :"Tidak ada bagi manusia berkata-kata dengan Allah, selain dengan wahyu atau di belakang hijab atau dengan mengirimkan rasul, lalu diwahyukannya apa yang dikehendakiNya dengan keizinanNya".
(Asy-Syura, ayat 51).

Demikianlah kiranya, tidak dikirimkan Allah rakhmat dari ilmu pengetahuan itu kepada
hati. Hanya martaikatlah yang mengurus, mewakili membawa rakhmat itu. Para malaikat itu qudus suci, bersih dari segala sifat yang tercela. Tak ada perhatian mereka selain kepada yang baik. Tak ada urusan mereka dengan segala perbenda-haraan rakhmat Allah padanya, selain dengan yang baik suci.

Aku tidak mengatakan bahwa yang dimaksud dengan "rumah" dalam hadits yang diatas tadi, yaitu hati dan dengan "anjing" yaitu marah dan sifat-sifat tercela yang lain. Tetapi aku mengatakan bahwa itu adalah peringatan kepada hati dan suatu perbedaan antara kata-kata dhahir yang menunjukkan kepada bathin dan peringatan kepada bathin dengan menyebutkan kata-kata dhahir serta tetap pada kedhahirannya. Golongan ahli kebathinan mengadakan perbedaan dengan pengertian yang halus tadi.

Maka inilah jalan tamsil ibarat, jalan yang ditempuh oleh para 'alim ulama dan orang baik-baik. Karena pengertian dari tamsil ibarat (i'tibar) yaitu mengambil ibarat dengan apa yang diterangkan kepada orang lain, tidaklah untuk orang lain itu saja. Seumpama seorang yang berpikiran waras, melihab bahaya yang menimpa orang lain, maka menjadi tamsil ibaratlah baginya, sebagai suatu peringatan bahwa dia pun mungkin pula ditimpakan bahaya tersebut.

Dunia ini adalah selalu berputar laksana roda pedati. Maka mengambil ibarat dari orang lain untuk diri sendiri dan dari diri sendiri kepada asalnya dunia ini, adalah suatu tamsil ibarat yang terpuji.
Maka anda ambil jugalah menjadi ibarat dari. rumah yaitu pembangunan dari manusia kepada hati, yaitu sesuatu rumah yang dibangun oleh Tuhan dan dari anjing yang dicela kerena sifatnya bukan kerena bentuknya yaitu padanya terdapat sifat kebuasan dan kenajisan kepada jiwa keanjingan, yaitu sifat kebuasan.

Ketahuilah bahwa hati yang dipenuhi dengan kemarahan, loba kepada dunia dan bersifat anjing mencari dunia dengan rakus, dengan mengoyak-ngoyak kepentingan orang lain adalah anjing dalam arti dan hati dalam bentuk. Orang yang bermata hati memperhatikan arti, tidak bentuk.
Bentuk dalam dunia ini mengalahkan arti. Dan arti, tersembunyi dalam bentuk. Di akhirat bentuk itu mengikuti arti dan artilah yang menang. Dari itu, masing-masing orang dibangkitkan dalam bentuknya yang ma'nawi (menurut pengertian dari bentuk itu).

فيحشر الممزق لأعراض الناس كلبا ضاريا والشره إلى أموالهم ذئبا عاديا والمتكبر عليهم في صورة نمر وطالب الرياسة في صورة أسد Menurut hadits : "Orang yang mengoyak-ngoyakkan kehormatan orang lain, dibangkitkan sebagai anjing yang galak. Orang yang loba kepada harta-benda orang lain, dibangkitkan sebagai serigala yang ganas. Orang yang menyombong terhadap orang lain, dibangkitkan dalam bentuk harimau. Dan orang yang mencari jadi kepala, dibangkitkan dalam bentuk singa". (Ats-Tsa'labi dari Al-Bura', dengan sanad dla'if )

Banyaklah hadits berkenan dengan hal di atas dan menjadi tamsil ibarat kepada orang-orang yang mempunyai mata hati dan mata kepala.

Jikalau anda mengatakan bahwa banyaklah pelajar yang rendah budi, memperoleh ilmu pengetahuan, maka tahulah anda kiranya, bahwa alangkah jauhnya ilmu itu dari ilmu yang sebenarnya, yang berguna di akhirat, yang membawa kebahagiaan.

Yang pertama sekali dari ilmu itu, nyata kepadanya bahwa ma'siat adalah racun yang membunuh, yang membinasakan. Adakah anda melihat orang mengambil racun dengan mengetahui bahwa itu racun yang membunuhkan?

Yang anda dengar dari orang itu ialah perkataan yang diucapkan-nya dengan lidahnya dalam satu bentuk dan diulang-ulanginya dengan hatinya dalam bentuk yang lain. Yang demikian, bukanlah ilmu namanya.
قال ابن مسعود رضي الله عنه ليس العلم بكثرة الرواية إنما العلم نور يقذف في القلب وقال بعضهم إنما العلم الخشية لقوله تعالى

Berkata Ibnu Mas'ud ra. : "Tidaklah ilmu dengan banyak ceritera, tetapi ilmu adalah nur Tuhan yang ditempatkan di dalam dada". Berkata setengah mereka : Sesungguknya ilmu itu takut (khasy-yah) kepada Allah " karena firmanNya :

Innamaa yakhsyallaaha mm ibaadihil 'ulama.
Artinya:"Sesungguhnya yang takut kepada Allah dari para hambaNya ialah 'alim ulama (orang yang berilmu) (S.Al Fathir 28)
Dengan firman itu, seakan-akan Allah menunjukkan kepada faedah ilmu yang lebih khas.


Sebahagian ulama muhaq-qiqin, bahwa arti perkataan mereka : "Kami pelajari ilmu bukan karena Allah

karena Allah, maka seganlah ilmu itu selain karena Allah", bahwa ilmu itu segan dan tak mau kepada kami. Maka tak terbukalah hakikatnya kepada kami. Hanya yang ada bagi kami, ialah ceritera-nya dan kata-katanya saja.
Kalau anda mengatakan bahwa saya melihat kebanyakan ulama fuqaha' muhaq-qiqin, yang terkemuka dalam ilmu furu' dan ushul, terhitung dari golongan tokoh-tokoh besar, adalah budi pekerti nya tercela dan tidak berusaha membersihkan diri dari padanya, maka jawabnya : bila anda mengetahui tingkat-tingkat ilmu pengetahuan dan mengetahui pula ilmu akhirat, niscaya jelaslah bagi anda bahwa apa yang dikerjakan mereka itu, sedikitlah gunanya dari segi ilmu pengetahuan. Kegunaannya baru ada dari segi amalan karena Allah Ta'ala, apabila tujuannya mendekatkan diri kepadaNya, Untuk itu sudah disinggung dahulu dan nanti akan dijelaskan lagi, dengan lebih tegas dan terang insya Allah.


2.
Tugas kedua  
S
eorang pelajar itu' hendakiah mengurangkan hubungannya dengan urusan duniawi, menjauhkan diri dari kaum keluarga dan kampung halaman. Sebab segala hubungan itu mempengaruhi dan memaiingkan hati kepada yang lain.
مَا جَعَلَ اللَّهُ لِرَجُلٍ مِنْ قَلْبَيْنِ فِي جَوْفِهِ
(Maa ja'alallaahu lirajulin min qalbaini fii jaufih).
Artinya :"Allah tidak menjadikan bagi seorang manusia dua hati dalam rongga tubuhnya".
(S. Al-Ahzab 4).

Apabila pikiran itu telah terbagi maka kuranglah kesanggupannya mengetahui hakikat-hakikat yang mendalam dari ilmu pengetahuan. Dari itu dikatakan : ilmu itu tidak menyerahkan kepadamu sebagi-an dari padanya sebelum kamu menyerahkan kepadanya seluruh jiwa ragamu. Apabila engkau sudah menyerahkan seluruh jiwa raga engkau, maka penyerahan ilmu .yang sebahagian itu masih juga dalam bahaya.

Pikiran yang terbagi-bagi kepada hal ikhwal yang bermacam-macam itu, adalah seumpama sebuah selokan yang mengalir airnya ke beberapa jurusan. Maka sebahagian airnya ditelan bumi dan sebahagian lagi diisap udara, sehingga yang tinggal tidak terkumpul lagi dan tidak mencukupi untuk tanam-tanaman.

3. Tugas ketiga
S
eorang pelajar itu jangan menyombong dengan ilmunya dan jangan menentang gurunya. Tetapi menyerah seluruhnya kepada guru dengan keyakinan kepada segala nasehatnya, sebagaimana seorang sakit yang bodoh yakin kepada dokter yang ahli berpengalaman.

Seharusnyalah seorang pelajar itu, tunduk kepada gurunya, meng-harap pahala dan kemuliaan dengan berkhidmat kepadanya. Berkata Asy-Sya'bi : "Pada suatu hari Zaid bin Tsabit bershalat janazah. Sesudah shalat itu selesai, lalu aku dekatkan baghalnya (nama hewan, lebih kecil dari kuda) untuk dikendarainya. Maka datang Ibnu Abbas membawa kendaraannya kepada Zaid untuk dikendarainya. Maka berkata Zaid : "Tak usah wahai anak paman Rasulullah saw."

Berkata Ibnu Abbas :هكذا أمرنا أن نفعل بالعلماء والكبراء "Beginilah kami disuruh berbuat terhadap para 'alim ulama dan orang-orang besar".
Lalu Zaid bin Tsabit mencium tangan Ibnu Abbas seraya berkata : "هكذا أمرنا أن نفعل بأهل بيت نبينا صلى الله عليه وسلم Beginilah kami disuruh berbuat terhadap keluarga Nabi kami Muhammad saw.".

Bersabda Nabi saw. :
ليس من أخلاق المؤمن التملق إلا في طلب العلم
(Laisa min akhlaaqil mu'minit tamalluqu illaa fii thalabil ilmi).
Artinya:"Tidaklah sebahagian dari budi pekerti seorang mu'min merendahkan diri, selain pada menuntut ilmu". (
H R. Ibnu Adi dari hadist Mu’adz)

Dari itu tidaklah layak bagi seorang pelajar menyombong terhadap gurunya. Termasuk sebahagian dari pada menyombong terhadap guru itu, ialah tidak mau belajar kecuali pada guru yang terkenal benar keahliannya.
Ini adalah tanda kebodohan. Sebab ilmu itu jalan kelepasan dan kebahagiaan. Orang yang mencari jalan untuk melepaskan diri dari terkaman binatang buas, tentu tidak akan membeda-bedakan. Apakah jalan itu ditunjuki oleh seorang yang termashur atau oleh seorang yang dungu. Terkaman kebuasan api neraka, kepada orang yang jahil, adalah lebih hebat dari terkaman seluruh binatang buas.

Ilmu pengetahuan itu adalah barang yang hilang dari tangan seorang mu'min, yang harus dipungutnya di mana saja diperolehnya. Dan harus diucapkannya terima kasih kepada siapa saja yang membawa-nya kepadanya.

Dari itu, berkata pantun :
"Pengetahuan itu adalah perjuangan, bagi pemuda yang bercita-cita tinggi
Seumpama banjir itu adalah perjuangan, bagi suatu tempat yang tinggi".
Ilmu pengetahuan tidak tercapai selain dengan merendahkan diri dan penuh perhatian.


Berfirman Allah Ta'ala :
إِنَّ فِي ذَلِكَ لَذِكْرَى لِمَنْ كَانَ لَهُ قَلْبٌ أَوْ أَلْقَى السَّمْعَ وَهُوَ شَهِيدٌ
(Inna fii dzaalika ladzikraa liman kaana lahuu qaibun au alqas sam-a wahuwa syahiid).
Artinya :"Sesungguhnya hal yang demikian itu menjadi pengajaran bagi siapa yang mempunyai hati (pengertian) atau mempergunakan pendengarannya dengan berhati-hati".
(Qaf, 37).

Pengertian mempunyai hati yaitu hati itu dapat menerima pemahaman bagi ilmu pengetahuan. Tak ada tenaga yang menolong kepada pemahaman, selain dengan mempergunakan pendengaran dengan berhati-hati dan sepenuh jiwa. Supaya dapat menangkap seluruh yang diberikan guru dengan penuh perhatian, merendahkan diri, syukur, gembira dan menerima nikmat.

Hendaklah pelajar itu bersikap kepada gurunya seumpama tanah kering yang disirami hujan Iebat. Maka meresaplah ke seluruh baha-giannya dan meratalah keseluruhannya air hujan itu.

Manakala guru itu menunjukkan jalan belajar kepadanya, hendaklah dita'ati dan ditinggalkan pendapat sendiri. Karena meskipun guru itu bersalah, tetapi lebih beTguna baginya dari kebenarannya sendiri. Sebab, pengalaman mengajari yang halus-halus, yang ganjil didengar tetapi besar faedahnya.

Berapa banyak orang sakit yang dipanasi, diobati dokter dengan menambah panas pada sewaktu-waktu. Supaya kekuatannya bertambah sampai batas yang sanggup menahan pukulan obat. Maka heranlah orang yang tak berpengalaman tentang itu!

Telah diperingatkan oleh Allah Ta'ala dengan kisah Nabi Khaidir as.
dan Nabi Musa as.

Berkata Nabi Khaidir as. :
قَالَ

كَ لَنْ تَسْتَطِيعَ مَعِيَ صَبْرًاإِنَّ
وَكَيْفَ تَصْبِرُ عَلَى مَا لَمْ تُحِطْ بِهِ خُبْرًا

(Innaka lan tas-tathii'a ma'iya shabran wa kaifa tashbiru 'alaa maa lam tuhith bihii khubraa).
Artinya :"Engkau (Musa) tak sanggup bersabar sertaku. Bagaimana engkau bersabar dalam persoalan yang belum berpengalaman didalamnya.".(Al-Kahf,  67 - 68).

Lalu Nabi Khaidir as. membuat syarat yaitu Nabi Musa as. harus diam dan menerima saja.
Berkata Nabi Khaidir as. :
فَإِنِ اتَّبَعْتَنِي

فَلا تَسْأَلْنِي عَنْ شَيْءٍ ح
تَّى أُحْدِثَ لَكَ مِنْهُ
ذِكْرًا
(Fainittaba'- tanii falaa tasalnii 'an-syai-in hattaa uhditsa laka minhu dzikraa).
Artinya :
"Jika engkau mengikuti aku maka janganlah bertanya tentang sesuatu, sehingga aku sendiri yang akan menceriterakan kepadamu nanti".(Al-Kahfi, 70).

Rupanya Nabi Musa as. tidak sabar dan selalu bertanya, sehingga menyebabkan berpisah diantara keduanya.
Pendek kata, tiap-tiap pelajar yang masih berpegang teguh kepada pendapatnya sendiri dan pilihannya sendiri, di luar pilihan gurunya, maka hukumlah pelajar itu dengan keteledoran dan kerugian.


Jika anda mengatakan, bukankah Allah Ta'ala telah berfirman
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ إِلا رِجَالا نُوحِي إِلَيْهِمْ فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ
(Fas 'aluu ahladz-dzikri in kuntum laa ta'lamuun).
Artinya :"Bertanyalah kepada ahli ilmu jika kamu tidak tahu ".(An-Nahl,43).

Jadi, bertanya itu
di perintahkan .

Maka ketahuilah, bahwa memang demikian, tetapi mengenai persoalan yang diizinkan guru, bertanya kepadanya. Bertanya tentang soal yang belum sampai tingkatanmu memahaminya, adalah dicela, karena itulah, maka Khaidir melarang Musa bertanya.

Dari itu, tinggalkanlah bertanya sebelum waktunya
....
Guru lebih tahu tentang keahlianmu dan kapan sesuatu ilmu harus diajarkan kepadamu. Sebelum waktu itu datang dalam tingkat manapun juga, maka belumlah datang waktunya untuk bertanya.

Berkata Ali ra. : "Hak dari seorang yang berilmu, ialah jangan engkau banyak bertanya kepadanya! Jangan engkau paksakan dia menjawab, jangan engkau minta, bila dia malas. Jangan engkau pegang kainnya, bila dia bangun, jangan engkau siarkan rahasianya! Jangan engkau caci orang lain dihadapannya, jangan engkau tuntut keteledorannya! Jika dia silap terimalah kema'afannya! Haruslah engkau memuliakan dan membesarkannya karena Allah, selama dia menjaga perintah Allah. Jangan engkau duduk dihadapannya! Jika dia memerlukan sesuatu, maka ajaklah orang banyak menyelenggarakannya!"

4. Tugas keempat
S
eorang pelajar pada tingkat permulaan,hendaklah menjaga diri dari mendengar pertentangan orang tentang ilmu pengetahuan. Sama saja yang dipelajarinya itu ilmu keduniaan atau ilmu keakhiratan. Karena, yang demikian itu meragukan pikiran-nya, mengherankan hatinya, melemahkan pendapatnya dan mem-bawanya kepada berputus asa dari mengetahui dan mendalaminya. Tetapi yang wajar, ialah meneliti pertama kalinya suatu cara saja yang terpuji dan disukai gurunya. Sesudah itu, barulah boleh mendengar madzhab-madzhab dan keserupaan yang ada diantaranya.

Bila guru itu tidak bertindak bebas, dengan memilih suatu pendapat tertentu, tetapi kebiasaannya hanya mengambil madzhab-madzhab dan apa yang tersebut dalam madzhab-madzhab itu, maka dalam hal ini hendaklah waspada! Sebab orang yang semacam itu, lebih banyak menyesatkan dari pada memberikan petunjuk.
Maka tidaklah layak orang buta memimpin dan menunjuk jalan kepada sesama buta. Orang yang begini keadaannya, dapat dihitung dalam keadaan buta dan bodoh.

Mencegah orang yang baru belajar dari pada mencampuri persoalan-persoalan yang meragukan, samalah halnya dengan mencegah orang yang baru saja memeluk Islam, dari bergaul dengan orang-orang kafir. Men
dorong orang yang "kuat" kepada membanding dalam masalah-masalah khilafiah, samalah halnya dengan menyeru orang yang kuat untuk bergaul dengan orang kafir.

Oleh karena itu dilarang orang pengecut menyerbu ke garis depan. Dan sebaliknya orang yang berani, disunatkan maju terus.

Termasuk dalam bahagian melengahkan yang penting ini, ialah sangkaan sebahagian orang yang "lemah" bahwa boleh mengikuti orang-orang yang "kuat" mengenai persoalan-persoalan yang mudah, yang diambil dari pada mereka. Ia tidak tahu bahwa tugas orang yang "kuat", berbeda dengan tugas orang yang "lemah ".

Mengenai itu, berkata sebahagian ulama : "Barang siapa memperhatikan aku pada tingkat permulaan (ai-bidayah), maka jadilah dia orang benar (shiddiq). Dan barang siapa memperhatikan aku pada tingkat penghabisan (an-nihayah), maka jadilah dia orang zindiq ".

Karena tingkat penghabisan itu, mengembalikan semua amalan kepada bathin dan segala anggota badan tetap tidak bergerak, selain dari amalan fardiu yang ditentukan. Maka tampaklah bagi orang yang melihat bahwa tingkat penghabisan itu suatu perbuatan batil, malas dan lengah. Amat jauhlah dari itu
.

Maka yang demikian itu adalah pengikatan hati dalam pandangan kesaksian dan kehadliran hati kepada Allah Ta'ala dan membiasa-kan berdzikir yang terus-menerus, yang menjadi amalan utama. Dan penyerupaan orang lemah dengan orang kuat tentang sesuatu yang kelihatan dari dhahirnya itu suatu kesalahan, adalah menyamai halnya dengan alasan orang yang menjatuhkan sedikit najis ke dalam kendi air. Dia mengemukakan alasan bahwa berlipat ganda lebih banyak dari najis ini kadang-kadang dilemparkan ke dalam laut.


Dan laut itu lebih besar dari pada kendi. Maka apa yang boleh bagi laut, tentulah bagi kendi lebih boleh lagi.
Orang yang patut dikasihani tadi lupa, bahwa laut dengan tenaga-nya dapat merobahkan najis kepada air. Lalu dzat najis bertukar kepada sifat air. Sedang najis yang sedikit itu mengalahkan kendi dan merobahkan kendi kepada sifat najis.

Dan karena seperti inilah, maka dibolehkan bagi Nabi saw. apa yang tidak dibolehkan bagi orang lain, sehingga bagi Nabi saw. dibolehkan mengawini sembilan wanita. Karena baginya kekuatan keadilan untuk para isterinya, melebihi dari orang lain, meskipun isterinya itu banyak.

Adapun orang lain tidak sanggup menjaga walaupun sebahagian dari keadilan. Tetapi yang terjadi, ialah kemelaratan diantara isteri-isterinya, yang mengakibatkan kepadanya. Sehingga ia terjerumus ke dalam perbuatan ma'siat dalam mencari kerelaan para isterinya. Maka tidaklah akan berdaya, orang yang membandingkan para malaikat dengan tukang besi.

5.Tugas kelima
S
eorang pelajar itu tidak meninggalkan suatu mata pelajaranpun dari ilmu pengetahuan yang terpuji dan tidak suatu macampun dari berbagai macamrlya, selain dengan pandangan di mana ia memandang kepada maksud dan tujuan dari masing-masing ilmu itu. Kemudian jika ia berumur panjang, maka dipelajarinya secara mendalam. Kalau tidak, maka diambilnya yang lebih penting serta disempumakan dan dikesampingkannya yang lain.

Ilmu pengetahuan itu bantu-membantu. Sebahagian daripadanya terikat dengan sebahagian yang lain. Orang yang mempelajari ilmu terus memperoleh faedah daripadanya, yaitu terlepas dari musuh ilmu itu yaitu kebodohan. Karena manusia itu adalah musuh dari kebodohannya.
Berfirman Allah Ta'ala :
وَإِذْ لَمْ يَهْتَدُوا بِهِ فَسَيَقُولُونَ هَذَا إِفْكٌ قَدِيمٌ
(Wa idzlam yahtaduu bihii fasayaquuluuna haadzaa ifkun qadiim).
Artinya :
"Ketika mereka tidak mendapat petunjuk dengannya, maka nanti akan berkata : Ini adalah kepalsuan yang lama".
(Al-Ahqaf, ayat 11).


Berkata seorang penyair :
"Orang yang memperoleh penyakit, rasa pahit pada mulutnya, maka akan merasa pahit, air pancuran yang lezat cita rasanya.


Ilmu pengetahuan dengan segala tingkatannya, adakalanya menjadi jalan, yang membawa seorang manusia kepada Allah Ta'ala atau menolong membawa ke jalan tersebut. Pengetahuan itu mempunyai tingkat-tingkat yang teratur, dekat dan jauhnya dengan maksud.

Orang yang menegakkan ilmu pengetahuan itu adalah penjaga-pen-jaga seperti penjaga rumah penyantun dan benteng. Masing-masing mempunyai tingkatan. Dan menurut tingkatan itulah, dia memperoleh pahala di akhirat, apabila tujuannya karena Allah Ta'ala.


6.
Tugas keenam
S
eorang pelajar itu tidak memasuki sesuatu bidang dalam ilmu pengetahuan dengan serentak. Tetapi memelihara ter-tib dan memulainya dengan yang lehih penting.


Apabila umur itu biasanya tidak berkesempatan mempelajari segala ilmu pengetahuan, maka yang lebih utama diambil, ialah yang lebih baik dari segala pengetahuan itu dan dicukupkan dengan sekedar-nya. Lalu dikumpulkan seluruh kekuatan dari pengetahuan tadi untuk menyempurnakan suatu pengetahuan yang termulia dari segala macam ilmu pengetahuan. Yaitu ilmu akhirat.

Yang saya maksudkan dengan ilmu akhirat, yaitu kedua macamnya : ilmu mu'amalah dan ilmu mukasyafah.
Tujuan dari ilmu mu'amalah ialah keilmu mukasyafah. Dan tujuan dari ilmu mukasyafah ialah mengenai Allah Ta'ala. Tidaklah saya maksudkan dengan itu akan 'aqidah (i'tikad) yang dianut orang awwam dengan jalan pusaka atau pelajaran. Atau cara penyusunan kata-kata dan perdebatan untuk mengokohkan ilmu kalam dari serangan lawan seperti tujuan ahli ilmu kalam. Tetapi yang saya maksudkan, ialah suatu macam keyakinan yaitu hasil dari nur yang dicurahkan Tuhan ke dalam hati hambaNya, yang sudah mensucikan kebathinannya dari segala kotoran dengan mujahadah (berjihad melawan hawa nafsu). Sehingga sampailah dia ke tingkat keimanan Saidina Abu Bakar ra., yang kalau ditimbang dengan keimanan penduduk alam seluruhnya, maka lebih beratlah keimanan Abu Bakar itu sebagaimana telah diakui oleh Nabi saw. sendiri.

Maka tak adalah artinya padaku, apa yang dii'tikadkan oleh orang awwam dan yang disusun oleh ahli ilmu kalam, yang tidak melebihi dari orang awwam itu, selain dari tohnik kata-kata. Dan kare-nanya, lalu dinamakan ilmu kata-kata (ilmu kalam), suatu pengetahuan yang tidak disanggupi Umar, Usman, Ali dan lain-lain shahabat dimanaSaidina Abu Bakar ra. memperoleh kelebihan dari mereka ini dengan suatu rahasia (sirr) yang terpendam di dalam dadanya.

Dan heran benar, orang-orang yang mendengar perkataan tersebut dari Nabi kita saw. lalu memandang leceh. dengan mendakwakan bahwa itu barang batil, bikinan kaum tasawwuf dan tidak dapat dipahami.
Maka haruslah anda berhati-hati menghadapinya. Kalau tidak, nanti anda kehilangan modal. Dan waspadalah, untuk mengetahui rahasia yang terbongkar dari simpanan kaum fuqaha' dan ulama kalam! Anda tidak akan mendapat petunjuk untuk itu, selain dengan bersungguh-sungguh mempelajarinya.
Pendek kata, ilmu yang termulia dan tujuannya yang paling utama ialah mengenai Allah Ta'ala. 'itulah lautan yang dalamnya tidak dapat diduga. Tingkat yang tertinggi untuk itu dari manusia ialah tingkat para Nabi, kemudian para wali, kemudian orang-orang yang mengikuti mereka.

Menurut riwayat, pernah orang bermimpi melihat dua orang ahli hikmah dalam sebuah masjid. Dalam tangan seorang dari keduanya adalah sehelai kertas yang bertulisan : "Jika anda telah berbuat baik segala sesuatu maka janganlah menyangka telah berbuat baik pula tentang sesuatu, sehingga anda telah mengenai Allah Ta'ala dan mengetahui bahwa DIA-lah yang menyebabkan segala sebab dan menjadikan segala sesuatu".
Dan dalam tangan yang seorang lagi bertulisan : "Sebelum saya mengenai Allah, saya minum dan saya haus. Ketika saya sudah mengenalNya, maka hilanglah kehausan saya tanpa minum".

7. Tugas ketujuh
Adalah
 tidak mencemplungkan diri ke dalam sesuatu bidang ilmu pengetahuan, sebelum menyempurnakan bidang yang sebelumnya. Karena ilmu pengetahuan itu tersusun dengan tertib-Sebahagiannya menjadi jalan menuju kebahagian yang lain. Mendapat petunjuklah kiranya orang yang dapat memelihara tata-tertib dan susunan itu!

Berfirman Allah Ta'ala :

Aliadziina aatainaahumul kitaaba yatluunahuu haqqa tilaawatih.

Artinya "Mereka yang kami datangkan Kitab kepadanya, dibacanya dengan sebaik-baiknya". (Al-Baqarah 121).

Artinya tidak dilampauinya sesuatu bidang, sebelum dikuasainya benar-benar, baik dari segi ilmiahnya atau segi amaliahnya. Dan tujuannya dalam segala ilmu yang ditempuhnya, ialah mendaki kepada yang lebih tinggi. Dan sewajarnyalah ia tidak menghukum dengan batil terhadap sesuatu ilmu, karena timbul perselisihan paham diantara pemuka-pemukanya. Atau menghukum dengan kesalahan seorang atau beberapa orang diantara mereka. Atau menghukum dengan harus menantangnya, karena berbeda antara perbuat-annya dan perkataannya.

Anda akan melihat suatu golongan, yang tidak mempunyai perhatian terhadap masalah-masalah yang berhubungan dengan akal-pi-kiran dan pemahaman, disebabkan kata mereka persoalan itu kalau ada berpangkal, tentulah diketahui oleh pemuka-pemuka persoal-an-persoalan itu sendiri.

Untuk menyingkap segala keraguan ini, sudah diutarakan dalam Kitab Mi'yaril-ilmi.
Anda akan melihat segolongan manusia yang berkeyakinan bahwa ilmu kedokteran itu batil, karena dilihatnya suatu kesalahan dari seorang dokter. Segolongan lagi, berkeyakinan bahwa ilmu nujum itu betul karena kebetulan kejadian itu sesuai dengan yang dinu-jumkan. Segolongan lagi, berkeyakinan bahwa ilmu nujum itu tidak betul, karena kebetulan kejadian itu tidak sesuai dengan yang dinujumkan.

Sebenarnya, semuanya itu salah. Tetapi sewajarnyalah sesuatu itu diketahui pada dirinya. Sebab tidaklah tiap-tiap orang itu mengetahui betul seluruh ilmu pengetahuan. Dari itu berkata Ali ra. : "Engkau tidaklah mengetahui kebenaran dengan orang-orang. Tetapi ketahuilah kebenaran itu, barulah engkau akan mengetahui ahlinya".

8.Tugas kedelapan
S
eorang pelajar itu hendaklah mengenai sebab untuk dapat mengetahui ilmu yang termulia. Yang demikian itu dikehendaki dua perkara :

a.  Kemuliaan hasilnya.
b.  Kepercayaan dan kekuatan dalilnya.

Hal itu seumpama ilmu agama dan ilmu kedokteran. Hasil dari yang satu itu kehidupan abadi dan dari yang lain itu kehidupan duniawi (hidup fana). Jadi, ilmu agamalah yang termulia.

Seumpama ilmu berhitung dan ilmu nujum. Maka ilmu berhitunglah yang lebih mulia karena kepercayaan dan kekuatan dalil-dalilnya. Dan jika dibandingkan ilmu berhitung dengan ilmu kedokteran, maka ilmu kedokteranlah yang lebih mulia, dipandang kepada faedahnya. Dan ilmu berhitunglah yang lebih mulia, dipandang kepada dalil-dalilnya. Memperhatikan kepada faedahnya adalah lebih utama. Dari itu, ilmu kedokteranlah menjadi lebih mulia, meskipun bagian terbesar dari padanya didasarkan kepada kira-kiraan.

Dengan ini, jelaslah bahwa yang termulia ialah ilmu mengenai Allah 'Azza wa Jalla, mengenai malaikat-malaikatNya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasulNya dan ilmu mengenai jalan yang menyampaikan kepada yang demikian.
Waspadalah, bahwa kegemaran tidaklah ditumpahkan kepada yang lain dari ilmu-ilmu tadi dan bersungguh-sungguhlah mempelajarinya!

9. Tugas kesembilan
Bahwa tujuan pelajar sekarang ialah menghiasi kebathinannya dan mencantikkannya dengan sifat keutamaan. Dan nanti ialah mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala, mendaki untuk mendekati alam yang tinggi dari para malaikat dan orang-orang muqarrabin (orang-orang yang mendekatkan dirinya kepada Allah).

Dan tidaklah dimaksudkan dengan menuntut ilmu pengetahuan itu, untuk menjadi kepala, untuk memperoleh harta dan kemegahan, untuk melawan orang-orang bodoh dan untuk membanggakan diri dengan teman-teman.
Apabila yang tersebut di atas maksudnya, maka tak ragu lagi bahwa pelajar itu telah mendekati tujuannya, yaitu ilmu akhirat.

Dalam pada itu, tak layaklah memandang dengan pandangan kehi-naan kepada ilmu pengetahuan yang lain, seperti ilmu fatwa, ilmu nahwu dan bahasa yang ada hubungannya dengan Kitab Suci dan Sunnah Nabi dan sebagainya yang telah kami uraikan pada muqad-dimah danpelengkap dari bermacam-macam ilmu pengetahuan yang termasuk dalam bahagian fardlu kifayah.

Orang-orang yang bertanggung jawab dalam lapangan ilmu pengetahuan, samalah halnya dengan orang-orang yang bertanggung jawab di benteng-benteng pertahanan dan orang-orang yang ditugaskan di situ dan orang-orang yang berjuang berjihad fi sabilillah. Diantara mereka itu ada yang bertempur, ada yang bertahan, ada yang menyediakan minuman, ada yang menjaga kendaraan dan ada yang mengurus orang-orang yang memerlukan rawatan.

Tidak ada seorangpun diantara mereka yang tidak mendapat pahala, kalau tujuannya untuk meninggikan kalimah Allah, bukan untuk mengaut harta rampasan.
Maka demikian pula para 'alim ulama.
Berfirman Allah Ta'ala :
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا

مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ
(Yarfa-'illaahul ladziina aamanuu minkum wal ladziina uutul 'ilma d
zagaati).
Artinya :"Ditinggikan Allah, mereka yang beriman diantara kamu dan mereka yang diberikan ilmu, dengan beberapa tingkat".(Al-Mujadalah,11).

Dan berfirman Allah Ta'ala :
هُمْ دَرَجَاتٌ عِنْدَ اللَّهِ وَاللَّهُ بَصِيرٌ بِمَا يَعْمَلُونَ
(Hum darajaatun 'indallaah).
Artinya :"Mereka memperoleh beberapa tingkat pada Allah".
(Ali'Imran163).

Kelebihan itu relatif. Pandangan kita lebih rendah kepada penukar-penukar uang, (penukar uang antara uang satu negara dengan uang negara lain) bila dibandingkan dengan pandangan kita kepada raja-raja, tidaklah menunjukkan kepada hinanya penukar-penukar uang itu bila dibandingkan dengan tukang-tukang sapu. Maka janganlah disangka bahwa apa yang diturunkan dari kedudukannya yang tinggi, berarti sudah kehilangan pangkat. Tidak! Sebab pangkat yang tertinggi ialah bagi para Nabi, kemudian bagi para Wali, kemudian bagi para ulama yang mendalam ilmunya, kemudian bagi orang-orang shalih, dengan berlebih-berkurangnya derajat mereka itu.

Pendek kata, barang siapa berbuat amal seberat biji sawi dari kebajikan, maka akan dilihatnya. Dan barang siapa berbuat amal seberat biji sawi dari kejahatan, maka akan dilihatnya. Barang siapa bertu-juan kepada Allah dengan ilmu pengetahuannya, ilmu pengetahuan apapun juga, niscaya bergunalah baginya dan sudah pasti akan meninggikan derajatnya.

10. Tugas kesepuluh
H
arus diketahuinya hubungan pengetahuan itu kepada tujuannya. Supaya pengetahuan yang tinggi dan dekat dengan jiwanya itu, membawa pengaruh kepada tujuannya yang masih jauh. Dan yang penting membawa pengaruh kepada yang tidak penting.

Yang penting artinya mengandung kepentingan untukmu sendiri. Dan tak ada yang penting bagimu selain dari urusan mengenai dunia dan akhirat.

Apabila tidak mungkin engkau mengumpulkan antara kelezatan duniawi dan kenikmatan ukhrawi, sebagaimana yang diterangkan Al-Qur-an dan disaksikan dari nur hati-nurani, oleh apa yang berlaku dihadapan mata kepala, maka yang lebih penting adalah yang kekai abadi. Ketika itu, dunia menjadi tempat tinggal, badan menjadi kendaraan dan amal perbuatan menjadi jalan kepada tujuan. Dan tujuan itu tak lain dari berjumpa dengan Allah Ta'ala. Maka padanyalah seluruh kenikmatan, meskipun dalam alam ini tidak diketahui kadarnya selain oleh beberapa orang saja.

Ilmu pengetahuan itu bila dibanding kepada kebahagian berjumpa dengan Allah dan memandang kepada wajahNya Yang Mulia, yakni pandangan yang dicari dan dipahami oleh para Nabi dan tidak yang teriintas dalam pemahaman orang awwam dan ahli ilmu kalam, adalah tiga tingkat, yang dapat anda pahami dengan perbandingan dengan contoh. Yaitu adalah seorang budak yang menggantungkan kemerdekaannya dan kemungkinan mempunyai hak milik dengan mengerjakan ibadah hajji.

Dikatakan kepadanya : "Sekiranya engkau telah mengerjakan ibadah hajji dan telah engkau sempurnakan, maka jadilah engkau mer-deka dan mempunyai hak milik. Jika engkau telah bersiap dan memulai berjalan menuju ke tempat peribadatan hajji, lalu mendapat halangan diperjalanan, maka engkau memperoleh kemerdekaan. Dan terlepas dari perbudakan saja, tanpa memperoleh kebahagiaan hak mink."
Maka bagi budak tersebut, ada tiga jenis perbuatan :

A. Menyediakan persiapan dengan membeliunta kendaraan, kendi air, perbekalan dan segala yang diperlukan dalam perjalanan.
B. Berjalan dan meninggalkan kampung h alam an menuju Ka'bah tempat demi tempat.
C. Mengerjakan segala amal perbuatan hajji, rukun demi rukun.

Sesudah selesai dan sesudah membuka pakaian ihram dan bertawaf wida', niscaya berhaklah ia mempunyai hak milik dan kekuasaan penuh bagi dirinya. Dan baginya pada tiap-tiap kedudukan itu mempunyai tingkat, sejak dari awal persiapan sampai akhirnya. Sejak dari permulaan menjalani desa-desa sampai akhir-nya. Dan sejak dari permulaan rukun hajji sampai akhirnya.

Maka tidak samalah kebahagiaan yang diperoleh oleh orang yang sudah memulai mengerjakan rukun hajji, dengan kebahagiaan yang diperoleh oleh orang yang baru menyelesaikan segala persiapan perbekalan dan kendaraan. Dan tidak sama pula dengan kebahagiaan yang diperoleh oleh orang yang sudah memulai berjalan menuju Tanah Suci atau-pun yang telah mendekatinya.

Dari itu, maka ilmu pun tiga bahagian.

a.
Sebahagian berlaku semacam persiapan menyediakan perbekalan, kendaraan dan membeli unta. Ini adalah ilmu kedokteran, ilmu fiqih dan yang ada hubungannya dengan kemuslihatan tubuh di dunia ini.
b.
Sebahagian berlaku semacam menjalani desa-desa dan menghindarkan segala rintangan. Ini adalah mensucikan kebathinan dari segala kekotoran sifat dan mengatasi segala rintangan yang memuncak, yang tak sanggup orang-orang terdahulu dan terkemudian mengatasinya, selain orang orang yang telah memperoleh taufiq Tuhan.

Maka inilah jalan yang dituju. Mempersiapkan pengetahuan untuk itu, samalah halnya dengan mempersiapkan pengetahuan tentang jalan-jalan mana dan .rumah-rumah mana di jalan itu yang dicari. Maka sebagaimana mengetahui di mana Ietak rumah dan jalan-jalan di sesuatu kampung, tidak mencukupi bila tidak dikunjungi, maka seperti itu pulalah, tidak mencukupi mengetahui ilmu perbaikan budi pekerti, tanpa budi pekerti itu diperbaiki. Tetapi perbaikan tanpa ilmu pengetahuan, tidak mungkin.


c. Bahagian yang ke tiga, berlaku dalam melakukan ibadah hajji dan rukun-rukunnya. Ini adalah mengetahui tentang Allah dan sifatNya, para malaikatNya, segala perbuatanNya dan seluruh apa yang telah kami terangkan waktu membicarakan ilmu "al-mukasyafah " dahulu.

Di sinilah letaknya kelepasan dan kemenangan dengan kebahagiaan. Kelepasan adalah hasil bagi tiap-tiap orang yang menuju ke jalan Allah, apabila maksudnya mencapai kebenaran, yaitu keselamatan.
Kemenangan dengan kebahagiaan, tidaklah diperoleh, selain orang-orang yang mengenai Allah Ta'ala. Yaitu : orang-orang muqarrabin, yang memperoleh nikmat di sisi Allah Ta'ala dengan kegembiraan, kepuasan dan taman kesenangan. Adapun orang-orang yang tidak memperoleh tingkat kesempurnaan, maka bagi mereka kelepasan dan keselamatan, seperti firman Allah Ta'ala :
فَأَمَّا إِنْ كَانَ مِنَ الْمُقَرَّبِينَ
فَرَوْحٌ وَرَيْحَانٌ وَجَنَّةُ نَعِيمٍ
وَأَمَّا إِنْ كَانَ مِنْ أَصْحَابِ الْيَمِينِ
فَسَلامٌ لَكَ مِنْ أَصْحَابِ الْيَمِينِ
(Faammaa in kaana minal muqarrabiin fa rauhun wa raihaanun wa jannatu na'iim wa ammaa in kaana min ashhaabil yamiin fasa-laamun laka min ashhaabil yamiin).
Artinya :"Jika dia termasuk orang-orang yang dekat (kepada Tuhan), (dia memperoleh) kegembiraan, kepuasan dan taman kesenangan. Dan jika dia termasuk kaum kanan, (kepadanya diberikan penghormat-an) : Selamat (damai) untuk engkau, dari kaum kanan".(Al-Waqi'ah,88-91).

Setiap orang yang tidak menuju kepada maksud dan tidak bergerak untuk itu atau ada bergerak kearah itu tetapi bukan dengan maksud mengikuti dan memperhambakan diri kepada Allah, hanya untuk suatu maksud yang cepat, maka termasuklah dia golongan kiri dan sesat. Penyambutan terhadap dia, ialah dengan air yang sangat pa-nas dan pembakaran dalam neraka.

Ketahuilah, bahwa inilah keyakinan yang sebenarnya (haqqul-yaqin) pada para ulama yang mendalam pengetahuannya. Saya maksudkan : mereka itu mengetahuinya dengan mempersaksikan dari ke-bathinan. Penyaksian yang demikian adalah lebih kuat dan lebih terang dari penyaksian dengan mata kepala. Mereka itu telah me-ninggi, dari batas taqlid, karena pendengaran semata-mata.

Keadaan mereka samalah dengan keadaan orang yang mendengar ceritera, maka dibenarkannya. Kemudian ia menyaksikan, maka diyakininya. Dan keadaan orang lain, samalah dengan keadaan orang yang sebelumnya, dengan keyakinan dan keimanan yang baik. Tetapi tidak memperoleh nasib penyaksian (musyahadah) dan pandangan yang tembus.

Maka kebahagiaan adalah di belakang ilmu mukasyafah. Dan ilmu mukasyafah adalah di belakang ilmu mu'amalah, yang menjadi jalan menuju ke akhirat. Penyingkiran halangan-halangan dari sifat yang keji dan jalan menuju penghapusan sifat yang tercela, adalah di belakang ilmu pengetahuan tentang sifat-sifat itu. Ilmu pengetahuan tentang cara mengobati dan cara pergi menuju ke sana, adalah di belakang ilmu keselamatan badan. Tolong-menolong memelihara sebab-sebab kesehatan dan keselamatan badan adalah dengan per-satuan, bergotong-royong dan tolong-menolong, yang dapat me-nyampaikan kepada pengurusan pakaian, makanan dan tempat.
Yang tersebut itu mempunyai hubungan dengan pemerintah dan undang-undangnya dalam memimpin rakyat ke jalan keadilan dan politik dalam kawasan ahli hukum fiqih.

Adapun sebab-sebab kesehatan, maka adalah dalam tanggung jawab dokter. Siapa yang mengatakan bahwa ilmu pengetahuan itu dua : ilmu mengenai tubuh manusia dan ilmu mengenai agama dan dii-syaratkannya dengan ilmu agama itu, kepada ilmu fiqih, adalah maksudnya dengan perkataan tersebut ilmu pengetahuan dzahir yang tersiar. Bukan ilmu bathin yang tinggi kedudukannya.

Jika anda bertanya, mengapa disamakan ilmu kedokteran dan ilmu fiqih dengan menyiapkan perbekalan dan kendaraan ?

Maka ketahuilah, bahwa yang berjalan kepada Allah untuk menca-pai dekatNya adalah hati, bukan badan. Tidaklah maksudku dengan hati itu daging yang bisa dilihat. Tetapi adalah suatu rahasia (sirr) dari rahasia Allah 'Azza wa Jalla, yang tidak diketahui oleh panca-indra. Suatu yang halus dari segala yang halus kepunyaan Allah.

Sekali disebut dengan kata-kata "ruh", sekali dengan kata-kata "an-nafsul muthmainnah ". (jiwa yang tenteram).
Agama menyebutkannya dengan hati (al-qalb), karena hatilah kendaraan pertama bagi rahasia itu. Dan dengan perantaraan hatilah maka seluruh badan menjadi kendaraan dan alat kendaraan untuk
tubuh halus itu.

Dan menyingkap tutup dari sirr tersebut, adalah sebahagian dari ilmu mukasyafah. Payah diperoleh bahkan tidak mudah menerang-kannya. Paling tinggi yang diperbolehkan, hanya dapat dikatakan, bahwa hati (al-qalb) itu suatu dzat (jauhar) yang amat bernilai, suatu mutiara yang amat mulia. Lebih mulia dari segala benda yang dapat dilihat dengan mata. Dia itu, urusan ketuhanan (amrun ilahi),

seperti firmanNya :
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الرُّوحِ قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي
(Wa yas'aluunaka 'anirruuhi qiyirruuhu min amri rabbii)
Artinya :"Dan ditanyakan mereka akan engkau (Muhammad) tentang ruh, maka jawalblah : Ruh itu urusan Tuhanku (min amri rabbi)".
(Al-Isra', ayat 85).

Seluruh makhluk dihubungkan (mansubah) kepada Tuhan. Tetapi hubungan ruh (al-qalb
/hati) kepadaNya, adalah lebih mulia dari hubungan seluruh anggota badan yang lain. Kepunyaan Allah seluruh makhluk dan ruh. Ruh lebih tinggi dari makhluk yang lain.

Dzat yang amat bernilai itu yang membawa amanah Allah, suatu tugas yang pernah ditawarkan kepada langit, bumi dan bukit, tetapi enggan menerimanya dan takut kepada dzat yang bernilai itu.

Dan janganlah dipahamkan dari yang tersebut itu, seakan-akan di-bayangkan dengan qadimnya dzat itu. Orang yang mengatakan dengan qadim ruh adalah tertipu dan bodoh, tak mengerti apa yang harus dikatakannya.
Kami hendak menyingkatkan penjelasan tentang ini, karena di luar acara yang sebenarnya.
Maksudnya, bahwa tubuh halus itu ialah yang berusaha mendekati Tuhan, karena dia dari urusan Tuhan. Dari Tuhan sumbemya dan kepada Tuhan kembalinya.

Adapun badan, maka adalah kendaraan dari tubuh halus itu, yang dikendarainya dan diusahakannya sesuatu dengan perantaraannya.
Jadi, maka badan bagi tubuh halus itu dalam perjalanan kepada Allah Ta'ala adalah seumpama unta bagi tubuh manusia dalam perjalanan hajji. Dan seumpama kendi tempat menyimpan air yang dihajati oleh badan.


Halaman 168



Maka seluruh ilmu pengetahuan yang tujuannya demi kemuslihatan badan, maka ilmu itu termasuk dalam jumlah kepentingan kendaraan. Dan tidak tersembunyi lagi bahwa ilmu kedokteran pun seperti itu juga. Karena kadang-kadang diperlukan kepadanya untuk pemeliharaan kesehatan badan. Meskipun manusia itu sendirian, memerlukan juga kepada ilmu kedokteran. Lain halnya dengan ilmu fiqih. Karena kalau manusia itu sendirian, kadang-kadang ia tidak memerlukan kepada ilmu fiqih. Tetapi manusia itu dijadikan oleh Tuhan dalam bentuk yang tidak mungkin hidup sendirian. Sebab tidak dapat mengusahakan sendiri seluruh keperluan hidupnya, baik untuk memperoleh makanan dengan bertani dan berladang, memperoleh roti dan nasi, memperoleh pakaian dan tempat tinggal dan menyiapkan alat untuk itu seluruhnya.

Maka manusia itu memerlukan kepada pergaulan dan tolong-menolong. Manakala manusia itu bercampur-baur dan berkobamya hawa nafsu diantara mereka, lalu tarik-menariklah sebab-sebab untuk memperoleh keinginan. Dan mereka bantah-membantah dan pe-rang-berperang.

Dari peperangan itu timbullah kebinasaan, disebabkan perlombaan dari luar, sebagaimana timbulnya kebinasaan disebabkan pertentangan campuran dari dalam.
Dengan ilmu kedokteran terpeliharalah keseimbangan dalam segala campuran yang saling bertentangan dari dalam. Dan dengan politik serta keadilan, terpeliharalah keseimbangan dalam perlombaan dari luar.
Pengetahuan jalan keseimbangan campuran itu adalah ilmu kedokteran. Dan pengetahuan jalan keseimbangan hal manusia dalam masyarakat dan perbuatan-perbuatannya itu adalah ilmu fiqih na-manya.
Semuanya itu untuk menjaga keselamatan tubuh manusia yang menjadi kendaraan dari tubuh halus itu.

Orang yang semata-mata mempelajari ilmu fiqih atau ilmu kedokteran, apabila tidak berjuang melawan hawa nafsunya dan tidak berusaha memperbaiki jiwanya, maka samalah dengan orang yang membeli unta serta umpannya, kendi serta airnya apabila tidak berangkat pergi menunaikan ibadah hajji. Orang yang menghabis-kan umurnya dalam susunan kata-kata yang teijadi dalam perdebatan ilmu fiqih, samalah halnya dengan orang yang menghabiskan umurnya meneliti sebab-sebab supaya kokoh kuat jahitan kendi air yang akan dibawa waktu mengerjakan hajji.

Perbandingan mereka yang berjalan menuju ke jalan perbaikan jiwa, yang menyampaikan kepada ilmu mukasyafah, samalah dengan mereka yang berjalan menuju ke jalan hajji atau dengan mereka yang sedang mengerjakan rukun hajji. Maka perhatikanlah pertama kali akan ini dan terimalah nasehat dengan cuma-cuma, dari orang yang biasanya tegak berdiri untuk itu. Dan tidak akan sampai kepadanya, selain sesudah menempuh perjuangan yang sungguh-sungguh, dan cukup keberanian, menghadapi manusia yang berane-ka ragam pembawaannya diantara orang awam dan orang khawas {orang tertentu), di mana mereka menurut hawa nafsunya semata-mata.



B. Penjelasan
Mengenai
Tugas-tugas Pembimbing Yang Mejadi guru (mursyid), Atau  Yang mengajar (mu'allim)

Ketahuilah bahwa manusia mengenai ilmu pengetahuannya, mempunyai empat macam keadaan, seperti halnya dalam pengumpulan harta kekayaan. Karena bagi orang yang berharta, mempunyai keadaan menggunakan hartanya. Maka dia itu adalah orang yang berusaha dan keadaan menyimpannya dari hasil usahanya itu. Sehingga jadilah dia seorang yang kaya, tak usah meminta lagi pada orang lain. Dan keadaan dapat membelanjai dirinya sendiri. Maka dapatlah ia mengambil manfa'at dari harta kekayaan itu.
Dan keadaan dapat memberikan kepada orang lain, sehingga ia menjadi seorang pemurah hati, yang dermawan. Dan inilah keadaan yang sebaik-baiknya.
Maka seperti itu pulalah dengan ilmu pengetahuan, dapat disimpan seperti menyimpan harta benda.

Bagi ilmu pengetahuan ada keadaan mencari, berusaha, dan keadaan mengkasilkan yang tidak memerlukan lagi kepada bertanya. Keadaan meneliti (istibshar), yaitu berpikir mencari yang baru dan mengambil faedah daripadanya. Dan keadaan memberi sinar cemerlang kepada orang lain. Dan inilah keadaan yang semulia-mulianya! Maka barangsiapa berilmu, beramal dan mengajar, maka dialah yang disebut orang besar dalam alam malakut tinggi. Dia Iaksana matahari yang menyinarkan cahayanya kepada lainnya dan menyinarkan pula kepada dirinya sendiri. Dia Iaksana kesturi yang membawa keharuman kepada lainnya dan dia sendiripun harum.
Orang yang berilmu dan tidak beramal menurut. ilmunya, adalah seumpama suatu daftar yang memberi faedah kepada lainnya dan dia sendiri kosong dari ilmu pengetahuan. Dan seumpama batu pengasah, menajamkan lainnya dan dia sendiri tidak dapat memo-tong. Atau seumpama jarum penjahit yang dapat menyediakan pakaian untuk lainnya dan dia sendiri telanjang. Atau seumpama sumbu lampu yang dapat menerangi lainnya dan dia sendiri terbakar, sebagaimana kata pantun :

"Dia adalah Iaksana sumbu lampu yang dipasang, memberi cahaya kepada orang Dia sendiri terbakar menyala ".

Manakala sudah mengajar maka berarti telah melaksanakan pekerjaan besar dan menghadapi bahaya yang tidak kecil. Maka peliharalah segala adab dan tugas-tugasnya, yaitu :

1. Tugas Pertama
Adalah
mempunyai rasa belas-kasihan kepada murid-murid dan memperlakukan mereka sebagai anak sendiri.
Bersabda Nabi SAW.

إنما أنا لكم مثل الوالد لولده
(Innamaa ana lakum mitslul waalidi liwaladihi).
Artinya :"Sesungguhnya aku ini bagimu adalah seumpama Seorang ayah bagi anaknya". (
H R. Abu Dawud, An-Nasa-i, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban dari Abi Hurairah)

Dengan maksudnya, melepaskan murid-muridnya dari api neraka akhirat. Dan itu adalah lebih penting dari usaha kedua ibu-bapa, melepaskan anaknya dari neraka dunia.

Karena itu, hak seorang guru adalah lebih besar dari hak ibu-bapa. Ibu-bapa menjadi sebab lahimya anak itu dan dapat hidup di dunia yang fana ini. Sedang guru menjadi sebab anak itu memperoleh hidup kekal. Kalau tidak adalah guru, maka apa yang diperoleh si anak itu dari orang tuanya, dapat membawa kepada kebinasaan yang terus-menerus.

Guru adalah yang memberikan kegunaan hidup akhirat yang abadi. Yakni guru yang mengajar ilmu akhirat ataupun ilmu pengetahuan duniawi, tetapi dengan tujuan akhirat, tidak dunia.
Adapun mengajar dengan tujuan dunia, maka itu binasa dan membinasakan. Berlindunglah kita dengan Allah daripadanya!.

Sebagaimana hak dari anak-anak seorang ayah, berkasih-kasihan dan bertolong-tolongan mencapai segala maksud, maka seperti demikian-Iah kewajiban dari murid'murid seorang guru, berkasih-kasihan dan sayang-menyayangi.

Hal itu baru ada, bila tujuan mereka akhirat. Dan kalau tujuannya dunia, maka yang ada tak lain dari berdengki-dengkian dan bermu-suh-musuhan.'

Sesungguhnya para ulama dan putera-putera akhirat itu adalah orang-orang musafir kepada Allah Ta'ala dan berjalan kepadaNya, dari dunia. Tahun-tahunnya dan bulan-bulannya adalah tempat-tempat singgahan dalam perjalanan. Sayang-menyayangi diperjalan an antara orang-orang yang s&ma-sama berangkat ke kota, adalah menyebabkan lebih eratnya hubungan dan kasih sayang. Maka bagaimanakah berjalan ke firdaus tinggi dan sayang-menyayangi di dalam perjalanannya dan tak ada sempit pada kebahagiaan akhirat?

Maka karena itu, tak adalah pertentangan diantara putera-putera akhirat. Sebaliknya dalam mengejar kebahagiaan duniawi, jalannya tidak lapang. Dari itu senantiasa dalam keadaan sempit berdesak-desakan. Orang yang menyeleweng dengan ilmu pengetahuannya untuk menjadi kepala, sesungguhnya telah keluar dari kandungan firman Allah Ta'ala :
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ
(Innamal mu'minuuna ikhwah).
Artinya :"Sesungguhnya orang mu'min itu bersaudara".(Al-Hujurat, ayat 10).

Dan masuk ke dalam maksud firman Allah Ta'ala
الأخِلاءُ يَوْمَئِذٍ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ إِلا الْمُتَّقِينَ
(Al-akhillaa-u yauma-idzin ba'dluhum liba'dlin 'aduwwun illal mut-taqiin).
Artinya :"Shahabat-shahabat pada hari itu, satu dengan yang lain jadi ber-musuhan, kecuali dari orang-orang yang memelihara dirinya dari kejahatan ". .(Zukhruf ayat 67).

2. Tugas Kedua
 Adalah
 mengikuti jejak Rasul SAW. Maka ia tidak mencari upah, balasan dan terima kasih dengan mengajar itu. Tetapi mengajar karena Allah dan mencari kedekatan diri kepada-Nya. Tidak ia melihat bagi dirinya telah menanam budi kepada murid-murid itu, meskipun murid-murid itu harus mengingati budi baik orang kepadanya.

Tetapi guru itu harus memandang bahwa dia telah berbuat suatu perbuatan yang baik, karena telah mendidik jiwa anak-anak itu. Supaya hatinya dekat kepada Allah Ta'ala dengan menanamkan ilmu pengetahuan padanya. Seumpama orang yang meminjam-kan kepada anda sebidang tanah untuk anda tanami didalamnya tanam-tanaman untuk anda sendiri. Maka faedah yang anda dapati adalah melebihi dari faedah yang diperoleh pemilik tanah itu. Maka bagaimanakah anda menyebut-nyebut jasa anda itu? Pada hal pahala yang anda peroleh dari mengajar itu, pada Allah Ta'ala lebih banyak dari pahala yang diperoleh oleh murid. Dan kalaulah tak ada murid yang belajar, maka anda tidak akan memperoleh pahala itu.

Dari itu, janganlah diharap pahala selain dari Allah Ta'ala, seperti firmanNya :
وَيَا قَوْمِ لا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مَالا إِنْ أَجْرِيَ إِلا عَلَى اللَّهِ
(Wa yaaqaumi laa asralukum alaihi maalan in ajria illaa 'alallaah).
Artinya :"Hai kaumku! Aku tiada meminta harta kepada kamu sebagai upah nya, upahku hanyalah dari Tuhan". (Hud 29).

Harta dan isi dunia adalah menjadi pesuruh badan kita. Badan menjadi kendaraan dan tunggangan jiwa. Yang dikhidmati ialah ilmu pengetahuan. Karena dengan ilmu pengetahuanlah, jiwa itu mulia.
Orang yang mencari harta dengan ilmu, samalah dengan orang yang menyapu bawah sepatunya dengan mukanya supaya bersih. Dija-dikannya yang dilayani menjadi pelayan dan pelayan menjadi yang dilayani.
Inilah penj ungkir-balikan namanya. Dan adalah seumpama orang yang berdiri di hari mahsyar bersama orang-orang yang berdosa. Terbalik kepalanya dihadapan Tuhan.

Pendek kata, kelebihan dan kenikmatan adalah untuk guru. Maka perhatikanlah, bagaimana sampai urusan agama kepada suatu kaum, yang mendakwakan bahwa maksudnya dengan ilmu yang ada padanya, baik ilmu fiqih atau ilmu kalam, baik memberi pelajaran dalam ilmu yang dua tadi atau lainnya; adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala. Mereka menyerahkan harta dan kemegahan serta menerima bermacam-macam penghinaan, untuk berkhidmat kepada sultan-sultan (penguasa-penguasa), supaya permintaannya berlaku.
Jikalau mereka tinggalkan yang demikian itu, niscaya mereka ditinggalkan. Dan tidak akan ada orang yang datang kepada mereka lagi.

Kemudian, diharap oleh guru dari muridnya, ban tuan pada tiap-tiap malapetaka, memberi pertolongan kepadanya, memusuhi mu-suhnya, bangun memenuhi keperluan hidupnya dan duduk bersimpuh dihadapannya. Apabila tidak, maka dia memberontak dan muridnya itu menjadi musuhnya yang terbesar.
Alangkah kotornya orang berilmu, yang rela untuk dirinya kedudukan yang demikian. Kemudian, ia bergembira dengan itu. Kemudian, tidak malu mengatakan :

"Maksudku dengan mengajar ialah menyiarkan ilmu pengetahuan, untuk mendekatkan diri kepada Allah dan menolong agamaNya".

Maka perhatikanlah segala tanda, sehingga engkau melihat penipuan-penipuan yang beraneka ragam itu!



3.
Tugas ketiga
Adalah Jangan
 meninggalkan nasehat sedikitpun kepada yang demikian itu, ialah dengan melarangnya mempelajari suatu tingkat, sebelum berhak pada tingkat itu. Dan belajar ilmu yang tersembunyi, sebelum selesai ilmu yang terang. Kemudian menje-laskan kepadanya bahwa maksud dengan menuntut ilmu itu, ialah mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala.

Bukan karena keinginan menjadi kepala, kemegahan dan perlombaan. Haruslah dikemuka-kan keburukan sifat-sifat itu sejauh mungkin! Seorang berilmu yang jahat tidaklah berbuat kebaikan lebih banyak dari berbuat kejahatan dan kerusakan. Bila diketahui orang yang bathinnya dengan menuntut ilmu adalah untuk dunia, maka haruslah diperhatikan kepada ilmu yang dipelajarinya itu. Kalau ilmu itu ilmu khilafiah mengenai fiqih, berdebat dalam ilmu kalam, berfatwa dalam soal persengketaan dan hukum, maka hendaklah dicegah.

Karena ilmu pengetahuan tersebut tidak termasuk dalam ilmu akhirat dan tidak termasuk sebagian dari ilmu yang dikatakan. "Kami mempelajari ilmu bukan karena Allah, maka ilmu itu enggan kalau bukan karena Allah !'.'
Yang termasuk dalam ilmu akhirat, ialah ilmu tafsir, ilmu hadits dan ilmu-ilmu yang menjadi perpegangan orang-orang terdahulu, dari ilmu akhirat, ilmu mengenai budi pekerti jiwa dan cara menga-suhnya.

Apabila ilmu tadi dipelajari oleh seorang pelajar dengan tujuan duniawi, maka tak mengapa dibiarkan. Karena membuahkan peng-harapan, bagi pelajar itu nanti, pada pengajaran dan pengikutan kepada orang ramai. Bahkan kadang-kadang ia sadar di tengah jalan atau diakhir jalan. Karena padanya ada pengetahuan yang membawa takut kepada Allah Ta'ala, penghinaan kepada dunia dan peug-hargaan kepada akhirat.
Dan ada harapan besar pelajar itu akan memperoleh jalan yang benar ke akhirat, sehingga dia memperoleh pengajaran dengan apa yang diajarinya orang lain. Dan berlakulah kesukaan diterima orang kata-katanya dan kemegahan, sebagai berlakunya biji-bijian yang ditaburkan di keliling perangkap,. untuk menangkap burung dengan yang demikian.

Memang demikianlah, diperbuat oleh Allah pada hambaNya. Karena dijadikanNya nafsu syahwat, supaya makhluk itu dapat mene-ruskan keturunannya. DijadikanNya pula suka mencari kemegahan, supaya menjadi sebab, untuk menghidupkan ilmu pengetahuan.

Demikianlah yang kita harapkan pada ilmu-ilmu tersebut.
Adapun masalah khilafiah semata-mata, perdebatan dalam ilmu kalam, pengetahuan ilmu furu' yang ganjil-ganjil, bila ilmu itu saja yang diperhatikan, sedang yang lainnya dikesampingkan, maka ha-nyalah menam bahkan kesesatan hati dan kelalaian dari pada Allah Ta'ala. Serta berkepanjangan dalam kesesatan dan mencari kemegahan.

Kecuali orang-orang yang dinaungi Allah dengan rahmat-kasihNya. Atau dicampurkan ilmu tadi, dengan ilmu-ilmu yang lain dari ilmu pengetahuan keagamaan.
Untuk itu tidak dapat kita buktikan, seperti percobaan dan penyaksian. Dari itu perhatikanlah, renungkanlah dan selidikilah supaya diperoleh kebenarannya dalam kalangan manusia dan negeri-negeri! Semoga Allah memberi pertolongan!

Pernah orang melihat Sufyan Ats-Tsuri gundah-gulana, maka ditanyakan : "Mengapakah tuan hamba demikian?"
Ia menjawab : "Kami ini menjadi toko, bagi anak-anak dunia. Seorang dari mereka selalu bersama kami, tetapi apabila telah belajar, lalu diangkat menjadi hakim (kadli), pegawai atau penguasa''.

4.Tugas keempat
 Adalah hal-hal t
ermasuk yang halus-halus dari mengajar, bahwa guru menghardik muridnya dari berperangai jahat dengan cara sindiran selama mungkin dan*tidak dengan cara terus terang. Dan dengan cara kasih-sayang, tidak dengan cara mengejek. Sebab, kalau dengan cara terus terang, merusakkan takut murid kepada guru. Dan mengakibatkan dia berani menentang dan suka menerus-kan sifat yang jahat itu.

Nabi saw pernah bersabda :
لو منع الناس عن فت البعر لفتوه وقالوا ما نهينا عنه إلا وفيه شيء
(Lau muni'an naasu 'an fattil ba'ri lafattuuhu waqaaluu maa nuhii-naa anhu illaa wa fiihi syaiun).
Artinya :"Jikalau manusia itu dilarang dari menghancurkan taik unta, maka akan dihancurkannya dengan mengatakan : "Kita tidak dilarang dari perbuatan itu kalau tak ada apa-apanya".

Keadaan yang tersebut tadi, mengingatkan anda akan kisah Adam dan Hawa as. serta larangan yang ditujukan kepada keduanya.

Dan tidaklah kisah itu diterangkan kepadamu untuk menjadi buah pembicaraan di malam hari. Tetapi, untuk engkau sadari atas jalan ibarat.

Juga dengan sindiran itu, membawa kepada jiwa utama dan hati suci, untuk memahami tujuan dari sindiran itu. Maka dengan kei-nginan memperhatikan maksud dari sindiran itu, karena ingin mengetahuinya, tahulah dia bahwa hal itu tidak boleh lenyap dari perhatiannya.


5.
Tugas kelima
S
eorang guru yang bertanggung jawab pada salah satu mata pelajaran, tidak boleh melecehkan mata pelajaran lain dihadapan muridnya. Seumpama guru bahasa, biasanya melecehkan ilmu fiqih. Guru fiqih melecehkan ilmu hadits dan tafsir dengan sindiran, bahwa ilmu hadits dan tafsir itu adalah semata-mata menyalin dan mendengar. Cara yang demikian, adalah cara orang yang lemah, tidak memerlukan pikiran padanya. Guru ilmu kalam memandang rendah kepada ilmu fiqih dengan mengatakan, bahwa fiqih itu membicarakan soal furu'.
Diantara lain memperkatakan tentang kain kotor wanita. Maka apakah artinya itu, dibandingkan dengan memperkatakan tentang sifat Tuhan Yang Maha Pengasih.

Inilah budi pekerti yang tercela pada para guru yang harus dijauh-kan!

Sebaliknya, yang wajar hendaklah seorang guru yang bertanggung jawab sesuatu mata pelajaran, membuka jalan seluas-luasnya kepada muridnya untuk mempelajari mata pelajaran yang lain. Kalau dia bertanggung jawab dalam beberapa ilmu pengetahuan, maka hendaklah menjaga kemajuan si murid dari setingkat ke setingkat!


6.
Tugas keenam
 Seorang
guru harus menyingkatkan pelajaran menurut tenaga pemahaman si murid. Jangan diajarkan pelajaran yang belum sampai otaknya ke sana. Nanti ia lari atau otaknya tumpul. Perhatikanlah akan sabda Nabi saw. :
نحن معاشر الأنبياء أمرنا أن ننزل الناس منازلهم ونكلمهم على قدر عقولهم
(Nahnu ma'aasyiral anbiyaa-i umimaa an-nunzilannaasa manaazi-lahum wa nukallimahum 'alaa qadri 'uquulihim)
Artinya :"Kami para Nabi disuruh menempatkan masing-masing orang pada tempatnya dan berbicarra dengan mereka menurut tingkat yang mereka fahami '
(H R. Abi-Bakar bin Asy-Syukhair dari Umar dan pada Abi Dawud dari A'isyah).

Kembangkanlah kepada murid itu sesuatu pengetahuan yang mendalam, apabila diketahui bahwa dia telah dapat memahaminya sendiri.

Bersabda Nabi saw. : ما أحد يحدث قوما بحديث لا تبلغه عقولهم إلا كان فتنة على بعضهم
(Maa ahadun yuhadditsu qauman bihadiitsin laa tablughuhu uquulu hum illaa kaana fitnatan 'alaa ba'dhihim)
Artinya :"
Tidaklah  seseorang berbicara kepada sesuatu golongan tentang persoalan yang belum sampai otaknya ke sana, maka ia menjadi fitnah kepada sebahagian dari mereka". (H R. Al-'Uqaili dan Abu Na'im dari Ibnu Abbas.)

Dan berkata Ali ra. sambil menunjuk ke dadanya : "Sesungguhnya di sini terkumpul banyak ilmu pengetahuan, sekiranya dapatlah saya peroleh orang-orang yang menerimanya ".

Benarlah ucapan beliau itu. Dada orang-orang baik (al-abrar) adalah kuburan ilmu pengetahuan yang tinggi-tinggi (al-asrar).

Dari itu, tidak wajarlah bagi seorang yang berilmu, menyiarkan seluruh ilmu pengetahuannya kepada orang. Hal ini, apabila dapat dipahami oleh yang belajar dan ia belum dapat mengambil faedah dengan ilmunya. Maka betapa pula terhadap orang yang tidak dapat memahaminya? Berkata Nabi Isa as. : "Janganlah engkau gantungkan mutiara pada leher babi".

Ilmu hikmah adalah lebih mulia dari mutiara. Orang yang tidak suka kepada ilmu hikmah, adalah lebih jahat dari babi.

Dari itu dikatakan “Terapkan bagi masing-masing orang, menurut ukuran akalnya. Dan timbanglah bagi masing-masing orang itu dengan timbangan pahamnya, sehingga selamat dan bermanfa'at. Kalau tidak ada pemahaman, maka terjadilah pertentangan karena timbangan akal berlebih-kurang.

Ditanyakan setengah ulama tentang suatu hal. Beliau tidak menjawab, lalu penanya itu bertanya lagi  tidakkah tuan mendengar.. sabda Nabi صلى الله عليه وسلم :
من كتم علما نافعا جاء يوم القيامة ملجما بلجام من نار
(Man katama 'ilman naafi'an jaa- a yaumal qiyaamati muljaman bilijaamin min naar).
Artinya :"Barang siapa yang menyembunyikan ilmu yang bermanfa'at, niscaya datang dia pada hari qiamat, pada mulutnya ada kekang dari api neraka". (
H R. Ibnu Majah dari hadist Abu Said)

Maka menjawablah ulama tersebut: "Tinggalkanlah kekang itu dan pergilah! Kalau datang kemari orang yang berpaham dan aku sem-bunyikan juga, maka letakkanlah kekang itu pada mulutku!".
Berfirman Allah Ta'ala : وَلا تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمُ
(Wa laa tu'tussufahaa-a amwaalakum).
Artinya :"Janganlah kamu berikan kepada orang-orang yang belum mengerti (masih jahil) harta-harta mereka yang kamu dijadikan Tuhan pemeliharanya ".(An-Nisa', ayat 5).

Firman tersebut sebagai peringatan bahwa menjaga ilmu pengetahuan dari orang yang merusakkan dan mendatangkan kemelaratan, adalah lebih utama lagi. Dan tidaklah kurang dzalimnya antara memberikan kepada yang tidak berhak dan tidak memberikan kepada yang berhak. Berkata seorang penyair :

Apakah saya hamburkan mutiara, dihadapan pengembala domba?
Lalu jadilah dia tersimpan, dalam gudang penternak hewan?
Mereka itu tidak tahu, akan harga mutiara.
Dari itu saya tak mau, menggantungkannya pada leher mereka
 Kalau kiranya Tuhan, mencurahkan belas kasihan.
Lalu kedapatan, ahli ilmu pengetahuan.
Saya akan siarkan ilmu berfaedah,
saya akan memperoleh cinta mahabbah

Biarlah tersimpan dan tersembunyi dalam dadaku!
Memberikan ilmu kepada orang bodoh,
Adalah menyia-nyiakan.
Tak mau memberikannya kepada yang berhak,
Adalah
telah zalim


7. Tugas ketujuh
 Adalah jika menyampaikan
kepada seorang murid  yang pendek akal, hendaklah diberikan pelajaran yang jelas, yang layak baginya. Janganlah disebutkan kepadanya, bahwva di balik yang diterangkan ini, ada lagi pembahasan yang mendalam yang di simpan , tidak dijelas-kan. Karena, yang demikian itu, mengakibatkan kurang keinginan-nya pada pelajaran yang jelas itu dan mengacau-balaukan pikiran-nya. Sebab menimbulkan dugaan kepada pelajar itu nanti, seolah-olah gurunya kikir, tak mau memberikan ilmu itu kepadanya.

Sekalian orang menyangka bahwa dirinya ahli dalam segala ilmu, meskipun yang pelik. Dan tak ada seorangpun yang tak ingin memperoleh pikiran yang cerdas dari pada Allah Ta'ala. Orang yang paling dungu dan paling bodoh pun merasa gembira dengan kesempurnaan akal pikirannya.

Dan dengan ini, dapatlah diketahui, bahwa orang awwam yang terikat dengan ikatan kepercayaan Agama dan meresap dalam jiwanya 'aqidah yang berasal dari ulama-ulama terdahulu, tanpa membanding dan mena'wilkan dan dalam pada itu, bathinnya cukup baik dan akalnya tidak berpikir lebih banyak dari itu, maka tidak sewajarnyalah 'aqidah orang awwam itu dikacau-balaukan. Tetapi sewajarnyalah dia itu dibiarkan dengan urusannya. Sebab kalau diterangkan kepada si awwam itu pena'wilan-pena'wilan dari kedzahiran kata-kata maka terlepaslah apa yang terikat dalam hatinya. Dan tidak mudah lagi mengikatnya kembali dengan apa yang diikatkan oleh orang yang tertentu (orang alrkhawwash). Lalu terangkatlah dinding antara si awwam tadi dan perbuatan ma'siat. Dan bertukarlah dia menjadi setan penggoda, membinasakan dirinya sendiri dan orang lain.


8. Tugas Kedelapan
Adalah Seorang guru harus mengamalkan Ilmunya, jangan ia mendustakan perkataannya karena ilmu itu di peroleh dengan pandangan hati sedangkan pengamalan itu di peroleh degan pandangan mata. Padahal pemilik pandangan mata itu lebih banyak.

Apabila pengalaman itu menyalahi ilmu maka terhalanglah petunjuk.
Perumpamaan guru yang membimbing terhadap murid yang di bimbing  itu seperti ukiran dari tanah dan bayangan dari kayu. Maka bagaimana tanah  itu akan terukir oleh sesuatu yang tak ada ukiranya. Dan kapan bayangan itu lurus sedangkan kayu itu sendiri bengkok.
Oleh karena itu dosa orang alim dlm kemaksiatan itu lebih besar daripada orang bodoh. Karena dgn tergelincirnya itu tergelincirlah orang banyak dan mereka mengikutinya, padahala barang siapa yang menuntunkan prilaku buruk maka ia menanggung dosannya dan dosa orang-orang yang melakukannya.
Imam Ali ra. Berkata: “Dua orang mendatangkan bala (bilai) yaitu orang Alim yang melalaikan dirinya (sehingga jatuh dalam kemaksiatan) dan orang bodoh yang ahli ibda. Orang bodoh itu menipu manusia dengan ibadahnya, sedang orang Alim itu menipu mereka dengan kelalaiannya” Waallahu Alam.

                                         ________________00000_________________
Sumber ‘Ihya Ulumiddin Imam Al-Ghazali Jilid 1 Halaman 149 sampai Halaman 181.
Wallahu'alam
Barakallahu Fikum 
Wasalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatu
 


 Bismillahirrahmanirrahim...
Allahumma shallii alaa Muhammad Nabiyyil ummi wa barik 'alaihi wasallim
Allahumma shallii 'alaa Muhammad Wa umma wabarik 'alaihi wasallim
Allahumma shallii 'alaa Muhammad Biadadi man shalla' alaihi wasallim
Allahumma shallii 'alaa Muhammad Biadadi man lam an yushalli 'alaihi wasallim
Allahumma shallii 'alaa Muhammad kama tuhibbu an yushalli 'alaihi wassallim
Allahumma shallii 'alaa Muhammad kama amarta an yushalli 'alaihi wasallim

Allahumma shallii 'alaa Muhammad kama yasbaqhis shalawatu 'alaihi wasallim.
Allahumma shalli 'alaa Muhammadin wa'ala ali Muhammadin kamasollaita'ala Ibrahim.
Wabarik'ala Muhammadin wa'ala ali Muhammadin kamabarakta'ala Ibrahima fil'alamin.
innaka hamidunmajid
amiin Ya Karim
amiin Ya Wahhab..amiin Ya "Alimun

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Risalah Alladuniyah-Imam Ghazaly

Risalah Alladuniyah-Imam Ghazaly   1 Assalamu'alaikum Warahmatulahi Wabarakatu. Bismillahirrahmanirrahim Allahummashalli 'al...